Aktivitas Manusia Berpengaruh pada Perubahan Pola El Nino
Sejak tahun 1970-an, proses pengendalian variabilitas El Nino telah berubah. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsekuensi perubahan iklim yang disebabkan ulah manusia.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena El Nino merupakan siklus yang berulang, yang dipicu oleh anomali suhu permukaan laut Samudra Pasifik khatulistiwa yang lebih panas dari biasanya. Berbagai data terbaru menunjukkan bahwa siklus El Nino telah berubah dan hal itu bisa dikaitkan dengan pengaruh manusia terhadap variabilitas alam.
Dua studi ilmiah terbaru yang dipimpin Paul Wilcox dari Departemen Geologi di University of Innsbruck memberikan wawasan baru mengenai dinamika iklim bumi, dengan fokus khusus pada fenomena El Nino tersebut. Hasilnya menunjukkan bagaimana El Nino merespons faktor alam dalam jangka waktu yang lama, sekaligus menyoroti meningkatnya peran aktivitas manusia dalam membentuk fenomena iklim ini di era modern.
El Nino menandakan fase hangat dari El Niño–Osilasi Selatan (ENSO), salah satu fenomena iklim paling penting yang kerap memicu bencana kekeringan di berbagai belahan dunia, terutama di Asia Tenggara dan Australia. Hal ini melibatkan pemanasan air laut di Pasifik khatulistiwa bagian timur. Sebaliknya, La Niña mewakili pendinginan di wilayah timur Pasifik khatulistiwa.
Hingga sekitar 50 tahun yang lalu, perubahan radiasi matahari berperan penting dalam membentuk pola El Nino.
ENSO mencakup variasi siklus suhu permukaan laut yang berosilasi antara fase El Nino hangat dan fase La Nina dingin di Samudra Pasifik khatulistiwa. Dalam menghadapi perubahan lingkungan yang sedang berlangsung, memahami respons El Nino terhadap faktor alam dan faktor yang disebabkan oleh manusia menjadi semakin penting dalam memprediksi dan mengelola variabilitas iklim dalam skala global.
Berubah sejak 1970-an
Dalam publikasinya di Geophysical Research Letters pada 14 Oktober 2023, Paul Wilcox dan tim berupaya menjelaskan bagaimana El Nino merespons pengaruh alam dalam jangka waktu lama. Mereka menganalisis endapan gua, yang dikenal sebagai speleothems, dari tenggara Alaska. Speleothem ini menyimpan catatan iklim selama 3.500 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengendalian variabilitas El Nino telah berubah sejak tahun 1970-an. ”Hingga sekitar 50 tahun yang lalu, perubahan radiasi matahari berperan penting dalam membentuk pola El Nino. Namun, sejak tahun 1970-an dan seterusnya, kita melihat sinyal jelas yang hanya dapat dikaitkan dengan konsekuensi perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia,” jelas Wilcox.
R. Lawrence Edwards dari University of Minnesota, yang memimpin kajian ini mengatakan, memahami bagaimana perubahan ENSO dalam merespons variabilitas alami merupakan hal yang sangat penting dalam proyeksi iklim masa depan dalam kondisi iklim yang memanas.
Dalam studi kedua yang diterbitkan dalam The Innovation Geoscience pada 19 September 2023, Wilcox dan tim menyampaikan hasil penelitiannya tentang perubahan iklim di tenggara Alaska selama jangka waktu 13.500 tahun. Tim tersebut menggunakan speleothem sebagai catatan berharga untuk menyelidiki penyebab perubahan iklim jangka pendek dan cepat yang terjadi selama zaman es.
Meskipun mempunyai garis lintang utara yang tinggi, Alaska bagian tenggara menunjukkan pola iklim yang mengingatkan kita pada Pasifik khatulistiwa pada akhir zaman es terakhir dan periode Holosen. Hal ini bertentangan dengan ”mekanisme jungkat-jungkit bipolar” yang menempatkan Atlantik Utara sebagai sumber utama variabilitas iklim global. Sebagai pengganti mekanisme konvensional ini, Wilcox dan timnya memperkenalkan konsep ”Walker Switch”.
Mekanisme ini, yang dipicu oleh perubahan radiasi matahari (insolasi), memicu penyesuaian cepat pada suhu permukaan laut di Pasifik khatulistiwa, yang kemudian memengaruhi pola iklim di wilayah lintang tinggi di utara, termasuk Alaska dan Atlantik Utara. Wilcox menguraikan, konsep ”Walker Switch” membantu kita menjelaskan dengan lebih baik interaksi kompleks berbagai faktor yang membentuk dinamika iklim di kawasan ini.
Hasil kedua penelitian tersebut mengungkapkan adanya pergeseran pola El Niño, di mana aktivitas manusia kini melebihi faktor alam dalam membentuk perilakunya. ”Perubahan iklim mungkin telah menyebabkan titik kritis iklim terjadi pada tahun 1970-an dengan dimulainya pola El Nino yang lebih permanen. Pada saat yang sama, pengenalan konsep ’Walker Switch’ memberikan penjelasan alternatif mengenai variasi iklim historis,” jelas Wilcox.
Dipicu oleh perubahan radiasi matahari, ”Walker Switch” memengaruhi pola iklim di seluruh dunia, termasuk wilayah lintang utara yang tinggi. Temuan-temuan ini menggarisbawahi kompleksitas dinamis sistem iklim bumi, menekankan perlunya penelitian berkelanjutan untuk memperdalam pemahaman tentang proses iklim.