Pemutihan Kepemilikan Sawit dalam Hutan Perlu Transparan
Perkebunan sawit dalam kawasan hutan mencapai 3,37 juta hektar. Persoalan sawit dalam hutan ini diselesaikan melalui pemutihan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutanmelalui pemutihan atau pelegalan melewati batas akhir, yaitu pada 2 November 2023. Data aktivitas perusahaan perlu lebih transparan agar publik bisa mengawasi perkembangan penyelesaian sawit di dalam hutan ini.
Direktur Sawit WatchAchmad Surambo menyampaikan, seluruh proses penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan lewat pemutihan atau pelegalan seharusnya selesai pada 2 November 2023. Hal ini termasuk pemberian denda ataupun sanksi bagi perusahaan.
”Transparansi upaya pemutihan ini hampir tak ada. Subyek dan obyek pemutihan ini tak diketahui publik. Akan ada prasangka buruk bila publik tak ikut mengawasi proses penetapan denda bagi perusahaan, khususnya saat banyak peristiwa politik saat ini,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Berdasarkan Data Sawit Hasil Rekonsiliasi Nasional 2019, perkebunan sawit dalam kawasan hutan 3,37 juta hektar. Dari jumlah itu, seluas 1,49 juta hektar berada di hutan produksi terbatas dan 1,12 juta hektar di hutan produksi yang bisa dikonversi.
Kemudian lahan seluas 501.572 hektar sawit berada di hutan produksi tetap, 155.119 hektar di hutan lindung, dan 91.074 hektar di hutan konversi.
Transparansi upaya pemutihan ini hampir tak ada. Subyek dan obyek pemutihan ini tak diketahui publik. Akan ada prasangka buruk bila publik tak ikut mengawasi proses penetapan denda bagi perusahaan.
Meski data itu telah dirilis, pemerintah tidak pernah membuka secara resmi ke publik perkembangan proses pemutihan sawit ini. Namun, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan 15 surat keputusan (SK) terkait daftar perusahaan sawit yang berkegiatan dalam hutan tanpa perizinan kehutanan.
Dari analisis data yang dilakukan Walhi, sebagian besar korporasi yang diidentifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia.
Bahkan, selain beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan, sebagian besar korporasi itu melakukan pelanggaran lainnya, seperti kebakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat.
Surambo menegaskan, data dan berbagai proses itu harus dibuka ke publik bila pemerintah serius ingin menyelesaikan masalah sawit di dalam kawasan hutan. Di sisi lain, pemerintah perlu mempertimbangkan petani sawit skala kecil yang berpotensi terimbas kebijakan pemutihan sawit di dalam kawasan hutan ini.
Terlepas dari kondisi itu, Surambo menyebut upaya pemutihan atau pelegalan bukan merupakan upaya terbaik menyelesaikan persoalan sawit di dalam kawasan hutan. Sebab, kerangka penyelesaian sawit dalam hutan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lengkap.
”Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) telah membedakan kegiatan (perusakan hutan) terorganisir dan tidak. Jadi, perusahaan yang menjalankan sawit di kawasan hutan jelas sebagai kegiatan terorganisir,” ujarnya.
Menurut Surambo, Sawit Watch tidak membenarkan upaya pemutihan sawit dalam kawasan hutan. Sebaliknya, pemerintah seharusnya melaksanakan penegakan hukum bagi pihak perusak hutan sesuai UU P3H. Upaya pemutihan ini juga tak menjamin perusahaan sawit akan berhenti merambah hutan.
Penasihat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), Gunawan, dalam keterangannya, melihat kebijakan itu menimbulkan implikasi ketidakpastian hukumyang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian persoalan tanah masyarakat di kawasan hutan.
”Seharusnya, pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan perizinan berusaha sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan aturan pelaksananya. Hal ini justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat,” ujarnya.
Upaya perbaikan
Upaya memutihkan atau melegalkan 3,3 juta hektar perkebunan sawit dalam hutan ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Juni 2023. Saat itu, Luhut menyebut upaya pemutihan terpaksa dilakukan karena tak mungkin mencabut izin perkebunan sawit itu.
Pemutihanini merupakan upaya perbaikan tata kelola industriperkebunan sawit yang dianggap semrawut. Melalui upaya ini, pemerintah meyakini luas perkebunan sawit milik perusahaan, koperasi, ataupun rakyat dapat menjadi jelas dan taat hukum serta pajak.
Penyelesaian sawit dalam hutan menggunakan instrumen Pasal 110 A dan 110 B UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pasal tersebut menyatakan setiap perizinan berusahan di dalam kawasan hutan wajib menyelesaikan seluruh persyaratan paling lambat 2 November 2023.
Perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan ini akan dikenai sanksi administratif berupa pengentian sementara, pembayaran denda, atau paksaan pemerintah.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal KLHKBambang Hendroyono mengatakan, pelepasan status kawasan hutan hanya bisa diberikan kepada kebun sawit yang masuk dalam hutan produksi dan area penggunaan lain. Adapun perkebunan di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi harus dikembalikan pada negara.
Sekitar 90 persenperusahaan sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan sudah mengurus izin. Pelaku usaha itu harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan ke negara.Wilayah yang mendapat perhatian besar penyelesaian sawit dalam hutan ini meliputi Riau dan Kalimantan Tengah.