Layanan Kesehatan untuk Anak Disabilitas Belum Komprehensif
Anak-anak dengan disabilitas membutuhkan layanan yang komprehensif untuk memastikan tumbuh kembangnya tetap optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak penyandang disabilitas membutuhkan layanan kesehatan yang komprehensif. Selain layanan untuk menangani gangguan fisik yang dialami, mereka juga membutuhkan perawatan serta terapi untuk mengatasi gangguan tumbuh kembangnya. Namun, layanan yang tersedia saat ini masih terbatas.
Emsyarfi (56), ibu dari anak dengan disabilitas sindrom down menyampaikan, tidak semua terapi untuk anak disabilitas difasilitasi pemerintah. Padahal, terapi tersebut amat dibutuhkan untuk mendukung tumbuh kembang anak disabilitas.
”Anak dengan disabilitas tidak sekadar membutuhkan layanan kesehatan fisik, tetapi juga layanan lain. Terkadang ada anak yang juga ada keterbatasan dalam berbicara, terbatas dalam kemampuan intelektual, tidak mampu berbicara dengan baik, atau terbatas dalam berjalan. Itu semua butuh dukungan terapi,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (13/11/2023).
Untuk itu, Emsyarfi yang juga pendiri komunitas DStars Indonesia, yakni komunitas pengembangan talenta anak disabilitas, menuturkan, anak-anak disabilitas sangat membutuhkan layanan terapi. Apabila pemerintah tidak menjamin layanan tersebut, perkembangan mereka akan terhambat. Sementara jika harus mengeluarkan biaya pribadi untuk mengakses layanan terapi, tidak sedikit orangtua yang memiliki keterbatasan secara ekonomi.
Biaya terapi bagi anak disabilitas cukup besar. Dalam satu kali pertemuan membutuhkan biaya lebih dari Rp 500.000. ”Dulu layanan terapi sempat ditanggung pemerintah, tetapi sudah tidak ada lagi. Akhirnya, orangtua terpaksa belajar sendiri untuk memberikan terapi kepada anaknya,” tuturnya.
Emsyarfi menyampaikan, dukungan swasta dan masyarakat bisa membantu mengatasi keterbatasan layanan yang diberikan pemerintah bagi anak dengan disabilitas. Gerakan yang lebih luas dan perhatian yang lebih besar dari masyarakat akan membantu meringankan beban yang dialami oleh anak-anak tersebut.
Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Eva Devita Harmoniati mengatakan, anak dengan disabilitas secara umum akan mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Itu sebabnya berbagai layanan dibutuhkan untuk membantu mengoptimalkan pertumbuhan anak.
Layanan tersebut, antara lain, layanan untuk pemantauan nutrisi, layanan pemantauan tumbuh kembang, fisioterapi, terapi sensori dan okupasi, serta layanan rehabilitasi dan medik. Layanan itu dibutuhkan oleh anak dengan disabilitas, terutama pada awal-awal kehidupan.
Jaminan kesehatan
Eva menyampaikan, banyak layanan bagi anak disabilitas yang sudah ditanggung program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Namun, tidak semua terapi dapat diakses di rumah sakit. Jika ada pun biasanya tidak dapat diberikan secara optimal.
”Ketika fasilitas yang tersedia masih terbatas dan tempatnya juga terbatas, sementara semakin banyak jumlah anak yang harus mendapatkan pelayanan, terkadang akhirnya membuat anak tidak bisa mendapatkan terapi secara optimal. Biasanya layanan ini terbatas hanya untuk anak di bawah usia sekolah,” tuturnya.
Eva menuturkan, terapi pada anak usia sekolah dapat diakses melalui fasilitas pendidikan yang tersedia, seperti sekolah luar biasa. Sayangnya, sekolah khusus tersebut, terutama yang negeri, menerapkan kuota sehingga tidak semua anak bisa mengakses sekolah luar biasa negeri. Sementara sekolah swasta biayanya mahal.
Anak dengan disabilitas tidak sekadar membutuhkan layanan kesehatan fisik, tetapi juga layanan lain.
Menurut dia, pemerintah perlu memberikan layanan yang lebih komprehensif pada anak dengan disabilitas. Tumbuh kembang anak yang mendapatkan layanan yang baik dan tepat bisa lebih optimal. Tujuan agar anak bisa mandiri dan beraktivitas dengan baik bisa tercapai apabila penanganan yang mereka butuhkan bisa diberikan. Layanan terapi terutama dibutuhkan pada 1.000 hari pertama kehidupan ketika otak berkembang secara maksimal.
Selain itu, layanan deteksi dini pun perlu semakin diperluas. Risiko disabilitas, seperti sindrom down, bisa diketahui sejak bayi di dalam kandungan. Deteksi dini lain yang bisa dilakukan, seperti deteksi gangguan pada pendengaran, penglihatan, serta gangguan pada perkembangan.
“Buku KIA (kesehatan ibu dan anak) bisa menjadi media untuk mendeteksi gangguan sejak dini. Pada buku itu tertulis perkembangan apa saja yang harus dicapai anak pada usia tertentu. Apabila ternyata ada perkembangan yang tidak sesuai, itu bisa menjadi kewaspadaan akan adanya risiko disabilitas,” tutur Eva.
Dengan mengetahui gangguan sejak dini, terapi dan stimulasi yang dibutuhkan bisa diberikan lebih awal. Gangguan yang terjadi diharapkan tidak semakin memburuk, bahkan bisa dikoreksi dengan baik.
Secara terpisah, Asisten Deputi Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Agustian Ferdianto menuturkan, peserta JKN-KIS, termasuk peserta yang juga penyandang disabilitas, berhak mendapatkan pelayanan secara menyeluruh sesuai indikasi medis. Apabila layanan yang dibutuhkan sesuai indikasi medis, peserta seharusnya dengan mudah mendapatkan layanan kesehatan tersebut. Layanan yang ditanggung dalam program JKN termasuk layanan rehabilitas fisik atau fisioterapi serta alat bantu, seperti kaki palsu dan tangan palsu.
”Pelayanan tersebut mencakup promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. BPJS Kesehatan juga mendorong seluruh fasilitas kesehatan bisa menyediakan layanan ramah bagi peserta disabilitas,” katanya.
Meningkat
Eva menuturkan, anak dengan disabilitas dapat diartikan sebagai anak yang mengalami gangguan atau keterbatasan dalam beberapa hal, mulai dari gangguan fungsi organ tubuh, seperti gangguan pada penglihatan ataupun gangguan pada fungsi jantung dan gangguan pada perilaku, hingga gangguan dalam belajar. Kasus anak dengan disabilitas yang dirawat di rumah sakit semakin meningkat.
”Kemajuan teknologi serta ilmu kedokteran semakin baik untuk menyelamatkan kehidupan. Anak-anak yang lahir prematur pun semakin besar potensinya untuk bertahan hidup. Namun, anak yang lahir prematur jika tidak mendapatkan penanganan yang baik bisa mengalami masalah, seperti gangguan tumbuh kembang yang berisiko disabilitas,” tuturnya.
Selain itu, kemajuan teknologi turut membuat anak semakin dini terpapar gawai. Penggunaan gawai yang tidak tepat bisa memicu gangguan pada perkembangan keterampilan dan komunikasi anak. Hal itu yang dapat memicu peningkatan kasus disabilitas pada anak.