Krisis Iklim yang Mengancam Pangan di Pulau-pulau Kecil
Kembali ke ragam pangan lokal yang adaptif terhadap kondisi lingkungan dan iklim yang berubah menjadi kunci daya tahan masyarakat kepulauan.
Krisis iklim telah menambah kerentanan pangan masyarakat di pulau-pulau kecil yang telah mengalami pergeseran pola konsumsi. Kembali ke ragam pangan lokal yang adaptif terhadap kondisi lingkungan dan iklim yang berubah menjadi kunci daya tahan masyarakat kepulauan.
Di Nusa Tenggara Timur, selain Siklon Seroja yang menghancurkan pada April 2021, para petani juga semakin sering mengalami gagal panen karena pola hujan yang berubah. Di Pulau Flores dan Adonara, para petani mengeluhkan tentang kegagalan panen jagung karena hujan berlebih akibat fenomena La Nina yang terjadi secara beruntun selama periode 2020-2022.
”Hujan berlebih mengganggu pembungaan jagung,” kata Kamilus Tupen Jumat, petani dan pemilik warung dengan menu pangan lokal dari Kampung Bayolewung, Pulau Adonara, yang ditemui pada Rabu (9/8/2023).
Di Pulau Sumba, periode hujan yang panjang selama La Nina juga menyebabkan siklus hidup belalang kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen) lebih panjang, menyebabkan kegagalan panen tanaman pangan biji-bijian, seperti padi dan jagung. Hermanu Triwidodo, ahli ekologi serangga, yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University melaporkan tentang meningkatnya serangan belalang kembara selama beberapa tahun terakhir di Sumba.
Sudah waktunya untuk kembali ke pangan lokal yang telah dekat dengan masyarakat sejak dulu.
”Beberapa tahun terakhir, serangan belalang kembara yang dulu hanya terjadi di Sumba Timur dan berhenti di Sumba Tengah sekarang sudah menyeberang ke Sumba Barat Daya,” kata Hermanu.
Selepas La Nina berkepanjangan, pada tahun 2023 giliran terjadi EL Nino yang menyebabkan kekeringan lebih intens di NTT. Kepulauan NTT yang beriklim semi arid dan biasanya hanya mendapat hujan tiga bulan dalam setahun semakin kering.
Ketidakpastian cuaca ini juga dirasakan para petani di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. La Poha (37), petani di Desa Lalemba, Lawa, Muna Barat, mengatakan, selama beberapa tahun sebelumnya, hasil panen anjlok. Sejak 2020, panen jagung di lahannya maksimal 30 karung, padahal sebelumnya bisa lebih dari 50 karung. Itu pun dengan kondisi yang tidak semuanya baik. Kondisi buah lebih kecil dengan deretan buah yang jarang.
Kondisi ini, ia menduga, karena cuaca yang tidak menentu selama tiga tahun sebelumnya. Musim hujan dan kemarau tidak lagi menentu karena anomali cuaca. Musim hujan terkadang panas dan musim kemarau lebih sering hujan. Selama puluhan tahun menanam jagung, baru kali ini ia merasakan penurunan produksi jagung secara beruntun.
Ayah tiga anak ini menceritakan, ia telah menanam jagung sejak kecil mengikuti kedua orangtuanya. Jagung adalah bagian dari makanan utama keluarga mereka, seperti masyarakat di Muna pada umumnya. Setiap rumah tidak boleh kehabisan jagung di dapur.
Hasil panen cukup untuk makan sekeluarga hingga musim panen berikutnya. Jagung adalah makanan utama bersama umbi-umbian. Beras hanya selingan.
Dampak perubahan cuaca terhadap tanaman jagung juga dirasakan Hendri (38), petani di Mawasangka, Buton Tengah. Menurut dia, hasil panen jagung semakin tidak menentu. Terlebih lagi jagung sering diserang hama ulat.
Baca juga: Solusi dari Kepulauan untuk Kemandirian Pangan
Akibatnya, produksi semakin berkurang. Cuaca yang sering berubah turut membuat hasil panen semakin kerdil dengan buah yang jarang. ”Tapi untuk jagung masih bisa ada hasil meski sedikit. Yang parah itu adalah tanaman lain, seperti (jambu) mete,” katanya.
