Kasus cacar monyet di Indonesia diperkirakan bisa mencapai 3.600 orang. Vaksin Mpox disiapkan untuk mencegah penularan di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus cacar monyet atau Mpox yang dilaporkan di Indonesia terus bertambah. Upaya pengendalian semakin diperkuat, yang salah satunya dilakukan melalui pemberian vaksin. Pemerintah pun berencana untuk menambah stok vaksin Mpox setidaknya cukup untuk sasaran pada populasi rentan.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu dalam konferensi pers daring terkait ”Update Penanganan Kasus Cacar Monyet (Monkeypox) di Indonesia”, Kamis (26/10/2023), di Jakarta, menuturkan, jumlah kasus Mpox yang sudah terkonfirmasi saat ini mencapai 14 orang. Sebanyak dua kasus lainnya masuk dalam kasus probable dan sembilan kasus masih dalam status suspek.
”Penularan kasus yang terjadi sudah transmisi lokal. Jadi, setiap kasus yang bertambah setiap hari sudah pasti ada. Dari hitungan epidemiologi diperkirakan kasus (Mpox) di Indonesia bisa mencapai 3.600 kasus,” katanya.
Kasus Mpox atau cacar monyet pertama kali di Indonesia dilaporkan pada 20 Agustus 2023. Saat itu, kasus yang dilaporkan sebanyak satu orang. Sementara sejak 13 Oktober 2023, kasus cacar monyet kembali dilaporkan dan terus bertambah hingga saat ini mencapai 14 kasus.
Penularan kasus yang terjadi sudah transmisi lokal. Jadi, setiap kasus yang bertambah setiap hari sudah pasti ada. Dari hitungan epidemiologi diperkirakan kasus (Mpox) di Indonesia bisa mencapai 3.600 kasus.
Dari catatan Kementerian Kesehatan, kasus yang dilaporkan paling banyak ditemukan pada usia 25-29 tahun (64 persen). Semua kasus yang dilaporkan berjenis kelamin laki-laki dengan metode penularan berasal dari kontak seksual.
Sementara berdasarkan kondisi gejala yang muncul, sebagian besar mengalami gejala. Adapun gejala tersebut, antara lain, ialah muncul lesi (luka), demam, limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening), nyeri tenggorokan, ruam, mialgia (nyeri otot), dan sulit menelan. ”Dari gejala itu, gejala yang paling khas dari Mpox adalah limfadenopati. Itu yang jadi pembeda dari penyakit lainnya,” kata Maxi.
Vaksinasi
Maxi menuturkan, pemerintah kini telah mengupayakan pemberian vaksinasi untuk penanganan Mpox. Untuk sementara, ketersediaan vaksin Mpox sekitar 1.000 dosis. Kementerian Kesehatan mengidentifikasi 477 orang yang akan jadi sasaran imunisasi Mpox. Pemberian itu diprioritaskan bagi kelompok paling berisiko dan kontak erat. Kelompok risiko utama dari penularan Mpox pada laki-laki yang berhubungan seks dengan sejenis.
Dengan perkiraan jumlah kasus Mpox yang cukup tinggi yang mencapai 3.600 kasus. pemerintah telah menyiapkan vaksin tambahan. Setidaknya sebanyak 2.000 dosis vaksin telah didapatkan dari bantuan ASEAN.
Secara teknis, vaksin Mpox diberikan dalam dua dosis dengan interval empat minggu. Jenis vaksin Mpox yang digunakan saat ini merupakan vaksin impor yang diproduksi oleh Bavarian Nordic Denmark. Vaksin yang diberikan tersebut telah mendapatkan sertifikat pelulusan vaksin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Konsultan penyakit tropik dan infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Robert Sinto, menyampaikan, vaksin Mpox memang tidak bisa 100 persen untuk mencegah penularan Mpox. Namun, vaksin ini dapat menekan risiko perburukan serta menekan jumlah atau luas lesi yang bisa muncul akibat penularan.
”Selain sebagai upaya pencegahan, vaksin Mpox juga dapat diberikan sebagai post-exposure prophylaxis. Jadi, pasca-empat hari setelah ada kontak dengan pasien yang terkonfirmasi Mpox, vaksin bisa diberikan untuk perlindungan,” ujarnya.
Surveilans
Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Prasetyadi Mawardi, mengatakan, upaya surveilans penting dilakukan dalam upaya penanganan Mpox di masyarakat. Sebab, penularan Mpox sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat.
Dalam upaya surveilans, komunitas yang memiliki fokus pada populasi khusus pun perlu dilibatkan. Pendekatan pada populasi khusus akan lebih mudah dilakukan melalui komunitas.
”Perlu diketahui pula bahwa penularan Mpox tidak mudah. Berbeda dengan cacar air yang penularannya sangat cepat, penularan Mpox terbilang lambat. Tingkat kematian dari penyakit Mpox cukup rendah, tidak sampai 1 persen,” ucapnya. Masyarakat, khususnya populasi berisiko, diharapkan bisa terbuka apabila mengalami gejala dari Mpox. Keterbukaan tersebut diperlukan agar surveilans dan penemuan kasus bisa lebih cepat dilakukan.
”Jika tidak terbuka, kami akan kesulitan untuk melakukan tracing (pelacakan). Diharapkan pula untuk mencegah terjadinya penularan dengan tidak berhubungan seks dengan pasangan yang menunjukkan gejala Mpox serta tidak berhubungan seks dengan banyak pasangan dan berganti-ganti,” ucapnya.