Periode Emas 4,5 Jam yang Menyelamatkan Pasien Stroke
Stroke harus segera ditangani sejak gejala muncul. Tata laksana stroke perlu diberikan maksimal 4,5 jam setelah serangan terjadi. Keterlambatan penanganan bisa berisiko pada kecacatan permanen hingga kematian.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Stroke perlu dipahami sebagai kondisi kegawatan yang harus segera ditangani. Keterlambatan dalam penanganan dapat berakibat pada kematian jaringan otak. Jika semakin lama dibiarkan, jaringan otak yang rusak akan semakin luas sehingga pasien terancam mengalami kecacatan hingga kematian.
Komaruddin Rachmat (69) merupakan salah satu penyintas stroke yang berhasil melewati fase kegawatan akibat stroke. Serangan stroke pertama kali dialami Rachmat pada 16 September 2012. Saat itu, ia mengalami stroke akibat pembuluh darah yang pecah. Beruntungnya, penanganan bisa segera diberikan setelah stroke terjadi.
Setelah sembilan hari dirawat di rumah sakit, ia bisa pulang. Namun, proses pemulihan masih harus dijalankan. Kondisi Rachmat masih buruk sepulang dari rumah sakit. ”Saya mengalami lumpuh sebagian (tubuh). Tangan dicubit tidak terasa, kaki dicubit pun tidak terasa. Bahkan, dibakar juga tidak terasa,” katanya.
Setelah enam bulan proses pemulihan dijalankan, kondisi Rahmat berangsur membaik. Ia kini sudah bisa berjalan seperti biasa dan menjalankan aktivitas dengan baik. Menurut dia, selain segera mendapatkan penanganan, kedisiplinan setelah proses pemulihan tidak kalah penting. Gaya hidup harus diubah menjadi lebih sehat dengan menghindari makanan tinggi lemak jenuh serta tetap beraktivitas fisik secara rutin.
Anggota Perkumpulan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia (Perdosni), Mohammad Kurniawan, mengatakan, stroke merupakan masalah kesehatan yang harus menjadi perhatian serius. Sebab, stroke merupakan suatu kondisi kegawatan yang perlu segera ditangani ketika tanda dan gejala gangguan saraf muncul.
Tanda dan gejala tersebut antara lain kelumpuhan anggota gerak satu sisi, gangguan sensibilitas separuh sisi seperti senyum yang tidak simetris, wajah merot, bicara pelo, gangguan penglihatan yang terjadi tiba-tiba, serta rasa kebas atau kesemutan separuh tubuh. Tanda lainnya, sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba serta gangguan fungsi keseimbangan. Terkadang muncul juga tanda seperti gemetar, sempoyongan, dan pingsan.
”Penting sekali untuk mengenal tanda dan gejala stroke. Jangan menunda ke rumah sakit. Segera bawa ke rumah sakit apabila salah satu gejala stroke terjadi. Gejala stroke bisa menyebabkan kematian jaringan otak yang semakin lama bisa semakin luas. Pasien bisa terancam kecacatan hingga kematian,” katanya dalam acara Peringatan Hari Stroke Sedunia di Jakarta, Jumat (27/10/2023). Hari Stroke Sedunia diperingati setiap 29 Oktober.
Periode emas
Kurniawan menyampaikan, penderita stroke dapat tertolong serta terhindar dari risiko kematian dan kecacatan permanen apabila cepat mendapatkan pertolongan. Penanganan stroke memiliki periode emas yang hanya selama 4,5 jam setelah serangan stroke muncul.
Setidaknya, kurang dari dua jam, pasien yang dicurigai mengalami stroke harus sudah tiba di rumah sakit rujukan. Setelah tiba di rumah sakit, evaluasi awal serta pemeriksaan neurologis dan CT scan (computerized tomography scan) dilakukan untuk menentukan jenis stroke dari pasien. Setelah itu, terapi akan diberikan sesuai dengan kondisi pasien.
Pastikan pula rumah sakit rujukan dapat melakukan terapi trombolisis dan terapi endovaskular. Terapi tersebut dibutuhkan dalam penanganan stroke. ”Selain cepat membawa ke rumah sakit, pastikan pula rumah sakit yang dituju memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Ingat, time is brain. Jika terlambat, kerusakan pada otak bisa semakin besar,” tutur Kurniawan.
Jangan menunda ke rumah sakit. Segera bawa ke rumah sakit apabila salah satu gejala stroke terjadi. Gejala stroke bisa menyebabkan kematian jaringan otak yang semakin lama bisa semakin luas.
Periode emas dalam penanganan stroke yang cukup singkat membuat akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang mumpuni menjadi sangat penting. Layanan kesehatan yang lengkap dengan tenaga kesehatan serta sarana yang berkualitas perlu semakin dekat tersedia di masyarakat. Harapannya, banyak masyarakat yang bisa diselamatkan dari risiko penyakit, termasuk risiko dari stroke.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menyampaikan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat melalui transformasi sistem kesehatan. Salah satu bentuk transformasi tersebut dilakukan pada sistem layanan kesehatan rujukan.
”Dalam upaya transformasi kesehatan untuk Indonesia maju ini, pemerintah juga berupaya untuk membangun jejaring layanan stroke dengan pemenuhan sarana prasana serta tenaga kesehatan yang dibutuhkan. Kita juga mengupayakan pengobatan presisi dengan WGS (whole genome sequencing) yang dikoordinasi oleh RS PON (RS Pusat Otak Nasional) khusus untuk stroke,” ujarnya.
Eva menyampaikan, selain melengkapi sarana dan prasarana untuk penanganan stroke, upaya preventif dan edukasi untuk mencegah dan mendeteksi stroke sejak dini juga semakin ditingkatkan. Upaya pencegahan jauh lebih baik dilakukan dibandingkan dibandingkan dengan pengobatan.
Pencegahan stroke harus dimulai dengan mencegah faktor risiko, seperti hipertensi, obesitas, diabetes, pola makan yang buruk, kolesterol tinggi, merokok, serta aktivitas fisik yang kurang. Data Riset Kesehatan Dasar di Indonesia menunjukkan tingginya angka faktor risiko dari stroke pada masyarakat.
Pada 2018 tercatat prevalensi hipertensi pada usia lebih dari 18 tahun mencapai 8,4 persen. Selain itu, prevalensi prediabetes dan diabetes pada penduduk usia lebih dari 15 tahun sebesar 2,0 persen. Prevalensi merokok pada usia lebih dari 10 tahun sebesar 28,8 persen. Prevalensi kurang aktivitas fisik pada usia lebih dari 10 tahun sebesar 33,5 persen.
”Kondisi ini menjadi tantangan dalam pencegahan dan pengendalian stroke di Indonesia. Faktor risiko yang tidak dikendalikan dapat menyumbang kejadian stroke. Padahal, angka stroke terus meningkat,” tutur Eva.
Pada 2013 tercatat 7 per 1.000 penduduk mengalami stroke. Jumlah itu meningkat menjadi 10,9 per 1.000 penduduk pada 2018. Beban biaya stroke pada program Jaminan Kesehatan Nasional juga meningkat dari Rp 1,91 triliun pada 2021 menjadi 3,23 triliun pada 2022.
”Stroke menjadi penyebab utama disabilitas dan kematian di dunia, termasuk Indonesia. Padahal, stroke bisa dicegah dengan mengendalikan faktor risiko. Pencegahan faktor risiko ini butuh komitmen setiap individu untuk bisa bertanggung jawab pada diri sendiri dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat,” ujar Eva.