Kemenkes Imbau Pasien Cacar Monyet Tidak Didiskriminasi
Diskriminasi pada pasien cacar monyet akan membuat para pasien atau yang bergejala menjadi enggan memeriksakan diri. Potensi penyebaran penyakit akan semakin meluas.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat tidak mendiskriminasi pasien yang terjangkit penyakit cacar monyet atau monkeypox (Mpox). Penyakit ini memungkinkan terjadi pada kelompok masyarakat mana saja dan tidak mengenal jenis kelamin. Diskriminasi juga bisa menghambat upaya penanggulangan wabah.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Prima Yosephine mengatakan, diskriminasi justru akan membuat para pasien atau suspek yang bergejala menjadi enggan memeriksakan diri. Jika hal itu terjadi, potensi penyebaran penyakit akan semakin meluas.
”Kami sosialisasikan agar jangan mendiskriminasi (penderita cacar monyet). Secara penanggulangan dan pencegahannya kami terus melalui jejaring dengan semua dinas kesehatan sudah mulai kami sosialisasikan, kemudian di komunitas kami juga sosialisasikan,” kata Prima saat ditemui di Kemenkes, Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Ada kecurigaan juga ada fenomena gunung es, artinya mungkin banyak sudah terjadi di masyarakat, tetapi belum terdiagnosis.
Per 24 Oktober 2023, Kemenkes mencatat ada penambahan jumlah kasus cacar monyet (Mpox) satu orang sehingga total kasus aktif saat ini mencapai sembilan orang. Mereka semua saling berkaitan dengan satu kasus pertama yang terdeteksi pada Agustus 2022. Pasien pertama tersebut juga telah dinyatakan sembuh setelah menjalani isolasi selama tiga minggu.
Setelah berselang cukup lama, satu orang kembali ditemukan positif Mpox pada 13 Oktober 2023, berlanjut satu kasus pada 19 Oktober 2023, lima kasus pada 21 Oktober 2023, dan satu kasus terdeteksi pada 23 Oktober 2023. Selain itu, jumlah orang yang dalam pengawasan atau suspect juga bertambah dua orang menjadi 11 orang.
Kedelapan kasus aktif Mpoxini bukan terbawa dari luar negeri, melainkan sudah terjadi penularan lokal di Jakarta. Semuanya laki-laki berusia 25-35 tahun dan berawal dari kontak seksual. Dari hasil penelusuran, diketahui bahwa enam pasien monkeypox di antaranya merupakan orang dengan HIV (ODHIV) dan memiliki orientasi biseksual.
Gejala yang mereka rasakan beragam, mulai dari munculnya lesi dan ruam kemerahan, demam, nyeri tenggorokan, sulit menelan, lenting yang berisi air, dan koreng di beberapa bagian tubuh, seperti di kemaluan dan menyebar ke seluruh tubuh. Mereka saat ini menjalani isolasi serta dirawat oleh dokter kulit dan dokter penyakit dalam di rumah sakit di Jakarta.
Menurut Prima, sejauh ini sudah ada 11 orang yang divaksinasi Mpox di Jakarta. Mereka yang menerima vaksin adalah orang yang sudah positif Mpox dan suspek yang bergejala.
”Menurut WHO vaksinasi bukan strategi utamanya. Jadi, vaksin hanya membantu untuk membatasi transmisi dan hanya diberikan kepada orang-orang yang terpapar dan kontak dengan kasus ini. Jadi bukan untuk masyarakat luas,” ucapnya.
Vaksinasi cacar monyet sudah mulai dilaksanakan mulai 24 Oktober 2023 dengan jumlah sasaran sekitar 447 orang. Vaksinasi akan diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta, yakni klinik Carlo serta puskesmas yang berada di wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat. Saat ini, stok vaksin Mpox di Indonesia ada 1.000 dosis.
Anggota staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan, Kemenkes, Ngabila Salama, berharap para pasien atau orang terdekat dengan kedelapan kasus aktif ini dan bergejala segera melaporkan diri ke layanan kesehatan terdekat agar menjalani pemeriksaan. Hal ini demi mencegah penyebaran penyakit yang lebih masif.
”Ada kecurigaan juga ada fenomena gunung es, artinya mungkin banyak sudah terjadi di masyarakat, tetapi belum terdiagnosis, makanya kami terus mengencangkan surveilans,” ucap Ngabila.
Secara global, jumlah kumulatif kasus sejak 1 Januari 2022 hingga 26 September 2023 sebanyak 90.618 kasus dengan 157 kematian yang dilaporkan dari 115 negara. Dua regional yang melaporkan kasus paling banyak pada bulan September ialah Pasifik Barat (51,9 persen) dan Asia Tenggara (18,1 persen).
Data WHO mencatat, dari kasus itu 96,3 persen merupakan laki-laki dengan usia rata-rata 34 tahun. Data lain mengungkapkan bahwa berdasarkan orientasi seksual, sekitar 83,2 persen terjadi pada kelompok laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki, sebanyak 7,4 persen kasus teridentifikasi sebagai laki-laki biseksual. Kemudian, sekitar 52,7 persen kasus memiliki status HIV positif. Sebanyak 82,5 persen kasus dilaporkan melalui hubungan seksual.
Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/4408/2023 tentang Peningkatan Kewaspadaan terhadap Mpox pada 18 Oktober 2023. Kemenkes meminta pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, laboratorium kesehatan masyarakat, kantor kesehatan pelabuhan, dan para pemangku kepentingan terkait agar mewaspadai Mpox.
Saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk infeksi Mpox. Pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis dan suportif untuk meringankan gejala atau keluhan yang muncul. Pada 2019, vaksin baru yang dikembangkan untuk smallpox atau cacar air telah disetujui untuk digunakan dalam pencegahan Mpox, tetapi ketersediaannya masih terbatas di tingkat global.