Dilema Ketentuan Layanan Aborsi Maksimal Usia Kehamilan 14 Minggu
Aturan layanan aborsi dengan ketentuan batas usia kehamilan maksimal 14 minggu memicu kontroversi. Batas usia kehamilan itu berisiko kesehatan bagi perempuan yang akan menggugurkan kandungan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Kesehatan baru yang telah diharmonisasikan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana memutuskan layanan aborsi dengan ketentuan tertentu dapat dilakukan maksimal pada usia 14 minggu. Keputusan tersebut masih menimbulkan kontroversi, khususnya dari sisi medis. Sebab, berbagai risiko kesehatan bisa terjadi apabila aborsi dilakukan pada usia tersebut.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 463 mengatur, aborsi bisa dilakukan pada perempuan yang merupakan korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain dengan umur kehamilan tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
Adapun kedaruratan medis tersebut meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu serta kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki yang tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Ari Kusuma Januari, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (18/10/2023), mengungkapkan keberatannya terhadap aturan aborsi yang dilakukan maksimal usia 14 minggu. Secara medis, tindakan aborsi yang dilakukan pada usia tersebut amat berisiko bagi perempuan.
”Semakin besar usia kehamilan, risikonya akan semakin besar. Pada usia kehamilan tersebut, risiko perdarahan dan infeksi amat tinggi. Risiko dari pembiusan juga bisa terjadi. Dengan alasan keselamatan pasien, tindakan ini sebaiknya tidak dilakukan,” ujarnya.
Selain itu, pada usia kehamilan 14 minggu, janin dalam kandungan sudah cukup besar. Pada usia kehamilan 14 minggu, panjang janin mencapai sekitar 10 sentimeter. Pada usia tersebut, organ tubuh, seperti kaki dan tangan, sudah terbentuk. Jantung pun mulai berdenyut. Hal itu kerap menjadi dilema bagi dokter mengingat sumpahnya untuk menghormati setiap kehidupan sejak masa pembuahan.
Semakin besar usia kehamilan, risikonya akan semakin besar. Pada usia kehamilan tersebut, risiko perdarahan dan infeksi amat tinggi. Risiko dari pembiusan juga bisa terjadi.
Menurut Ari, persoalan lain yang perlu diperhatikan terkait dengan aturan aborsi ialah belum adanya regulasi yang jelas mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan yang ditunjuk untuk melakukan layanan aborsi. Fasilitas pelayanan kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah belum tersedia hingga saat ini.
Alasan tersebut yang membuat sebagian tenaga kesehatan dan tenaga medis masih ragu dan enggan untuk memberikan pelayanan aborsi sekalipun telah memenuhi syarat dari aturan yang berlaku. Risiko kriminalisasi bisa terjadi. Di lain sisi, kondisi itu justru membuat masyarakat mengakses layanan aborsi yang tidak aman.
Pencegahan
Ari menilai, upaya promotif dan preventif seharusnya yang perlu diprioritaskan saat ini. Perilaku risiko serta pencegahan terjadinya tindak pidana pemerkosaan dan kekerasan seksual lain harus diperkuat.
”Kita perlu lebih banyak bertindak untuk mencegah terjadinya unmetneed (kebutuhan KB yang tidak terpenuhi) yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Pastikan pasangan usia subur harus siap sebelum hamil. Selain itu, perkuat pencegahan kasus pemerkosaan. Perkuat pula pendidikan seksual dan pendidikan reproduksi pada anak dan remaja,” ucapnya.
Sebelumnya dalam kegiatan Public Hearing Aturan Pelaksana UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang diselenggarakan pada Kamis (21/10/2023), Weni Muniarti dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan menuturkan, ketentuan mengenai aborsi diatur dalam UU Kesehatan Pasal 60 dan Pasal 61. Ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam peraturan pemerintah pun tengah disiapkan.
Terkait dengan pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai aturan yang berlaku, pelayanan aborsi diatur hanya dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi sumber daya sesuai standar yang ditetapkan oleh menteri. Pelayanan aborsi juga hanya dilakukan tenaga medis dibantu tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan. Pelayanan aborsi dilakukan tim aborsi.
Rencana pengaturan ketentuan teknis aborsi dalam peraturan pemerintah turunan UU Kesehatan juga akan mengatur layanan aborsi hanya bisa dilakukan atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil bersangkutan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Korban kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan bisa membatalkan keinginan aborsi setelah mendapat pendampingan dan konseling.
”Anak yang dilahirkan dari ibu korban pemerkosaan atau kekerasan seksual berhak diasuh ibu atau keluarganya. Jika ibu atau keluarga tidak dapat mengasuh, anak dapat diasuh lembaga asuhan anak atau menjadi anak yang dipelihara negara sesuai ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.