Pohon jambu mete ditebang
Perubahan iklim juga memukul tanaman komoditi tahunan, seperti jambu mete, yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi warga di Buton Tengah, daerah penghasil utama kacang mete di Sultra. Rudi Absalon, petani jambu mete dari Desa Lakapera, Kecamatan Gu, Buton Tengah, mengatakan, sejak 2019, musim hujan tidak lagi bisa diprediksi. Hujan sering turun ketika jambu mete sedang berbunga.
”Akibatnya, bunganya berguguran dan menghitam. Kalaupun jadi, jambunya tidak maksimal, dengan rasa yang pekat hingga pahit,” kata Rudi Absalon, petani jambu mete.
Selama puluhan tahun, menurut Rudi, jambu mete menjadi penghidupan masyarakat di wilayah Lakapera. Selama bertahun-tahun kualitas mete dari Lakapera telah dikenal luas di Sultra.
Akan tetapi, sekitar lima tahun terakhir, kondisi cuaca berubah. Bulan Juli dan Agustus yang seharusnya peralihan ke kemarau, malah lebih sering hujan. Padahal, pada bulan-bulan itu saatnya musim berbunga jambu mete. Akibatnya, bunga-bunga berguguran. Panen gagal berulang kali.
Rudi dan sebagian masyarakat lainnya mulai tidak tahan dengan kondisi ini. Ia lalu menebang mete miliknya dan menggantinya dengan tanaman jangka pendek, terutama sayuran. ”Kita berharap ke mete, tapi gagal terus. Mending tanam kangkung, sawi, dan lainnya,” ucapnya.
Kepala Desa Lakapera La Owo Maximus menjelaskan, dari 315 keluarga di wilayahnya, sebanyak 85 persen adalah petani. Hampir setiap keluarga memiliki kebun jambu mete di halaman atau di kebun.
”Satu rumah di sini rata-rata punya dua hektar kebun mete. Kalau ditotal, sekitar 240 hektar. Sekarang yang tersisa tinggal 120 hektar,” tutur Maximus.
Baca juga: Nasib Petani di Wilayah Kepulauan
Hal ini terjadi setelah sebagian masyarakat menebang mete di kebun atau di halaman. Sebab, mete sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi penopang kebutuhan. Warga memilih membersihkan lahan dan menanam berbagai tanaman jangka pendek.
Tren kenaikan suhu
Perubahan pola hujan ini tak lepas dari tren pemanasan global. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kendari, selama 20 tahun terakhir terjadi peningkatan suhu secara merata di Sultra. Peningkatan suhu paling tinggi terjadi di wilayah Kolaka dan sekitarnya, yaitu 0,5 derajat celsius. Sementara wilayah Kendari dan sekitarnya serta Pulau Muna dan Buton mengalami peningkatan 0,3 derajat celsius.
La Ode Alwi, Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, menjelaskan, perubahan iklim memang semakin terasa dan berpengaruh ke sektor petani. Kondisi musim hujan dan kemarau semakin tidak menentu yang berdampak pada produksi hasil pertanian.
”Untuk jambu mete memang sangat terasa. Hasil produksi anjlok karena bunga mete telah gugur sebelum menjadi buah. Kondisi ini diperparah tidak adanya peremajaan dan minimnya perhatian pemerintah,” katanya.
Penurunan hasil produksi jambu mete ini telah memukul ekonomi warga, sedangkan merosotnya produksi jagung menjadi pukulan langsung pada ketahanan pangan masyarakat. Tanaman jagung, tutur Alwi, sebagian besar digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Hasil panen jagung, di Muna misalnya, disimpan untuk cadangan pangan selama beberapa waktu ke depan. Jagung adalah selingan pangan masyarakat setelah beras.
”Sudah waktunya untuk kembali ke pangan lokal yang telah dekat dengan masyarakat sejak dulu. Jagung, ubi, talas, hingga ubi hutan, tidak hanya bisa untuk pangan, tetapi juga bernilai ekonomis. Tinggal bagaimana pemerintah mengupayakan hal ini untuk menghadapi tantangan yang semakin berat ke depan,” katanya.
Baca juga: Ubah Haluan Pangan untuk Berpihak pada Pangan Lokal
Kembali ke ragam pangan lokal merupakan jawaban untuk beradaptasi pada perubahan iklim. Secara tradisional, masyarakat di pulau-pulau kecil telah memiliki pengetahuan untuk mengolah beragam sumber pangan yang tidak terpengaruh cuaca. Misalnya, umbi-umbian yang tahan kering dan sagu yang tahan cekaman air. Ini seharusnya bisa menjadi modal penting untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin sering mengacaukan iklim kita.
Tulisan ini didukung Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center