Akses Obat Inovatif bagi Masyarakat Masih Terbatas
Akses warga pada obat-obatan inovatif masih rendah. Kemampuan pembiayaan warga untuk mengakses obat ini pun terbatas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akses masyarakat pada obat baru yang tersedia di Indonesia sangat terbatas. Adanya skema pembiayaan dengan mekanisme koordinasi pemberian manfaat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional diharapkan dapat menjadi solusi atas keterbatasan tersebut.
Hasil studi dari Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) pada 2022 menunjukkan, hanya 9 persen dari 460 obat-obatan baru yang diluncurkan di tingkat global pada 2012-2021 tersedia di Indonesia. Jumlah tersebut amat rendah jika dibandingkan dengan tingkat ketersediaan obat baru di kawasan Asia Pasifik yang mencapai 20 persen.
Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group Ani Rahardjo di Jakarta, Jumat (10/11/2023), mengutarakan, rendahnya akses obat inovatif di Indonesia disebabkan multifaktor, antara lain, meliputi rendahnya permintaan pasar, terbatasnya akses ke pasar, serta ketidakpastian dan ketidakjelasan dari tinjauan regulasi.
”Persyaratan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) untuk produk yang diproduksi di Indonesia juga menjadi salah satu kendala. Dari kendala itu menyebabkan obat baru dan inovatif butuh waktu lama masuk ke Indonesia,” katanya.
Studi PhRMA menyebutkan, obat baru dan inovatif membutuhkan waktu rata-rata 40 bulan untuk masuk ke pasar Indonesia setelah diluncurkan pertama kali di dunia. Kondisi itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan akses obat terendah di Asia Tenggara. Di Thailand membutuhkan waktu rata-rata 36 bulan, di Malaysia sekitar 34 bulan, dan Singapura membutuhkan waktu sekitar 25 bulan.
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Prastuti Soewondo menuturkan, perbaikan ekosistem pada sistem pelayanan kesehatan telah dilakukan untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan kesehatan, termasuk akses pada obat dan alat kesehatan. Perbaikan pun telah dilakukan pada proses penilaian teknologi kesehatan (HTA).
Kanal dalam penilaian tersebut makin terbuka sehingga obat dan alat kesehatan baru memiliki kesempatan lebih banyak untuk dinilai. Proses HTA diperlukan untuk menilai apakah suatu teknologi kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Proses HTA ini pula yang menjadi syarat agar suatu layanan kesehatan bisa masuk dalam jaminan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Prastuti menambahkan, obat-obat inovatif didorong pula untuk masuk dalam formularium nasional. Akses masyarakat akan lebih mudah apabila obat-obatan inovatif telah masuk dalam formularium nasional.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti menuturkan, proses HTA juga dibutuhkan untuk memastikan obat-obatan yang ditanggung dalam program JKN-KIS memiliki sifat pembiayaan yang efektif (cost effective). Kebutuhan masyarakat akan obat dan layanan kesehatan lain tidak terbatas, sementara sumber daya, termasuk sumber pembiayaan, yang dimiliki terbatas.
Selain itu, obat-obat inovatif yang tersedia di Indonesia juga memiliki harga yang tinggi. ”Industri harus punya benchmark (tolok ukur) dari harga obat itu. Harus kompetitif juga karena ada beberapa obat yang justru lebih mahal di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia,” katanya.
Skema pembiayaan
Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Roy Himawan menyampaikan, pemerintah telah menyiapkan skema pembiayaan untuk memperluas akses masyarakat pada obat-obat inovatif. Skema pembiayaan tersebut dilakukan melalui mekanisme koordinasi pemberian manfaat (COB).
Skema ini dapat dilakukan dengan menambah atau top up atas biaya pelayanan yang tidak ditanggung dalam program JKN-KIS. Dengan skema ini, seseorang dapat menerima manfaat dari dua atau lebih asuransi kesehatan.
”Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam JKN, skema COB memungkinkan untuk dilakukan. Namun, mengenai teknis, sistem, dan model yang akan dijalankan itu masih dalam pembahasan,” tuturnya.
Roy berharap kemudahan akses pada obat inovatif dapat mendorong masyarakat memilih berobat di dalam negeri dibandingkan di luar negeri. Diperkirakan, setiap tahun ada 2 juta masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri.