Bayi dan Balita Pun Bisa Alami Gangguan Kecemasan
Gangguan kesehatan mental pada bayi dan anak balita sering kali tidak teridentifikasi dan tidak mendapat terapi tepat.
Persoalan kesehatan mental pada anak-anak yang berumur kurang dari lima tahun masih terabaikan. Padahal, sama seperti orang dewasa, bayi dan balita juga bisa mengalami kecemasan dan berbagai gangguan jiwa lain. Namun, masalah yang mereka alami kurang mendapat perhatian serius dari orangtua ataupun pengasuhnya.
Laporan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Kerajaan Britania Raya (The Royal College of Psychiatrist/RCPsych), Oktober 2023, menunjukkan 5,5 persen anak berumur 2-4 tahun di Inggris memiliki masalah kesehatan mental pada 2017. Setelah itu, prevalensi anak usia 5-18 tahun yang mengalami masalah mental meningkat signifikan.
Sebanyak 10-25 persen anak usia 5-18 tahun memiliki hubungan yang tidak baik dengan pengasuh utama mereka. Kondisi itu meningkatkan berbagai risiko buruknya relasi sosial, masalah emosional, ataupun hasil pembelajaran. Hubungan yang tidak harmonis dengan pengasuhnya itu juga meningkatkan risiko gangguan mental.
Banyak masalah mental yang sudah mulai berkembang pada tahun-tahun awal kehidupan, bahkan saat anak masih dalam kandungan. Sekitar setengah masalah kesehatan mental sudah muncul tanda-tandanya sebelum anak berusia 14 tahun.
Orangtua, pengasuh, dan masyarakat memiliki peran penting untuk memastikan hubungan yang positif dengan lingkungan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan kognitif anak.
Sejumlah gangguan mental yang bisa terjadi pada anak, dari bayi hingga beranjak dewasa, seperti dikutip dari situs Mayo Clinic, 2 Maret 2022, antara lain gangguan kecemasan, gangguan hiperaktivitas atau defisit perhatian (ADHD), gangguan spektrum autisma (ASD), gangguan makan, depresi dan gangguan suasana hati, gangguan stres pascatrauma (PTSD),serta skizofrenia.
Karena itu, tindakan dini sangat penting untuk memastikan anak bisa tetap bertumbuh kembang seoptimal mungkin.
Nyatanya hanya sebagian kecil masalah kesehatan mental pada anak balita teridentifikasi, menerima perawatan, dan mendapat intervensi yang memadai. Padahal, masalah kesehatan mental pada anak usia dini yang tidak tertangani akan berdampak besar pada perkembangan mereka hingga remaja dan dewasa.
”Sebagian besar balita dengan masalah kesehatan mental tidak menerima dukungan yang akan membantu mereka menjadi orang dewasa yang produktif, berfungsi dengan baik, dan mencapai potensi mereka secara optimal,” kata Trudi Seneviratne dari RCPsych seperti dikutip dari BBC, Sabtu (21/10/2023).
Periode pertumbuhan anak mulai dari pembuahan hingga usia 5 tahun sangat penting dalam menjamin perkembangan anak yang sehat secara fisik dan mental hingga mereka dewasa. Namun, periode ini sering kali dianggap tidak penting. Akibatnya, banyak tanda masalah kesehatan mental pada periode itu diabaikan.
Tanda-tanda masalah kesehatan mental pada bayi dan anak balita itu menurut dokter keluarga di Wisconsin, Amerika Serikat, Kyja Stygar dan John Zadroga di Mayo Clinic Health System, 20 April 2021, antara lain ditunjukkan dengan pola tidur yang buruk, anak sulit makan, atau anak menangis terus-menerus.
Munculnya masalah mental pada bayi dan balita juga ditandai oleh rasa gelisah anak, gangguan lambung, serta terlihat cemas, tegang, atau ketakutan. Kondisi itu akan membuat pertambahan berat badan anak terhambat hingga anak gagal memenuhi tonggak-tonggak perkembangan sesuai umurnya. Tumbuh kembang anak pun jadi terganggu.
Baca juga: Pandemi Mengancam Kesehatan Mental Anak
Bayi lahir dengan sistem neurologis yang sangat mudah dipengaruhi. Mereka belum mampu mengatur kondisi fisik dan emosionalnya secara mandiri. Mereka belajar melalui interaksi dengan pengasuhnya. Karena itu, hal utama dalam kesehatan mental bayi adalah hubungannya dengan pengasuh utamanya untuk mempertahankan rasa nyaman bayi.
