Berbagai kebijakan pemerintah terus digulirkan demi pemerataan kualitas pendidikan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerataan pendidikan yang berkualitas saat ini masih terus dikerjakan pemerintah. Hal ini untuk memberikan hak yang sama bagi setiap anak untuk mengenyam pendidikan bermutu, tanpa terpaku pada paradigma sekolah favorit.
”Kalau ada sekolah favorit dan tidak favorit, itu berarti memang kualitasnya enggak merata dengan segala praktiknya. Di beberapa daerah, sekolah favorit konyolnya bukan hanya menjadi incaran orangtua untuk sekolahkan anaknya. Tapi, guru juga ngincar, berebutan untuk masuk sekolah favorit,” ujar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Klaster Pemenuhan Hak Anak Ekspos Hasil Pengawasan KPAI Tahun 2023, Selasa (31/10/2023).
Pada rakornas yang mengusung tema ”Optimalisasi Pemenuhan Hak Anak dalam Menuju Indonesia Layak Anak” ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan hasil pengawasan tahun 2023, yakni pengawasan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2023 dan pengawasan percepatan penurunan stunting di Indonesia.
Menuju visi Indonesia Emas 2045 tersebut banyak tantangan yang dihadapi, di antaranya pemenuhan hak-hak anak yang masih menyisakan kesenjangan.
Terkait dengan sekolah favorit, Muhadjir membeberkan temuan dan pengalamannya. Ia pernah menemukan di sebuah sekolah dasar, guru-gurunya adalah istrinya pejabat di daerah, bahkan ada istri ketua DPRD dan sekretaris daerah.
”Sekolah favorit kalau kompetisinya ketat pasti anak-anak pintar yang masuk. Lah, kalau anak pinter enggak usah sekolah sudah pinter, bagaimana dengan yang tidak pinter? Kalau (anak) tidak pinter dikumpulkan sesama tidak pinter, ya, jadinya bodoh jamaah,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2016-2019 tersebut.
Padahal, filosofi pendidikan klasik itu adalah menggabungkan (combine) yang pintar dan tidak pintar. Karena itulah, dalam satu kelas isinya harus ada siswa pintar dan tidak pintar. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan zonasi dan pemerintah daerah seharusnya membenahi fasilitas di sekolah yang tidak favorit.
Dengan cara seperti itu, harapannya tidak ada lagi perbedaan yang sangat mencolok serta tidak ada lagi istilah sekolah favorit atau tidak. Pada rakor tersebut, Muhadjir mengungkapkan sejumlah temuan praktik buruk saat ada sekolah favorit dan tidak.
Misalnya di DKI, ada seorang anak yang rumahnya hanya sekitar 200 meter dari sebuah sekolah favorit, tetapi anak itu tidak bisa masuk sekolah favorit tersebut. Akibatnya, dia harus masuk sekolah swasta yang jauh dari rumahnya, tiap hari berangkat pukul 06.30 dan pulang rumah sekitar pukul 19.00. Karena saking jauhnya, sang anak tak tahan dan akhirnya memutuskan keluar dari sekolah.
Di Surabaya, Jawa Timur, bahkan ada sekolah favorit yang posisinya dekat rel kereta api, tapi tidak ada satu pun anak sekitar itu yang bisa masuk sekolah favorit tersebut. Sebaliknya, rumah mereka digunakan sebagai tempat titipan mobil dari anak-anak orang kaya yang sekolah di sekolah favorit tersebut.
Karena sekolahnya jauh, anak-anak di sekitar sekolah favorit lebih banyak bermain di rumah, aktivitas keseharian berjudi dengan mengadu merpati. Ketika zonasi diberlakukan, mereka akhirnya bisa bersekolah di sekolah favorit tersebut dan berhenti berjudi.
”Zonasi bisa ubah perilaku. Jadi kontroversi karena banyak orang yang merasa hak istimewanya terampas oleh kebijakan itu,” tandas Muhadjir. Ia pun berharap sistem zonasi seharusnya memberikan rasa keadilan.
Masih ada kesenjangan
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengungkapkan, Indonesia memiliki visi Indonesia Emas menyongsong 2045. Karena itu, pemenuhan hak dan perlindungan anak sebagai perwujudan kesejahteraan anak merupakan indikator penting negara yang maju akan mencapai bonus demografi yang berkualitas serta sumber daya manusia yang unggul.
”Menuju visi tersebut banyak tantangan yang kita hadapi, di antaranya pemenuhan hak-hak anak yang masih menyisakan kesenjangan,” ujar Ai.
Dalam pemenuhan hak pendidikan, masalah PPDB setiap tahun masih terus bergulir. KPAI terus mendorong agar kebijakan dan implementasi PPDB memperhatikan prinsip hak anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta menghormati pandangan anak.
”Berbagai catatan yang diterima KPAI dalam pengawasan pelaksanaan PPDB 2023, masih maraknya seperti pemalsuan dokumen kependudukan untuk pemenuhan jalur zonasi, pungutan liar, permasalahan zonasi dan umur, sosialisasi yang kurang masif, dan kurang meratanya satuan pendidikan di suatu daerah,” papar Ai.
Menurut Ai, KPAI melaksanakan agenda strategis pengawasan di tahun 2022 yang dilanjutkan tahun 2023 dalam ruang lingkup lima kluster perlindungan anak, yakni pemilu damai ramah anak; peningkatan kualitas pengasuhan; pengawasan pencegahan dan penanganan perkawinan anak; Indonesia bebas stunting; serta pemenuhan hak pendidikan melalui zonasi berkualitas.
Di dalam perlindungan khusus anak, KPAI melakukan pengawasan terhadap anak korban kekerasan (kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan tren anak bunuh diri), Sistem Peradilan Pidana Anak, eksploitasi ekonomi dan seksual serta di ranah daring, anak korban pornografi, anak korban radikalisme dan terorisme, serta upaya menghapus pekerja anak.
“Kami mendorong agar kebijakan dan implementasinya memperhatikan prinsip hak anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta menghormati pandangan anak,” kata Ai.