Banyak kasus diabetes tipe 1 pada anak yang tidak terdiagnosis dan salah diagnosis. Kesadaran publik akan penyakit ini juga rendah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak hanya dapat dialami orang dewasa, tetapi juga anak dan remaja. Meski demikian, pelayanan diabetes pada anak di Indonesia dinilai masih belum adil dan merata sehingga perlu diperbaiki karena kondisi ini justru dapat mengancam perkembangan mereka.
Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan, mengemukakan, pelayanan diabetes melitus tipe 1 (DMT1) di Indonesia untuk pasien anak dan dewasa tidak sama. Bahkan, sering kali penegakan diagnosis diabetes pada anak terlambat.
Diagnosis yang terlambat ini sangat berbahaya karena mereka kerap kali datang ke dokter ketika sudah dalam kondisi berat seperti mengalami ketoasidosis diabetikum (KAD) atau tingginya kadar keton di dalam tubuh. Hal ini pada akhirnya dapat meningkatkan risiko kematian.
Biaya pemeriksaan gula darah anak dengan DMT1 yang seharusnya tujuh kali sehari kini menjadi empat kali sehari belum ditanggung pemerintah.
”Kita perlu mengenali lebih dini dan mengoptimalkan akses pelayanan diabetes yang equitable. Jadi, pelayanan harus sama antara anak hingga usia 18 tahun dan orang dewasa,” ujar Aman dalam diskusi media yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) secara daring, Senin (6/11/2023).
Federasi Diabetes Internasional (IDF) mencatat, angka prevalensi DMT1 pada anak dan remaja berusia 0-19 tahun di dunia masih tinggi. Pada 2021, angka prevalensi DMT1 sebanyak 1,2 juta kasus. Kemudian pada 2022 angkanya meningkat menjadi 1,52 juta kasus dengan penambahan angka kasus baru sebanyak 201.000 kasus.
Sementara di Indonesia, data IDAI sepanjang 2017-2019 mencatat terdapat 1.249 anak dengan DMT1. Akan tetapi, estimasi prevalensi sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyak yang tidak terdiagnosis, salah diagnosis, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini. Pada 2017 juga tercatat 71 persen anak dengan DMT1 terdiagnosis dalam kondisi KAD.
Menurut Aman, terdapat sejumlah faktor yang menghambat akses pelayanan diabetes ini. Faktor tersebut mulai dari sosioekonomi seperti kurangnya cakupan asuransi; letak geografis; kurangnya fasilitas layanan kesehatan; rendahnya ketersediaan obat-obatan dan teknologi; keterbatasan sistem kesehatan; hingga disrupsi mayor seperti konflik atau pandemi.
”Biaya pemeriksaan gula darah anak dengan DMT1 yang seharusnya tujuh kali sehari kini menjadi empat kali sehari belum ditanggung pemerintah. Dari sisi teknologi, kita belum ada insulin pump dan continuous glucose monitor (alat pemantau gula),” tuturnya.
Aman juga menyebut, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang menyediakan insulin, gula darah plasma, dan pemeriksaan hemoglobin A1c. Namun, glukometer dan strip serta pemeriksaan C-Peptide dan antibodi GAD/ICA tidak didukung oleh JKN. Hal inilah yang membuat diagnosis DMT1 sering terlambat.
Selain itu, jumlah tenaga kesehatan yang ahli dan alat diagnostik DMT1 di banyak daerah di Indonesia juga masih terbatas. Tercatat, hanya ada 53 dokter anak ahli endokrinologi yang tersebar di 17 provinsi. Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap DMT1 juga masih rendah.
”Masalah ketidaksesuaian data dan pengobatan dapat diselesaikan melalui teknologi dan internet seperti registri DMT1 nasional digital terintegrasi. Kemudian advokasi untuk kepentingan pasien perlu terus diupayakan dan harus dikembangkan strategi untuk mengelola masa transisi ke pelayanan saat dewasa,” ucapnya.
Pemeriksaan individu
Ketua Tim Kerja Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik Kemenkes Esti Widiastuti mengakui, hal yang masih menjadi tantangan dalam penanganan diabetes ialah terkait dengan meningkatkan jangkauan pemeriksaan untuk setiap individu. Pemeriksaan ini sangat penting guna menjaring dan mendiagnosis kasus-kasus diabetes baru.
Upaya penapisan atau skrining untuk mendeteksi dini diabetes melitus pada kelompok usia 15-18 tahun dilakukan di sekolah. Kemudian, untuk kelompok usia 18-25 tahun dilakukan di kampus, tempat kerja, dan komunitas atau masyarakat. Sementara pada kelompok usia lebih dari 25 tahun dilakukan di tempat kerja, institusi, hingga komunitas di masyarakat.
”Kita berusaha melibatkan masyarakat untuk secara aktif melakukan skrining. Apabila terjadi masalah, akan langsung dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat primer untuk deteksi dini, konfirmasi, diagnosis, dan penanganan kasus,” kata Esti.
Selain itu, strategi pengendalian diabetes melitus lainnya, salah satunya, dilakukan melalui peningkatan pemantauan kontrol atau target gula darah. Di sisi lain, dilakukan pula penguatan penatalaksanaan dan pengobatan diabetes melitus sesuai standar di fasilitas kesehatan tingkat primer maupun rujukan tingkat lanjut.
Esti menekankan, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menangani penyakit ini tidak memandang usia. Kemenkes saat ini juga tengah menata upaya apa saja yang bisa diprioritaskan di fasilitas kesehatan primer untuk menangani diabetes melitus, termasuk pada anak dan remaja.