Kondisi biologis bayi yang bisa diidentifikasi pengasuhnya adalah melalui pola tidur dan tingkat kewaspadaan bayi, apakah mereka bisa tidur nyenyak atau tidur ringan (light sleep) alias kondisi saat awal tertidur serta apakah mereka waspada aktif atau waspada tenang. Setiap keadaan itu berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pengasuh anak
Bayi akan mengatur kondisi biologisnya berdasarkan pola pengasuhan yang dialaminya demi mempertahankan rasa nyamannya. Rasa nyaman itu akan membangun kelekatan yang aman antara bayi dan pengasuhnya. Kelekatan ini akan menjadi hubungan yang mendasari bayi dalam pembelajaran sosial dan emosional mereka.
Bayi juga berkomunikasi tanpa kata-kata. Mereka berkomunikasi menggunakan isyarat, seperti menangis, cegukan, atau menghindari tatapan mata untuk memberi tahu pengasuhnya bahwa mereka sedang menghadapi kesulitan.
Ketika kebutuhan mereka berhasil dipenuhi oleh pengasuhnya yang responsif, bayi belajar bahwa mereka dapat diandalkan. Ikatan sosial pun terbentuk antara bayi dan pengasuhnya. Ikatan ini akan menjadi fondasi untuk semua hubungan berikutnya yang mendasari kesehatan mental dan pertumbuhan emosional bayi.
Namun, ikatan sosial antara bayi dan pengasuhnya itu akan lebih sulit dibangun jika pengasuhnya pun memiliki masalah kesehatan mental, baik kecemasan, depresi, trauma pelecehan, maupun pengabaian di masa lalu. Tekanan sosial juga membuat pengasuh akan mengalami masalah mental, mulai dari tekanan keuangan, menjadi orangtua tunggal, hingga ketidakcocokan temperamen antara pengasuh dan bayi.
Situasi itu membuat dukungan bagi pengasuh bayi menjadi penting, khususnya bagi orangtua muda yang baru memiliki bayi atau dalam bulan-bulan awal kelahiran bayi. Membesarkan anak adalah kerja keras yang tidak mudah. Banyak orangtua baru, khususnya yang masih muda, merasa dihakimi orang lain saat mengasuh anaknya.
Baca juga: Peran Orangtua dalam Pengasuhan Tak Tergantikan
Terlebih dalam budaya Indonesia, banyak pasangan muda yang masih tinggal dengan orangtua salah satu pasangan atau tinggal di lingkungan yang memiliki interaksi sosial sangat tinggi. Alih-alih mendapatkan dukungan, banyak orangtua justru mendapat penghakiman atau menjadi bahan gosip atas cara-cara mereka mengasuh anak yang dianggap berbeda dengan nilai-nilai lama yang dianut orang sekitarnya.
”Orangtua, pengasuh, dan masyarakat memiliki peran penting untuk memastikan hubungan yang positif dengan lingkungan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan kognitif anak,” ujar Seneviratne. Bahkan, dukungan untuk pasangan muda itu sudah bisa diberikan sejak istri pasangan itu hamil sehingga meminimalkan terjadinya baby blues, apalagi depresi pascapersalinan.
Untuk membangun kesehatan mental ibu dan pengasuh atau orangtuanya itu, layanan kesehatan mental perlu diperkuat. Tak hanya melibatkan psikiater atau psikolog semata, ahli terapi wicara dan bahasa serta pekerja sosial perlu dilibatkan untuk menjangkau masyarakat lebih luas. Petugas puskesmas, bidan praktik mandiri, hingga pendidikan anak usia dini perlu dilatih lagi untuk mendeteksi tanda-tanda gangguan mental pada anak dan orangtua.
Di Indonesia, hal mendasar yang perlu segera dihapus adalah stigmatisasi. Penyakit kesehatan mental masih dianggap sebagai aib, kutukan, tidak dapat disembuhkan, hingga dianggap menjadi manusia tidak berguna. Padahal, jika dideteksi sejak dini dan diterapi secara optimal, mereka tetap bisa berkarya dan berguna bagi masyarakat, meski memiliki keterbatasan.