Anak dengan Diabetes Rentan Alami Pubertas Terlambat
Diabetes melitus pada anak bisa berdampak pada kondisi kesehatan lainya, termasuk berpengaruh pada pubertas. Itu sebabnya, kadar gula darah pada anak dengan diabetes harus terkontrol.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diabetes melitus pada anak dapat menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan, seperti gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu, risiko lain yang juga bisa terjadi ialah pubertas yang terlambat.
Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi anak anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dana Nur Prihadi, menyampaikan, anak dengan diabetes melitus dengan kondisi metabolik yang tidak terkontrol dapat berisiko mengalami pubertas yang terlambat. Apabila tidak ditangani dengan tepat, anak akan mengalami berbagai dampaknya.
”Apabila anak mengalami pubertas yang mundur atau bahkan tidak mengalami pubertas, itu pasti akan berpengaruh pada pola pertumbuhan. Selain pertumbuhan tinggi badan tidak optimal, dampak lainnya juga pada performa anak, kesuburan, dan siklus menstruasi pada anak perempuan,” katanya dalam diskusi media bertajuk ”Pencegahan Diabetes pada Anak dengan Pola Makan yang Tepat” di Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Dana mengatakan, anak dengan diabetes melitus, khususnya diabetes melitus tipe 1, biasanya memiliki berat badan yang rendah. Kondisi tersebut bisa berpengaruh pada pubertas seorang anak.
Ia menuturkan, diabetes pada anak harus menjadi perhatian bersama. Data IDAI menunjukkan, kasus diabetes pada anak pada 2023 di Indonesia meningkat hingga 70 kali lipat dibandingkan dengan 2010. Pada 2010, prevalensi kasus diabetes melitus pada anak 0,028 per 100.000 jiwa, sedangkan pada 2023 meningkat menjadi 2 per 100.000 jiwa.
Dari laporna itu, setidaknya 1.645 anak Indonesia yang mengidap diabetes melitus. Dari jumlah tersebut, 90 persen merupakan pasien diabetes melitus tipe 1. Jumlah kasus paling banyak ditemukan pada anak usia 10-14 tahun (46 persen), kemudian usia 5-9 tahun (32 persen), usia 0-4 tahun (19 persen), dan di atas 14 tahun (3 persen).
Apabila anak mengalami pubertas yang mundur atau bahkan tidak mengalami pubertas, itu pasti akan berpengaruh pada pola pertumbuhan. Selain pertumbuhan tinggi badan tidak optimal, dampak lainnya juga pada performa anak, kesuburan, dan siklus menstruasi pada anak perempuan.
Dana mengatakan, komplikasi lain yang patut diwaspadai pada anak dengan diabetes melitus, antara lain, ialah penyakit ketoasidosis diabetik (KAD), hipoglikemia, hiperglikemi, penyakit jantung dan pembuluh darah, retinopati, neuropati, hipotiroid, dan gastropati. Berbagai komplikasi tersebut, termasuk komplikasi keterlambatan masa pubertas, terjadi apabila kondisi metabolik anak tidak terkontrol. Kadar gula darah dalam darah harus diupayakan normal atau mendekati normal.
Untuk mengontrol metabolik seorang anak dengan diabetes, pemeriksaan HBA1C harus dilakukan secara rutin setidaknya tiga bulan sekali. Kadar HBA1C pada anak sebaiknya kurang dari 7,5. Penanganan yang lebih optimal diperlukan apabila kadar HBA1C anak masih tinggi sekalipun tidak ada gejala yang dialami.
”Kadar gula darah yang tinggi biasanya tidak menimbulkan gejala. Namun, manifetasi klinis yang perlu diperhatikan, yaitu jika anak sering merasa haus, sering buang air kecil, dan sering merasa lapar, tetapi berat badannya justru turun. Itu harus diwaspadai sebagai tanda dari diabetes,” ucap Dana.
Tata laksana
Dana menuturkan, anak dengan diabetes melitus tipe 1 akan membutuhkan insulin seumur hidup. Selain itu, tata laksana lainnya, yakni pada pengaturan asupan nutrisi atau diet, aktivitas fisik, monitoring kontrol metabolik, dan edukasi pada pasien dan keluarga.
Anak dengan diabetes melitus perlu membatasi kalori dengan proporsi 50-55 persen karbohidrat, 15-20 persen protein, dan 30 persen lemak. Kebutuhan kalori bisa dihitung dengan 1.000 kalori ditambah usia (tahun) dikalikan 100. Kalori juga perlu dihitung sesuai dengan berat badan yang ideal.
Jumlah makan juga perlu dibagi 20 persen untuk sarapan, 10 persen untuk camilan pagi, 25 persen makan siang, 10 persen camilan siang, 25 persen makan malam, dan 10 persen camilan malam. Pengaturan makanan pada anak dengan diabetes melitus disarankan sesuai dengan konsultasi dari ahli gizi.
”Anak dengan diabetes melitus juga tetap melakukan olahraga apa saja asal tidak ada komplikasi dan kontrol glikemiknya baik. Monitoring gula darah pun perlu dilakukan sebelum dan sesudah berolahraga,” kata Dana.
Pola makan
Guru Besar Perilaku Konsumsi Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB University Ujang Sumarwan mengatakan, kasus diabetes melitus yang tinggi di masyarakat, baik pada anak maupun dewasa, amat dipengaruhi oleh pola makan sehari-hari. Penyakit diabetes melitus, terutama diabetes tipe 2, terjadi karena gaya hidup yang dijalankan oleh masyarakat.
Menurut dia, tingginya konsumsi makanan dan minuman yang manis turut menjadi penyumbang bertambahnya angka diabetes di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar pada 2018 menunjukkan, 47,8 persen responden mengonsumsi makanan manis 1-6 kali per minggu. Pada anak usia 3-4 tahun juga ditemukan pola konsumsi makanan manis lebih dari satu kali sehari sebanyak 59,6 persen dan konsumsi minuman manis lebih dari satu kali sehari sebanyak 68,5 persen.
”Konsumsi gula yang berlebihan ini tentu menambah risiko penyakit diabetes. Literasi terkait bahaya konsumsi makanan dan minuman manis saja tidak cukup, kebijakan publik yang tegas yang bisa membatasi konsumsi makanan dan minuman manis, terutama mulai dari sisi produksi amat dibutuhkan,” ujar Ujang.
Kementerian Kesehatan menyarankan asupan gula per hari dibatasi sekitar 50 gram atau empat sendok makan untuk usia dewasa. Sementara Asosiasi Ahli Jantung Amerika Serikat (AHA) merekomendasikan batas maksimal konsumsi gula untuk anak usia 2-18 tahun kurang dari 24 gram per hari.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pemerintah berupaya menekan angka diabetes melitus di masyarakat. Intervensi dilakukan secara komprehensif, mulai dari pencegahan, deteksi dini, penanganan, sosialisasi, hingga edukasi.
”Kementerian Kesehatan juga telah bersurat kepada Kementerian Keuangan terkait dengan pemberlakuan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan. Penerapan cukai ini saat ini masih dalam pembahasan di Kementerian Keuangan, tetapi diperkirakan aturannya bisa dikeluarkan pada 2024 nanti,” ucapnya.