Frans Meak Parera, seorang editor dan tokoh perbukuan Indonesia, mengembuskan napas terakhir pada Sabtu, 21 Oktober 2023.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Frans Meak Parera, seorang editor dan tokoh perbukuan Indonesia, mengembuskan napas terakhir pada Sabtu, 21 Oktober 2023. Selain berkecimpung di dunia perbukuan, Frans juga dikenalsebagai pemerhati pendidikan dan kebudayaan.
Kabar meninggalnya Frans Meak Parera dikonfirmasi oleh keponakan mendiang, Nicola, melalui pesan singkat pada Minggu (22/10/2023). ”Dua minggu lalu sakit dan sudah pulang ke rumah. Diagnosis dokter di rumah sakit terkait geriatric syndrome” ujarnya.
Semasa hidupnya, Frans aktif dalam dunia perbukuan dengan menulis sejumlah buku dan menjadi editor. Beberapa jabatan juga pernah ia emban di antaranya Direktur Eksekutif Bank Naskah Gramedia dan Sekretaris Jenderal Dewan Buku Nasional. Ia juga menjadi dosen mata kuliah sastra Indonesia di Politeknik Negeri Media Kreatif, Jakarta.
Frans juga kerap menyatakan keprihatinannya terhadap kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan kesenian, khususnya seni suara, di kalangan anak-anak.
Frans kerap mengkritisi peran buku di tengah masyarakat. Ia khawatir buku itu hanya merupakan bagian dari kampanye seseorang untuk mendapatkan kekuasaan. ”Tujuan buku-buku ini lebih hanya untuk membela diri, tetapi bukan untuk pematangan pembaca,” katanya seperti dilansir di harian Kompas edisi Sabtu, 24 Juli 2004.
Selain berkecimpung di dunia perbukuan, Kompas juga mencatat Frans sebagai pemerhati pendidikan khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Pada 2008, Frans mendesak Pemerintah Provinsi NTT untuk membangun sebuah pusat kurikulum SD yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat NTT yang sekitar 81 persen hidupnya dari pertanian.
Menurut Frans, pusat kurikulum diharapkan menyusun kurikulum yang sesuai kebutuhan setempat dan berkonsentrasi pada pendidikan SD yang tersebar di 3.000 lebih desa di NTT. Dengan demikian, bisa muncul warga NTT yang pintar. Sebab, bagi Frans, pendidikan merupakan awal investasi ekonomi (Kompas, 13/10/2008).
Selain itu, Frans juga kerap menyatakan keprihatinannya terhadap kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan kesenian, khususnya seni suara, di kalangan anak-anak. Padahal, seni suara tidak hanya berfungsi memberikan keterampilan menyanyikan lagu kepada anak, tetapi sekaligus mengembangkan karakter mereka.
Frans yang lahir pada 20 Agustus 1945 meninggalkan seorang istri, Yanti Parera, dan satu putra, Brahmanto Parera. Saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Senin (23/10/2023).