Jurnalistik Tetap Memiliki Peluang di Zaman Serba AI
Kecerdasan buatan membantu media merangkul banyak audiens berbeda dan menghadirkan produk jurnalistik berkualitas.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Di tengah tantangan era kecerdasan buatan yang dikhawatirkan menggeser kerja jurnalistik dalam memproduksi berita, produk jurnalistik bermutu tinggi dinilai tak akan tergantikan. Media dan jurnalis dapat memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mempermudah dan mengefisienkan kinerja dan analisis data sehingga menghasilkan berita lebih mendalam ataupun relevan dengan audiensnya.
Produk jurnalistik seperti itu contohnya peliputan mendalam, liputan investigatif, dan liputan-liputan khusus. Keberadaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) membantu proses produksi jurnalistik sekaligus membantu dalam pendistribusiannya.
Claes de Vreese, profesor bidang AI dan masyarakat (society) di University of Amsterdam, mengatakan, AI dapat membantu media dalam menjangkau banyak audiens berbeda. Sebagai contoh, satu jenis berita dapat disajikan dalam tiga bentuk yang disesuaikan kebutuhan audiens, yaitu bacaan cepat, bacaan yang mudah diakses, dan bacaan berita lengkap dalam versi yang harus dihabiskan dalam waktu belasan menit.
Bacaan lengkap ini membutuhkan sejumlah pendukung, misalnya kelengkapan data yang dituangkan dalam bentuk visual. Hal ini bisa dihasilkan dengan memanfaatkan AI.
Media di Indonesia dapat memanfaatkan AI untuk membantu peningkatan kualitas produk jurnalistik.
”Hal ini merupakan peluang yang harus dimanfaatkan jurnalis dan lembaga media. Hal tersebut akan sangat berarti bagi produk mereka sehingga terjadi diferensiasi, bahkan mungkin merupakan kemampuan menjangkau khalayak yang lebih sulit,” katanya di sela-sela menjadi pembicara kunci dalam konferensi internasional Communication and New Media Studies (Comnews) di Sanur, Bali, Rabu (25/10/2023).
Konferensi ini diselenggarakan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang berkolaborasi dengan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Udayana, Bali. Kegiatan tersebut mengusung tema ”Rethinking Post-digital Society: Imagining the Future of Media, Communication, and Sustainability”.
Konferensi ini ingin mengidentifikasi dan mendiskusikan tantangan media dan komunikasi terkini di era kecerdasan buatan. Selain De Vreese, pembicara kunci lain yang dihadirkan adalah Axel Bruns (Queensland University of Technology), Verica Rupar (Auckland University of Technology), dan Noshir Contractor (Northwestern University).
De Vreese mengatakan, AI bisa menjadi alat bantu jurnalis dalam memahami topik yang rumit secara cepat. AI juga membantu jurnalis untuk menganalisis dan meneliti data yang banyak dan kompleks.
Dosen Departemen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara Niknik M Kuntarto menuturkan, media di Indonesia dapat memanfaatkan AI untuk membantu peningkatan kualitas produk jurnalistik. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas media dari sisi kebahasaan, yaitu menyajikan berita ataupun narasi berita secara baku. Hal ini mendukung fungsi media di ranah pendidikan.
Ia pun mengingatkan perihal Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia. Dalam regulasi itu, pekerja profesional, yaitu wartawan, harus memiliki standar kemahiran berbahasa Indonesia minimal di tingkat madya.
Namun, pada sebuah media di mana dirinya melakukan tes kemahiran berbahasa, Niknik menemukan standar bahasa wartawan media di sejumlah kota tersebut kurang dari madya. Dengan kemampuan seperti ini, produk jurnalistik yang dihasilkan pun akan terpengaruh.
Untuk membantu mengatasi hal ini, selama tiga tahun terakhir Niknik dan rekan-rekan menggarap aplikasi U-Tapis yang divalidasi ahli bahasa dan ahli AI. Aplikasi ini mirip dengan Grammarly yang digunakan dalam tulisan berbahasa Inggris. Kini U-Tapis masih dalam tahap terus dimatangkan dan disempurnakan.
Tertarik menggunakan AI
Sementara itu, Rossalyn Ayu Asmarantika, juga pengajar di UMN, memaparkan sebagian hasil studinya bersama rekan-rekan yang masih berjalan terkait pemahaman AI pada wartawan di sejumlah industri penyiaran atau televisi. Hasilnya, Rossalyn menemukan sejumlah wartawan tersebut tertarik untuk menggunakan AI.
Ketertarikan pada penggunaan AI tersebut lebih didorong oleh inisiatif individu pekerjanya yang mayoritas anak muda. AI diharapkan dapat membantu mempercepat pekerjaan.
Pada jurnalis yang lebih senior, mereka menemukan sejumlah kekhawatiran dalam penggunaan AI, misalnya terkait etik, nilai berita, dan sisi pemberitaan. Kecerdasan buatan juga dinilai tak bisa menunjukkan atau mengekspresikan empati, emosi, dan etik dalam produk jurnalistik. Sebagian besar informan optimistis pekerjaan mereka tak akan tergantikan AI.
Agus Kustiwa, pengajar Ilmu Komunikasi di UMN, dalam studi wawancara mendalam dengan sejumlah pelaku industri kreatif di Indonesia, mengungkapkan, kecerdasan buatan sudah digunakan dalam pembuatan proposal ataupun brainstorming ide-ide. Namun, penggunaannya masih sebatas di hulu. Di hilir, yaitu saat proses produksi, mereka tidak memanfaatkan AI.
Para pekerja industri kreatif tersebut belum terlalu mengkhawatirkan bahwa kecerdasan buatan bakal menggeser profesi mereka. Hal ini disebabkan mereka kurang mengetahui secara lengkap kemampuan AI.