Guru Berperan Kembangkan Pendidikan Politik di Sekolah
Pendidikan politik harus berkelanjutan untuk membangun sistem nilai politik yang baik sehingga warga negara menjadi berdaya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan politik tidak terbatas soal pemilihan umum. Karena itu, pendidikan politik perlu dilakukan terus-menerus atau berkelanjutan karena menyangkut sistem nilai sehingga para siswa dapat menjadi warga negara yang berdaya.
Di acara diskusi dan refleksi bertajuk ”Guru dan Pendidikan Politik” yang dilaksanakan Yayasan Cahaya Guru di Jakarta, Selasa (17/10/2023), terungkap pandangan generasi muda, khususnya siswa, yang masih apatis ketika berbicara politik.
”Saat membahas soal politik, misalnya legislatif, langsung ada celetukan siswa yang menganggap koruptor. Politik masih dilihat kotor. Sebagai guru, kita punya hak istimewa untuk dapat memberikan pendidikan politik lewat mata pelajaran atau program lainnya,” kata guru SMA BPK Penabur 8 Jakarta, Indah Nova Manurung.
Guru SMA Negeri 1 Pontianak, Rio Pratama, mengatakan, guru memiliki celah untuk dapat memberikan pendidikan politik dan demokrasi yang baik. Tentunya, ini dimulai dari guru yang melaksanakan pembelajaran yang tidak otoriter, tetapi demokratis.
Rio sebagai guru Sejarah mengatakan, ada sejumlah materi soal demokrasi dan pendidikan politik yang dapat diajarkan kepada siswa dari pelajaran Sejarah yang dibawa sesuai konteks terkini. Materi tentang sistem pemerintahan dari masa ke masa dapat jadi pendidikan politik yang menarik.
Termasuk juga proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), yang salah satu temanya suara demokrasi, memberi kesempatan bagi siswa untuk memahami soal demokrasi. Bahkan, mengimplementasikannya dalam pemilihan ketua kelas atau OSIS.
Jadi tantangan
Staf Ahli Bidang Regulasi Kemendikbudristek Nur Syarifah mengatakan, pendidik kini memiliki tantangan untuk dapat memberikan pendidikan politik yang baik kepada siswa ketika politik dianggap kotor. ”Jadi guru punya hak istimewa untuk memberikan pendidikan politik di sekolah. Sebab, dunia pendidikan memiliki kebebasan berpendapat sepanjang sesuai koridor pembelajaran dan pendidikan. Jadi, ada kesempatan bagi guru untuk mengajarkan ke khitah politik bahwa politik untuk kepentingan pemerintahan dan negara, serta untuk kebaikan bersama,” kata Nur Syarifah.
Menurut dia, kalau dalam realitasnya terjadi degradasi pemaknaan politik, hal ini menjadi tantangan karena pendidikan politik harus berkelanjutan. Sejak dari dari lingkungan rumah anak sudah belajar demokrasi untuk saling menghargai dan menghormati, lalu di sekolah, dan di lingkungan masyarakat.
”Pendidikan politik berkelanjutan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Jadi, tidak bisa instan dari hasil (proses) pemilu. Untuk menciptakan insan politik yang punya nilai etika dan moral tinggi, ya, harus berkelanjutan. Pendidikan politik bukan hanya ramai kalau ada agenda pemilihan kepala daerah atau pemilu,” ujar Nur Syarifah.
Pendidikan politik melalui pembelajaran di sekolah dilakukan dengan mengintegrasikan pengetahuan berisi konsep, norma, etika, dan contoh perilaku politik ke dalam mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Melalui mata pelajaran yang didesain memuat pengetahuan politik dan wawasan kebangsaan dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Dapat juga diselipkan dalam mata pelajaran lain, seperti sosiologi atau ilmu pengetahuan sosial lainnya.
Untuk itu, pendidik diharapkan menggunakan metode pembelajaran yang beragam dan relevan untuk menanamkan pengetahuan politik. Selain itu, juga mentransformasikan ilmu politik secara jelas kepada peserta didik dan mendorong peserta didik untuk mampu bereaksi, berdebat, menerima, atau menolak pandangan yang berbeda.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, pendidikan politik mesti holistik karena mencakup banyak aspek dan luas. Meskipun cukup kompleks, perlu dibuat sederhana dan berkelanjutan.
Menurut Titi, menjadi masalah jika pendidikan politik dilakukan karena hendak pemilu. Pendidikan politik dilakukan terus menerus karena tentang sistem nilai, yakni antikorupsi, integritas, kejujuran, hingga kemauan menerima perbedaan.
”Kadang kita melompat langsung di tahapan pemilu. Padahal, ini hanya salah satu bagian dari demokrasi atau sistem nilai. Kita dan bangsa ini bisa tergelincir jika tidak menjaga dan menegakkan demokrasi. Sebab, demokrasi itu seharusnya mewujudkan kehidupan yang antikorupsi,” kata Titi.
Menurut Titi, sekolah tidak bisa antipati dengan pendidikan politik. Realitas politik di negara dan masyarakat bisa jadi isu yang dibahas dan dikontektualisasikan, salah satunya untuk materi di Pendidikan Kewarganegaraan.
Sementara itu, M Risyad Fahlepi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, KPU melaksanakan kegiatan KPU Goes to Campus, School & Pesantren di sejumlah kota. Kegiatan pendidikan politik meliputi penyampaian makna berdemokrasi, pluralisme, gotong royong, pemahaman mengenai isu hoaks, pentingnya memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak , visi, misi, dan program hingga pemaknaan pemilu sebagai sarana integrasi bangsa.
Terkait soal Keputusan Mahkamah Konstitusi soal kampanye di lembaga pendidikan sepanjang mendapat izin dan tidak memasang atribut partai politik, kata Risyad, sudah ada PKPU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu, di mana tempat pendidikan yang diperbolehkan hanya di perguruan tinggi. Kampanye pun hanya bisa dilakukan pada hari Sabtu atau Minggu dengan metode pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka.
”Perumusan peraturan ini telah melibatkan berbagai macam pihak, baik dari akademisi, Kemendikbudristek, guru, organisasi rektor, maupun pegiat pemilu,” kata Risyad.