Akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting untuk perkembangan sosial dan akademik anak.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
Akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak penyandang disabilitas terkadang terabaikan atau sekalipun tersedia masih kurang maksimal memberikan akses. Padahal, akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting untuk perkembangan sosial dan akademik anak bersangkutan.
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, semua sekolah negeri diminta bersiap sebagai sekolah inklusi. Salah satu sekolah yang selama belasan tahun terakhir menerima siswa berkebutuhan khusus dan siswa reguler adalah SD Negeri Barusari 01 di Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kini, ada 17 anak berkebutuhan khusus dari 235 total siswa di sekolah itu.
Sejak 2010, sekolah itu juga sudah meluluskan sekitar 100 anak berkebutuhan khusus. Beberapa di antaranya adalah anak penyandang down syndrome.
Biasanya, siswa-siswa yang masuk ke sekolah itu akan diidentifikasi oleh guru inklusi. Siswa yang terindikasi berkebutuhan khusus akan direkomendasikan untuk diidentifikasi lebih lanjut oleh petugas dari Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM) Kota Semarang. Jika sudah dipastikan berkebutuhan khusus, anak tersebut akan diberi pembelajaran dengan metode khusus.
Nicki Yuta, guru inklusi di SDN Barusari 01, mengatakan, ada tiga metode khusus yang disiapkan untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Metode pertama, shadow teacher atau guru bayangan. Pada situasi itu, siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan siswa reguler dan guru reguler, tetapi diawasi oleh guru bayangan, yaitu guru inklusi. Guru inklusi ini yang akan membantu guru reguler memberi pemahaman kepada siswa berkebutuhan khusus.
”Kedua, siswa dibiarkan mengikuti materi pembelajaran reguler tanpa ada guru inklusi yang mengawasi. Ini hanya bisa dilakukan pada materi pembelajaran yang sekiranya tidak sulit untuk siswa berkebutuhan khusus,” kata Nicki, Selasa (7/11/2023).
Metode ketiga yang diterapkan yaitu pull out atau menarik siswa berkebutuhan khusus ke ruangan khusus. Pada metode ini, siswa berkebutuhan khusus akan belajar hanya dengan guru inklusi. Metode ini biasanya untuk pembelajaran yang dinilai sulit diterima siswa berkebutuhan khusus.
Nicki mengatakan, dirinya menghadapi sejumlah tantangan dalam mengajar di sekolah inklusi. Salah satunya, memodifikasi materi pembelajaran untuk anak reguler supaya bisa diterima oleh siswa berkebutuhan khusus. Soal untuk ujian juga dimodifikasi sedemikian rupa berdasarkan tingkat kemampuan tiap-tiap siswa.
Saya sering membantu mereka, terutama kalau ada tugas kelompok. Membantunya bareng-bareng.
”Yang cukup menantang adalah memberikan pengertian kepada orangtua yang anaknya diketahui berkebutuhan khusus. Terkadang, mereka denial dan menolak memindahkan anaknya ke sekolah luar biasa. Padahal, hasil identifikasi RDRM merekomendasikan anak tersebut untuk belajar di sekolah luar biasa,” ujar Nicki.
Tantangan lain yang dialami ialah memberikan pengertian kepada siswa reguler untuk sama-sama mendukung dan membantu siswa-siswa berkebutuhan khusus. Para guru juga meminta siswa reguler untuk tidak mengucilkan siswa berkebutuhan khusus.
Upaya para guru di SDN Barusari 01 terbilang berhasil. Mayoritas siswa reguler di sekolah itu bisa menerima bahkan membantu teman-teman mereka yang berkebutuhan khusus.
Candrew (11), siswa kelas VI SDN Barusari 01, mengatakan, dirinya senang bisa belajar sekelas dengan siswa berkebutuhan khusus. Di kelasnya, ada tiga anak berkebutuhan khusus. ”Saya sering membantu mereka, terutama kalau ada tugas kelompok. Membantunya bareng-bareng,” tuturnya.
Para orangtua dari siswa berkebutuhan khusus juga mengaku senang bisa menyekolahkan anak mereka di SDN Barusari 01. Menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi dinilai baik untuk perkembangan sosial anak dan membantu mendongkrak kemampuan akademik anak.
”Dari TK sampai SD, saya sengaja menyekolahkan anak saya ke sekolah inklusi. Nanti kalau sudah SMP, baru saya sekolahkan anak saya ke sekolah luar biasa untuk meningkatkan kemampuan vokasional anak saya,” ucap Siti (53), salah satu orangtua anak berkebutuhan khusus.
Menurut Siti, selama bersekolah di SDN Barusari 01, anaknya bisa mengikuti pembelajaran dengan baik kendati perkembangan anaknya tidak secepat anak-anak reguler. Anak Siti, R, yang kini berusia 12 tahun dan duduk di bangku kelas V di SDN Barusari 01 itu, sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung.
”Waktu masih kelas I dan II, anak saya tidak sering cerita soal hal-hal yang dia alami di sekolah. Sekarang, terutama pas sudah kelas V, dia jadi sering cerita-cerita soal di sekolah main apa sama temannya atau misalnya dia usil sama temannya,” katanya.
Selain mendapatkan ilmu akademik, R juga mendapatkan ilmu non-akademik. R rutin mengikuti ekstrakurikuler tari. Hal itu membuat R beberapa kali ditunjuk untuk mengikuti pentas tari di kampungnya.
Siti berharap, ke depan, semakin banyak sekolah inklusi di Kota Semarang. Dengan begitu, anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan tempat untuk merasakan pendidikan di sekolah bersama dengan siswa-siswa reguler.