Milenial dan Generasi Z Memiliki Sikap Keterbukaan yang Tinggi
Hasil riset BRIN dan Populix menunjukkan kalangan milenial dan generasi Z memiliki sikap keterbukaan yang tinggi terhadap informasi ataupun hal-hal baru yang belum mereka ketahui.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kalangan milenial dan generasi Z memiliki sikap keterbukaan yang tinggi terhadap informasi ataupun hal-hal baru yang belum mereka ketahui. Dua kelompok generasi ini juga memiliki rasa penasaran terhadap topik terkait sains dan teknologi.
Hal tersebut merupakan salah satu hasil penelitian budaya ilmiah di kalangan milenial dan generasi Z yang disusun Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama lembaga penelitian Populix. Peluncuran hasil penelitian tersebut diselenggarakan di Widya Graha Kawasan Sains BRIN, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN Lilis Mulyani menyampaikan, tema riset ini beranjak dari pembahasan mengenai disrupsi pada milenial dan generasi Z yang di dalamnya mencakup sikap ataupun persepsi terhadap teknologi dan inovasi. Riset ini sekaligus melihat situasi budaya ilmiah pada milenial dan generasi Z yang selama ini belum pernah dilakukan.
Penelitian yang dilaksanakan pada 11 Juli-1 Agustus 2023 ini melibatkan 1.038 responden dengan kriteria usia 18-43 tahun dan pendidikan minimal sekolah menengah atas (SMA). Responden tersebut tersebar di sejumlah kota besar, seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Variabel dalam penelitian ini diambil dari pertanyaan yang sebelumnya dilakukan di beberapa negara. Salah satu variabel utama dari pertanyaan ini adalah keterbukaan terhadap informasi dan mengukur kebenaran informasi tersebut. Kemudian terdapat pula variabel rasa ingin tahu, berpikir kritis, sikap terhadap sains, dan kepercayaan terhadap mitos.
”Ternyata milenial dan generasi Z sangat ingin tahu serta memiliki sikap keterbukaan yang tinggi. Mereka terbuka terhadap hal-hal baru. Bahkan, sesuatu yang sering kali bertentangan dengan keyakinan mereka,” ujar Lilis saat memaparkan hasil penelitian tersebut.
Menurut Lilis, responden memiliki nilai yang cukup tinggi dalam merespon terkait keterbukaan terhadap bukti baru ketika mereka dalam situasi debat. Responden juga menilai dirinya peduli dengan pendapat orang lain ketika berada dalam situasi debat.
Hasil penelitian juga menunjukkan milenial dan generasi Z menunjukkan rasa penasaran terhadap topik sains dan teknologi. Hal ini tidak terlepas dari kecenderungan mereka yang menggunakan produk sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Ternyata milenial dan generasi Z sangat ingin tahu serta memiliki sikap keterbukaan yang tinggi. Mereka terbuka terhadap hal-hal baru. Bahkan, sesuatu yang sering kali bertentangan dengan keyakinan mereka.
”Kemudian tentang variabel berpikir kritis, bagi generasi ini logika dan pertimbangan dari berbagai sudut pandang menjadi bagian penting saat proses pengambilan keputusan. Kita sering menganggap generasi ini memercayai hoaks. Ternyata, mereka selalu mengecek sehingga data dan informasi tidak ditelan mentah-mentah,” katanya.
Selain itu, dari sikap umum terhadap sains, milenial dan generasi Z juga memandang bahwa menjadi ilmuwan merupakan pekerjaan yang sangat menarik. Akan tetapi, hal ini tidak terlihat dari jumlah minat kaum muda dalam menjadi ilmuwan.
Memercayai mitos
Meski kerap mengedepankan sains dan teknologi, hasil penelitian ini mengungkap bahwa milenial dan generasi Z juga masih memercayai mitos atau takhayul. Kepercayaan terhadap mitos ini bisa terjadi pada siapa saja baik yang berpendidikan tinggi maupun rendah, laki-laki maupun perempuan, usia muda maupun tua, hingga berdomisili di kota maupun pinggir kota.
”Kami coba menyimpulkan bahwa seseorang yang merasa dirinya memiliki rasa ingin tahu, berpikir kritis, dan sikap terhadap sains yang tinggi juga cenderung masih memercayai mitos. Ini bisa menjadi bahan riset kualitatif terutama peneliti agama,” ungkap Lilis.
Kepala Penelitian Sosial Populix Vivi Zabkie menekankan, membaca hasil penelitian ini harus melihat metode hingga profil responden secara keseluruhan. Salah satu profil menunjukkan bahwa 37 persen responden telah menempuh pendidikan hingga tingkat sarjana.
”Hasil penelitian ini diharapkan bisa memacu pihak lain untuk melakukan penelitian dan menggali lebih jauh guna menjawab beberapa pertanyaan yang belum terungkap,” ucapnya.
Direktur Komunikasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Zulfa Sakhiyya menambahkan, riset ini cukup menarik karena memperlihatkan sejumlah aspek yang relevan dengan karakter dari responden yang merupakan milenial dan generasi Z. Riset ini juga penting karena sebelum membangun budaya ilmiah perlu mengetahui data empiris.
”Secara umum riset ini penting karena kondisi sosial, politik, ekonomi, dan ekologi yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan satu studi tentang budaya ilmiah di Indonesia dan ini menjadi riset pertama yang melihat kemampuan koognitif dan komprehensif dengan data skala besar,” tambahnya.