Pisau dari Gigi Hiu Berusia 7.000 Tahun Ditemukan di Sulawesi
Penggalian arkeologi di kawasan Maros-Pangkep, menemukan artefak dua pisau gigi hiu macan berusia ribuan tahun.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penggalian arkeologi di kawasan Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, menemukan artefak berupa dua pisau dari gigi hiu macan berusia sekitar 7.000 tahun. Bilah pisau ini merupakan bukti arkeologi paling awal secara global mengenai penggunaan gigi hiu sebagai senjata komposit yang diduga digunakan untuk ritual atau peperangan.
Temuan-temuan ini dilaporkan dalam jurnal Antiquity pada 24 Oktober 2023. Kajian ini merupakan kolaborasi peneliti Indonesia dengan Australia, dengan Michelle C Langley dari Australian Research Centre for Human Evolution Griffith University menjadi penulis pertama paper ini.
Sejumlah arkeolog Indonesia yang terlibat dalam penelitian ini antara lain Muhammad Nur, Basran Burhan, dan Iwan Sumantri dari Universitas Hasanuddin serta Adhi Agus Oktaviana dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Adam Brumm, arkeolog senior dari Griffith University, juga terlibat dalam kajian ini.
Tim peneliti internasional menggunakan kombinasi analisis ilmiah, reproduksi eksperimental, dan observasi komunitas manusia baru-baru ini untuk menentukan bahwa dua gigi hiu yang ditemukan telah dimodifikasi dan pernah dipasang pada gagang sebagai bilahnya.
”Dua spesimen tersebut ditemukan dalam konteks arkeologi yang dikaitkan dengan budaya Toalean—masyarakat pemburu dan peramu pra-Austronesia yang hidup di barat daya Sulawesi dari sekitar 8.000 tahun lalu hingga periode yang tidak diketahui di masa lalu,” sebut Langley dalam artikelnya di The Conversation pada Jumat (27/10/2023).
Para peneliti menduga, gigi hiu tersebut berukuran serupa dan berasal dari hiu macan (Galeocerda cuvier) yang panjangnya kurang lebih 2 meter. Kedua giginya berlubang. Sebuah gigi lengkap, ditemukan di situs Goa Leang Panninge, memiliki dua lubang yang dibor hingga ke akarnya. Gigi lainnya, ditemukan di Goa Leang Bulu’ Sipong 1, memiliki satu lubang meski sudah pecah dan kemungkinan besar awalnya juga memiliki dua lubang.
Menurut Langley, pemeriksaan mikroskopis pada gigi menemukan bahwa gigi tersebut pernah dipasang erat pada pegangan menggunakan benang nabati dan bahan seperti lem. Perekat yang digunakan merupakan kombinasi bahan mineral, tumbuhan dan hewan.
”Penemuan dua gigi hiu macan yang dimodifikasi dan dimanfaatkan dalam konteks Toalean di Sulawesi memperluas pengetahuan kita tentang budaya material non-litik para pemburu-pengumpul pertengahan Holosen di Indonesia,” tulis para peneliti dalam paper-nya.
Dua spesimen tersebut ditemukan dalam konteks arkeologi yang dikaitkan dengan budaya Toalean—masyarakat pemburu dan peramu pra-Austronesia yang hidup di barat daya Sulawesi dari sekitar 8.000 tahun lalu.
Temuan-temuan tersebut juga memberikan bukti paling awal di kawasan ini mengenai penggunaan gigi hiu sebagai komponen senjata bertangkai, contoh penggunaan yang banyak terdapat dalam etnografis di kawasan Asia-Pasifik.
”Perbandingan dengan kumpulan data arkeologi dan etnografi mengenai penggunaan gigi hiu secara global menemukan bahwa artefak-artefak tersebut kemungkinan besar terkait dengan aktivitas ritual dan atau konflik. Aspek ini sampai sekarang belum dapat didokumentasikan penelitian arkeologi yang didedikasikan untuk masyarakat Toalean,” sebut tim peneliti.
Masyarakat Toalean
Sebelumnya, tim peneliti ini juga melaporkan temuan fosil perempuan yang terkubur di Leang Panninge, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, sejak 7.200 tahun lalu. Homo sapiens ini menyimpan separuh genetika leluhur Papua dan Aborigin, Australia, yang menjawab teka-teki riwayat perjalanan dan pembauran manusia Indonesia sebelum kedatangan penutur Austronesia.
Pada tahun 2015, para arkeolog dari Universitas Hasannudin (Unhas), Makassar, yang dipimpin Akin Duli dan Basran Burhan menemukan kerangka manusia yang terkubur di mulut Goa Leang Panninge, Kecamatan Mallawa, perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, sekitar 100 kilometer dari Makassar. Dari fenotipenya, sosok kerangka itu disimpulkan sebagai gadis muda.
Besse (dibaca bur-sek) adalah sebutan yang diberikan para arkeolog Unhas ini terhadap nama gadis muda itu. ”Besse adalah nama yang biasa disematkan untuk anak perempuan dalam tradisi Bugis-Makassar. Semacam panggilan kesayangan untuk anak perempuan kita,” ujar Iwan Sumantri, arkeolog Unhas yang terlibat dalam penggalian di Leang Panninge atau Goa Kelelawar ini.
Menurut Iwan, berdasarkan posisinya saat ditemukan, Besse telah menjalani prosesi penguburan. ”Di bawah kepala kerangka Besse ditaruh pengganjal. Demikian juga pengganjal ditaruh di atas kepala,” katanya.
Kawasan karst di sekitar Maros ini memang menyimpan kekayaan peradaban kuno. Di kawasan ini pula, tepatnya di Leang Bulu’ Sipong, ditemukan dua lukisan tangan tertua di dunia. Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature pada tahun 2019 itu menyebutkan, lukisan babi pada dinding goa itu berusia 43.900 tahun dan lukisan anoa berumur 40.900 tahun.
Sulawesi, yang merupakan pulau terbesar di gugus Kepulauan Wallacea, menjadi batu loncatan pertama penyebaran manusia modern pertama dari Eurasia ke Oseania, termasuk Papua dan Australia. Sejumlah temuan arkeologis dan genetik di Australia menunjukkan leluhur Aborigin telah tiba di daratan itu lebih dari 50.000 tahun yang lalu sehingga kedatangan manusia modern di Wallacea diperkirakan terjadi sebelumnya.