Perempuan korban perkosaan berhak mengakses layanan aborsi aman legal, sebagimana diatur dalam UU Kesehatan. Namun, dalam praktik layanan tersebut belum bisa diakses perempuan korban perkosaan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemenuhan hak perempuan korban perkosaan untuk memperoleh layanan yang komprehensif atas aborsi yang aman mengalami hambatan. Padahal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan, aborsi aman dapat dilakukan pada ibu hamil dengan indikasi kedaruratan medis atau korban perkosaan.
Bahkan hingga kini, tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan atau ditunjuk sebagai pengampu layanan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
“Dalam kasus kehamilan akibat pemerkosaan, meskipun peraturan perundang-undangan tidak menetapkan persyaratan khusus, dalam praktiknya petugas kesehatan masih meminta persetujuan hakim untuk melegalkan aborsi. Proses legalisasi ini dapat memakan waktu lebih lama dari usia kehamilan yang diperbolehkan aborsi sesuai undang-undang, “ ujar Retty Ratnawati, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada temu media, di Jakarta, Rabu (29/9/2021).
Padahal Permenkes 3/2016 menyebutkan pelayanan aborsi aman, bermutu, dan bertanggung jawab harus diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan menteri. Fasilitas yang dimaksud ialah puskesmas, klinik pratama, klinik utama atau yang setara, dan rumah sakit.
“Mengacu pada UU Kesehatan dan peraturan pelaksananya, seharusnya pemerintah dapat menyediakan atau menunjuk layanan kesehatan penyedia layanan aborsi aman khusus untuk korban perkosaan,” kata Retty.
Namun, jika korban karena berbagai hal meneruskan kehamilan, maka menjadi penting bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban atas perawatan selama kehamilan, kelahiran bahkan hingga proses adopsi apabila diperlukan.
Mengacu pada UU Kesehatan dan aturan pelaksananya, seharusnya pemerintah dapat menyediakan atau menunjuk layanan kesehatan penyedia layanan aborsi aman khusus untuk korban perkosaan.
Apabila dua hal itu tidak dapat dipenuhi, Komnas Perempuan menilai negara mengabaikan kebutuhan perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. “Kami akan berusaha keras menghubungi pihak yang terkait, seperti Kementerian Kesehatan,” ujar Retty.
Situasi itu bertentangan dengan mandat konstitusi, yakni Pasal 28I Ayat (4) yang mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Selain itu, ada Rekomendasi Umum No 19, 24 dan 35 dari Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); Konvensi yang diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.
Percepat pelatihan tenaga medis
Oleh karena itu, bersamaan dengan momentum Hari Aborsi Aman Internasional, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya mewujudkan akses dan layanan aborsi aman bagi perempuan korban perkosaan. Kementerian Kesehatan diminta untuk mempercepat pelatihan tenaga medis dan menunjuk fasilitas kesehatan penyedia layanan aborsi aman dalam rangka memenuhi hak perempuan korban perkosaan.
Layanan aborsi aman legal bagi perempuan korban perkosaan merupakan upaya pemenuhan HAM perempuan. Kriminalisasi terhadap perempuan korban perkosaan yang mengakses layanan aborsi menunjukan, aborsi bagi korban perkosaan masih dipandang sebagai hal yang ditakuti, dikecam, dan dilarang meski telah diatur dalam undang undang.
“Memidanakan korban berarti menempatkan perempuan dalam posisi penderaan yang berlapis, yakni sebagai korban perkosaan dan perempuan yang dikriminalisasi,” ujar Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan.
Iswarini mencontohkan dalam praktik di lapangan aparat penegak hukum cenderung menggunakan KUHP ketimbang memakai upaya lain menghadapi perempuan korban perkosaan. Padahal, korban perkosaan sering dipaksa untuk aborsi.
Seperti kriminalisasi pada korban perkosaan yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 2018. Seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa oleh kakak kandungnya justru dijatuhi hukuman 6 bulan oleh pengadilan setempat karena melakukan aborsi.
Potensi kriminalisasi korban terus ada mengingat KUHP masih mengategorikan aborsi sebagai kejahatan. Namun, data terkait aborsi oleh korban perkosaan nyaris tidak tersedia, terutama data dari Pemerintah. Akibatnya, tidak tersedia informasi mengenai intervensi lebih jauh untuk pemulihan korban, termasuk melalui aborsi aman.
Komnas Perempuan menerima pengaduan, 147 kasus pemaksaan aborsi pada tahun 2016-2021. Pelaku pemaksaan aborsi ini beragam mulai dari orangtua, suami ataupun pacar. “Meningkatnya pengaduan tersebut memperlihatkan sebenarnya perempuan korban perkosaan ada dalam ruang yang memiliki kekuatan besar,” kata Iswarini.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan mendokumentasikan 24.786 kasus kekerasan seksual yang terjadi selama 2016-2020. Di antara kasus kekerasan seksual tersebut, sebanyak 7.344 diantaranya merupakan kasus perkosaan atau 29,6 persen dari total kasus kekerasan seksual.