Sejumlah gagasan dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2023. Hal ini perlu ditindaklanjuti untuk mendorong pemajuan kebudayaan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) memanen buah-buah gagasan dari 50 ruang dialog yang digelar di Jakarta, 23-27 Oktober 2023. Namun, gagasan tersebut perlu diwujudkan dalam gerakan nyata agar berdampak terhadap upaya pemajuan kebudayaan.
Ribuan pelaku seni budaya dari penjuru Nusantara urun rembuk dalam kongres lima tahunan itu. Mereka mendiskusikan berbagai aspek kebudayaan, di antaranya inklusivitas dan kebebasan berekspresi, kebudayaan dan pendidikan, pemberdayaan desa, kedaulatan pangan, adaptasi teknologi, serta kelembagaan kebudayaan.
Setidaknya 10 gagasan utama lahir dari KKI tahun ini. Salah satunya menyebutkan, periode 2024-2029 merupakan babak penting dalam pemajuan kebudayaan sebagai kebutuhan dasar publik sekaligus panduan transformasi ekonomi, sosial, dan ekologi untuk mencapai visi Indonesia 2045.
Terkait masalah lingkungan, kongres menekankan krisis iklim dan kerusakan alam beserta semua bentuk dampaknya mendesak Indonesia untuk segera menyiapkan transformasi sistem pangan berbasis karakter negara kepulauan dengan segala keanekaragamannya. Gagasan lainnya meneguhkan masyarakat adat dan lokal sebagai salah satu penggerak penting pemajuan kebudayaan.
”Kita sering berbicara mengenai kebudayaan sebagai potensi luar biasa. Namun, potensi itu perlu diwujudkan sehingga kelihatan bentuknya,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, Minggu (29/10/2023), di Jakarta.
Oleh sebab itu, gagasan yang dipetik dari KKI 2023 mesti diimplementasikan agar tidak menguap sebatas wacana. Hal ini membutuhkan ruang untuk mengintegrasikan ekosistem budaya dalam satu kawasan sehingga berbagai aspek dapat dimaksimalkan untuk pemajuan kebudayaan.
Menurut Hilmar, upaya pemajuan kebudayaan tidak sebatas pembangunan fisik. Mengaktifkan tempat dan sarana di tengah masyarakat untuk kepentingan kebudayaan menjadi jauh lebih penting.
”Di setiap kampung, kemungkinan ada orang-orang yang mengetahui cerita mengenai kampung tersebut, mengenal ekspresi budayanya, dan seterusnya. Aspek-aspek ini yang harus diintegrasikan. Arahnya akan ke sana ketimbang setiap daerah mesti mempunyai taman budaya,” jelasnya.
Hilmar menambahkan, hasil KKI 2023 senada dengan rekomendasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kebudayaan yang berlangsung pada 20-29 Oktober. Hal ini semakin menegaskan kebudayaan sebagai sumber daya untuk menghadapi berbagai tantangan, seperti ekologi, ekonomi, dan sosial.
Akan tetapi, diperlukan komitmen kuat banyak pihak untuk mewujudkan gagasan besar itu. Dalam mengkreasi kawasan pemajuan kebudayaan, misalnya, harus segera dibahas langkah-langkah untuk mengidentifikasi kekayaan budaya, cara mengolahnya, mengatasi masalah finansial dan kebutuhan lainnya, serta memaksimalkan pemanfaatannya.
”Penginnya tahun depan sudah bisa dimulai. Pada akhirnya kebudayaan dalam hal ini bukan sebagai bidang atau sektor, melainkan cara pandang yang holistik mengurusi berbagai bidang, termasuk pendidikan dan ekonomi,” ucap Hilmar.
Rencana aksi
Sepuluh gagasan KKI tahun ini dirangkum dalam Maklumat KKI 2023: Kebudayaan sebagai Daya Transformasi keindonesiaan. Maklumat tersebut turut menyinggung tentang pendidikan berkebudayaan sebagai sekolah kehidupan yang meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan keanekaragaman dan kekayaan budaya, kecakapan adaptasi terhadap perubahan teknologi dan ekologi, serta sikap merdeka yang berintegritas.
Selain itu, pemanfaatan teknologi digital menjadi keniscayaan dalam mengolah data raya Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), Indeks Kebudayaan, Program Indonesiana, dan berbagai hasil panen budaya masyarakat. Butir-butir gagasan dalam kongres disusun sebagai Rencana Aksi Nasional Pemajuan Kebudayaan 2025-2029 yang menjadi cetak biru untuk kebijakan kebudayaan selama lima tahun mendatang.
Upaya pemajuan kebudayaan tidak sebatas pembangunan fisik. Mengaktifkan tempat dan sarana di tengah masyarakat untuk kepentingan kebudayaan menjadi jauh lebih penting.
”Terbukti bahwa KKI 2023 ini telah membuat keluaran rekomendasi yang membumi, menukik, dan memberi harapan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia mampu mengemban tanggung jawab sebagai bangsa adidaya budaya,” ujar Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti. Kebudayaan tidak sebatas warisan untuk dilestarikan, tetapi juga kekuatan dalam mendorong kreativitas dan pembangunan berkelanjutan.
Terkait kelembagaan, KKI 2023 turut merekomendasikan Indonesia memerlukan suatu badan amatan pemajuan kebudayaan yang memantau, mengkaji perubahan budaya, dan merumuskan kebijakan dengan pendekatan holistik dan multidisiplin. Hasil kongres bermuara pada urgensi terbentuknya sebuah kementerian yang secara khusus menangani kebudayaan secara terpadu.
Akar rumput
Selain itu, KKI 2023 tidak luput merekam sejumlah persoalan yang dihadapi pelaku seni budaya di akar rumput. Masalahnya sangat beragam, mulai dari pendanaan hingga adaptasi terhadap transformasi digital dalam berkebudayaan.
Seniman Komunitas Tifa Kreatif dari Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Yanpit Maniani, mengatakan, persoalan pendanaan di bidang kebudayaan sebenarnya berusaha diatasi pemerintah melalui Dana Indonesiana yang merupakan Dana Abadi Kebudayaan. Namun, banyak pelaku seni budaya di daerah masih kesulitan untuk mengakses dana tersebut.
”Konsepnya sebenarnya bagus. Namun, harus dipikirkan bagaimana seniman dan budayawan tidak kesulitan untuk memenuhi syaratnya. Sebab, kami yang di pelosok daerah ini masih terkendala untuk persoalan administrasi,” tuturnya.
Menurut Yanpit, KKI membuka kesempatan bagi pelaku seni budaya dari beragam latar belakang untuk menyumbangkan gagasan guna mengembangkan kebudayaan di Tanah Air. Ia berharap kongres itu dapat diawali dengan musyawarah budaya di level komunitas hingga provinsi sebelum digaungkan di tingkat nasional.
KKI yang digelar lima tahun sekali menjadi wadah bagi pelaku seni budaya seantero negeri untuk menyumbangkan pemikiran sebagai landasan kebijakan kebudayaan. Gagasan-gagasan yang lahir dari berbagai diskusi dan perdebatan mesti ditindaklanjuti agar tidak sekadar menjadi rekomendasi tanpa dampak berarti.