Pemuda Indonesia Diajak Pantang Menyerah Majukan Bangsa
Generasi muda bangsa diajak untuk meneladani semangat gotong royong para pemuda pencetus Sumpah Pemuda. Kolaborasi pemuda dalam keberagaman berhasil membawa Indonesia memegang komitmen kebangsaan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda pada Sabtu (28/10/2023) mengingatkan tentang sejarah gotong royong seluruh elemen pemuda yang berhasil menebar semangat jiwa patriotisme sekaligus menyatukan visi kebangsaan melalui Sumpah Pemuda 1928. Karena itu, generasi muda Indonesia didorong memiliki semangat pantang menyerah untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang semakin baik di mata dunia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Suharti dalam upacara bendera Hari Sumpah Pemuda ke-95, Sabtu, di Kemendikbudristek, Jakarta, mengatakan, gotong royong seluruh elemen pemuda berhasil melahirkan sebuah komitmen kebangsaan, yaitu bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. ”Perayaan Hari Sumpah Pemuda tahun ini harus kita jadikan momentum untuk membangun kolaborasi antargenerasi dan antarsektor,” kata Suharti yang memakai busana adat asal daerah Aceh.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini mengambil tema ”Bersama Majukan Indonesia”. Pemerintah membuka luas partisipasi pemuda-pemudi generasi muda Indonesia guna mewujudkan harapan masa depan Indonesia bersama-sama. Untuk itu, inklusivitas dalam ekosistem kolaborasi lintas generasi didorong guna membangun optimisme kolektif.
”Para pemuda-pemudi mendapatkan tempat terhormat di dalam pembangunan nasional,” ujar Suharti.
Posisi Indonesia, kata Suharti, sedang berproses menyelesaikan persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran, narkoba, pornografi, hoaks, ujaran kebencian serta sejumlah problem bangsa lainnya. Namun, masalah bangsa ini jangan menjadi alasan bagi para pemuda untuk berhenti melaju menuju Indonesia maju dan menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Di sisi lain, perkembangan teknologi terkini dan arus informasi yang semakin cepat membuat kesenjangan penguasaan terhadap teknologi dan informasi antargenerasi. Penguasaan pemuda terhadap teknologi dan informasi serta literasi digital menjadi sesuatu yang harus disikapi secara serius.
Oleh karena itu, setiap pemuda perlu mempunyai visi, misi, dan peran strategis untuk 30 tahun mendatang agar pembangunan dapat berlari lebih cepat. Strategi paling ampuh adalah dengan tolong-menolong lintas generasi dan gotong royong lintas sektor.
Tidak pesimistis
Secara terpisah, di webinar bertajuk ”Sumpah Pemuda dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya: Memperkuat Kohesi Sosial dalam Masyarakat Plural” yang diadakan Institut Leimena, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengingatkan para pemuda Indonesia agar tidak pesimistik memandang bangsanya sendiri, tetapi senantiasa memperjuangkan persatuan di tengah perbedaan dan kemajemukan.
”Sumpah Pemuda adalah pengingat akan perjuangan para pemuda dari berbagai suku, agama, dan budaya di Indonesia untuk bersatu membangun sebuah bangsa,” kata Nasaruddin.
Nasaruddin yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Ponpes As’adiyah Sengkang, Sulawesi Selatan, berpesan agar pemuda Indonesia jangan hanya menjelekkan bangsa sendiri dan mengagumi bangsa lain. ”Dengan segala kekurangan bangsa kita, kita tetap harus menghargai bangsa sendiri. Indonesia selayaknya ’kepingan surga’ karena memiliki alam yang sangat subur serta masyarakat dan budaya yang beragam. Al Quran juga menyebut tentang keberagaman bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itulah sebabnya, pemuda Indonesia masa kini menghadapi tantangan untuk mengembangkan perbedaan menjadi sebuah kekuatan, bukan kelemahan,” ujar Nasaruddin.
Sementara itu, Senior Research Fellow dari University of Washington, Amerika Serikat, Chris Seiple, mengatakan, Sumpah Pemuda adalah sebuah deklarasi luar biasa yang telah membentuk bangsa Indonesia. Dia merasa sangat beruntung bisa mempelajari Sumpah Pemuda dari program literasi keagamaan lintas budaya. Salah satunya, ia mengenal sosok Johannes Leimena yang merupakan tokoh Sumpah Pemuda sebagai perwakilan Jong Ambon dalam Kongres Pemuda tahun 1928.
”Beliau (Johannes Leimena) berusia 23 tahun ketika Sumpah Pemuda. Saya berpikir, apa yang saya pikirkan saat berusia 23 tahun, bagaimana saya bisa belajar berpikir seperti beliau untuk saling menghormati dan bekerja sama supaya ada satu nusa, satu bangsa, dan satu masyarakat,” kata Chris.
Guru Sekolah Kristen Tritunggal, Danny Prasetyo, menyampaikan, Sumpah Pemuda 1928 menjadi bukti bahwa semangat persatuan dan rasa bangga atas tumpah darah Indonesia sudah tumbuh jauh sebelum kemerdekaan. ”Penekanan dalam Sumpah Pemuda adalah kata ’kami’, bukan ’aku’, artinya generasi muda saat ini harus mampu mengendalikan ego dan kepentingan pribadi, sebaliknya mengutamakan kepentingan umum, bangsa, dan negara,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan, program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) merupakan upaya Institut Leimena dan berbagai mitra untuk meneruskan semangat dan cita-cita Sumpah Pemuda.
Program itu difokuskan kepada guru dan pendidik agama karena pentingnya peran pendidikan dalam membangun sikap saling menghargai sesama manusia terlepas dari berbagai perbedaan. Program LKLB telah diikuti sedikitnya 5.700 guru lintas agama dan penyuluh agama dari 34 provinsi sejak program ini diadakan tahun 2021.