Ekosistem Laut dan Masyarakat Pesisir Masih Hadapi Berbagai Ancaman
Ekosistem laut dan masyarakat pesisir di Indonesia masih menghadapi ancaman, mulai dari industri perikanan hingga aspek kebijakan dan investasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laut memiliki manfaat yang sangat besar, salah satunya sebagai penghasil oksigen terbesar di dunia. Namun, ekosistem laut dan masyarakat pesisir di Indonesia masih menghadapi ancaman, mulai dari industri perikanan hingga aspek kebijakan dan investasi.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah Chudiel, menyampaikan, isu laut sangat penting untuk terus dibicarakan karena 70 persen permukaan Bumi adalah lautan. Setiap orang juga harus melindungi lautan karena hampir 80 persen oksigen di dunia dihasilkan dari hasil proses fotosintesis dari fitoplankton dan padang lamun yang berada di laut.
”Setiap jengkal laut memberikan faedah terutama oksigen bagi kita sampai hari ini. Laut juga menjadi regulator iklim dan cuaca, rumah bagi keanekaragaman hayati, serta sumber protein utama,” ujarnya dalam diskusi acara Green Press Community yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) di Jakarta, Rabu (8/11/2023).
Meskipun memiliki manfaat yang sangat besar, kondisi ekosistem laut dan masyarakat pesisir di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai ancaman. Dari hasil identifikasi Greenpeace, ancaman tersebut datang dari berbagai kelompok yang saling terkait satu sama lain.
Afdillah menjelaskan, ancaman pertama yang dihadapi ekosistem laut dan masyarakat pesisir datang dari industri perikanan, baik skala besar maupun kecil. Pada industri skala besar, ekosistem laut dapat terancam karena mereka kerap menggunakan alat tangkap yang tidak berkelanjutan. Industri skala kecil juga kerap menggunakan bom ikan dan racun.
Kegiatan dari industri perikanan yang tidak berkelanjutan ini akan berdampak terhadap penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) hingga kehilangan biodiversitas dan kerusakan ekosistem. Dampak lainnya yaitu membuat nelayan kecil semakin susah dalam mencari ikan. Mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dengan hasil lebih sedikit.
Ancaman laut lainnya datang dari polusi khususnya sampah plastik akibat kegagalan pengelolaan sampah di sektor darat. Di sisi lain, industri dan transportasi juga turut menyumbang polusi berupa pembuangan limbah, sampah pelayaran, kebocoran pipa dan kecelakaan kapal tanker, serta tumpahan batubara.
Reklamasi, kawasan ekonomi khusus, pembangunan infrastruktur, dan pariwisata merupakan kebijakan yang dinilai dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kita lupa bahwa selama ini kita hidup dari kawasan tersebut.
”Sampai hari ini, pemerintah tidak bisa menekan perusahaan untuk bisa mengubah cara distribusi kemasan produk mereka dari plastik sekali pakai menjadi isi ulang. Kita juga tidak melihat ada upaya dari perusahaan untuk proses pengumpulan sampah,” kata Afdillah.
Krisis iklim juga menjadi ancaman lain terhadap laut dan masyarakat pesisir. Sebab, krisis iklim yang tengah terjadi saat ini telah membuat suhu laut meningkat dan terjadinya pengasaman. Fenomena kenaikan tinggi permukaan laut juga membuat masyarakat pesisir kehilangan tempat tinggal dan nelayan kesulitan menangkap ikan karena cuaca ekstrem.
Selain itu, ancaman lainnya datang dari aktivitas tambang di pulau-pulau kecil, termasuk pengerukan pasir laut untuk reklamasi dan ekspor. Aktivitas tambang ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga menghancurkan ruang tangkap nelayan kecil dan meningkatkan potensi abrasi.
”Reklamasi, kawasan ekonomi khusus, pembangunan infrastruktur, dan pariwisata merupakan kebijakan yang dinilai dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kita lupa bahwa selama ini kita hidup dari kawasan tersebut,” ujarnya.
Memanfaatkan laut
Co-founder dan Director of International Engagement and Policy Reform Indonesia Ocean Justice Initiative Stephanie Juwana menyebut, aset kelautan yang dimiliki Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal dan keberlanjutan. Hal ini salah satunya ditunjukkan melalui tidak didapatkannya nilai ekonomi yang signifikan dari kapal-kapal asing yang melintas di perairan Indonesia.
”Bagaimana ekonomi biru ini bisa benar-benar diwujudkan, yaitu dengan menuntaskan terlebih dahulu beberapa permasalahan kelautan yang serius. Namun, nyatanya, masih banyak permasalahan seperti pencemaran minyak, penangkapan ikan secara ilegal, penyelundupan narkoba dari kapal, dan pengasaman laut,” katanya.
Stephanie menekankan, upaya mewujudkan keadilan dalam ekonomi biru harus mengedepankan tiga aspek, yaitu rekognisi, prosedur, dan distribusi. Rekognisi contohnya dilakukan dengan memberikan pengakuan terhadap nelayan perempuan.
Kemudian untuk aspek prosedural, ditunjukkan dari peningkatan partisipasi publik dalam setiap pembuatan kebijakan di sektor kelautan. Sementara dari aspek distribusi, harus ada keadilan dalam pemanfaatan laut dan perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi kawasan Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.