EoF Temukan Ada Kebun Sawit di Riau Masuk Kawasan Hutan
Kebun sawit di Riau masih ditemukan beroperasi di dalam kawasan hutan. Ini menunjukkan praktik pengembangan kebun sawit selama ini di Riau dilakukan dengan cara menggunduli dan menduduki kawasan hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan terbaru Eyes on the Forest menunjukkan pemantauan sejumlah kebun sawit di Riau mayoritas di antaranya beroperasi di dalam kawasan hutan. Temuan ini semakin menegaskan praktik pengembangan kebun sawit selama ini di Riau dilakukan dengan cara menebangi dan menduduki kawasan hutan sertatelah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.
Hal tersebut terangkum dalam laporan terbaru dari Eyes on the Forest (EoF) yang merupakan koalisi untuk menyelamatkan sisa hutan alam Riau. Koalisi yang dibentuk tahun 2004 ini berfokus untuk memantau dan menahan laju deforestasi hutan alam di delapan blok potensial hutan dengan nilai konservasi tinggi(high conversation values/HCV) tersisa.
Laporan ini disusun dari hasil analisis geospasial berupa overlay dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Riau tahun 1994. Kemudian dilakukan juga pemantauan lapangan terhadap 46 perkebunan sawit yang belum banyak diekspos serta diindikasikan masuk dalam kawasan hutan di Riau selama periode November 2022-Januari 2023 seluas 83.133 hektar.
Sebanyak 50 persen kebun sawit yang diinvestigasi berada di dalam kawasan hutan.
Dari 46 kebun yang diinvestigasi, ditemukan usia kebun sawit tersebut telah mencapai 10-35 tahun.Artinya, kebun sawit tersebut sudah berada dalam kawasan hutan sejak tahun 2013 atau jauh sebelum penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 110A UUCK mengatur agar kegiatan usaha di dalam kawasan hutan wajib menyelesaikan berbagai persyaratan paling lambat 2 November 2023.
Tantia Shecilia dari perwakilan koalisi EoF mengemukakan, tim menemukan seluas 32.138 hektar kebun sawit berada pada area yang tidak sesuai dengan peruntukan kehutanan, kawasan lindung, dan area transmigrasi. Sementara 50.994 hektar berada pada area yang sesuai dengan peruntukkan perkebunan dan area penggunaan lain (APL).
”Kemudian berdasarkan analisis dengan Surat Keputusan Kawasan Hutan Nomor 903 Tahun 2016, seluas 42.269 hektar kebun sawit berada di dalam kawasan hutan. Artinya, 50 persen kebun sawit yang diinvestigasi berada di dalam kawasan hutan,” ujarnya dalam kegiatan penerbitan laporan tersebut di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Secara rinci, seluas 42.269 hektar kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan tersebut meliputi 4.423 hektar pada hutan produksi terbatas (HPT), 4.885 hektar pada hutan produksi, 32.951 hektar pada hutan produksi konversi (HPK), dan 7,76 hektar pada kawasan suaka alam.
Sebelumnya, EoF juga telah tiga kali melakukan investigasi sawit dalam kawasan hutan dengan total luasan mencapai 182.208 hektar atau 10,1 persen dari 1,8 juta hektar sawit di Riau dan melibatkan 99 perusahaan. Investigasi pada 2021 juga menemukan kebun sawit dalam kawasan hutan yang awalnya merupakan perusahaan berubah menjadi koperasi.
Koordinator Jikalahari Made Ali menyatakan, pemerintah harus segera bertindak tegas terhadap perusahaan sawit yang diduga melakukan pelanggaran ini. Selain sanksi administratif, penegakan pidana korupsi dan pencucian uang juga perlu diterapkan dalam kasus sawit dalam kawasan hutan.
”Keberhasilan Kejaksaan Agung menuntut Surya Darmadi, pemilik grup sawit Darmex, hingga ia dihukum 15 tahun penjara menunjukkan kasus sawit dalam kawasan juga bisa secara pidana. Hal ini apalagi jika kejahatan itu terjadi sebelum berlakunya UUCK,” ucapnya.
Terkait dengan penagakan pidana, EoF mendorong agar perusahaan yang melanggar ketentuan ini bisa dijerat dengan menggunakan instrumen pasal 110 A dan 110 B UUCK. Selain itu, EoF berharap perusahaan yang menjalani skema sanksi administratif untuk bertanggung jawab terhadap pemulihan kawasan hutan lindung dan konservasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Direktur Walhi Riau Boy Even Sembiring juga turut meminta adanya transparansi dalam penyelesaian masalah kebun sawit dalam kawasan hutansehingga diharapkan lebih banyak pendapatan keuangan negara yang terselamatkan. Hal ini sekaligus dapat mendukung pemulihan ekosistem dan membantu tercapainya target penurunan emisi Indonesia.
Selain itu, Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara juga didesak untuk menjelaskan kepada publik dengan berapa banyak pajak yang didapatkan negara dari prosespenyelesaian sawit dalam kawasan hingga saat ini.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyampaikan, sesuai UU Cipta Kerja, penyelesaian perkebunan kelapa sawit akan dilakukan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) serta ultimum remedium yang mengedepankan sanksi administratif. Namun, apabila dalam tenggat yang ditentukan sanksi administratif tidak dapat dipenuhi, sanksi penegakan hukum berikutnya akan diberlakukan. Sanksi itu dapat berupa pencabutan izin serta paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan. (Kompas.id, 17/7/2023)