Rekomendasi Makassar serta sejumlah konvensi internasional dan komitmen regional terkait penyandang disabilitas harus diimplementasikan secara benar hingga ke tingkat kabupaten/kota.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Semangat menjalankan sejumlah konvensi internasional dan komitmen regional terkait pengarusutamaan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk yang terbaru, Rekomendasi Makassar, agar tak berhenti hanya di tingkat tinggi. Perlu upaya lebih agar pemerintah daerah sampai ke masyarakatnya bisa mengimplementasikan Indonesia inklusif disabilitas.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengungkapkan, sering kali sejumlah kesepakatan di tingkat internasional dan regional itu tidak bisa serta-merta diterapkan karena terbentur aturan di setiap daerah. Padahal, pemerintah daerah adalah pihak pertama yang ditemui masyarakat terkait pelayanan publik.
”Uji keberhasilan berbagai komitmen itu adalah pada tingkat kabupaten/kota. Tantangannya bagaimana membawa berbagai konvensi internasional dan komitmen regional itu tidak hanya berhenti di level nasional, tapi terutama menjadi aksi lokal di daerah,” kata Robert, Jumat (13/10/2023).
Kerangka kerja ASEAN ini bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah alat, dan kuncinya adalah implementasi.
Hasil penilaian Ombudsman terhadap penyelenggaraan pemerintahan untuk tingkat kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota se-Indonesia tahun 2022 menunjukkan, pelayanan publik yang dilakukan pemerintah belum menyentuh pelayanan dasar yang diharapkan masyarakat. Adapun jumlah instansi penyelenggara pelayanan publik yang dinilai sebanyak 586 instansi dari 25 kementerian, 14 lembaga, 34 pemerintah provinsi, 98 pemerintah kota, dan 415 pemerintah kabupaten.
Instansi yang masuk zonasi hijau hijau sebanyak 272 instansi atau 46,42 persen, zona kuning sebanyak 250 instansi atau 42,66 persen, dan zona merah sebanyak 64 instansi atau 10,92 persen. Hal ini dapat disebabkan komitmen dari pimpinan di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk berubah menjadi lebih baik.
”Bahkan Kementerian Sosial dan dinas sosial di tingkat daerah juga sesungguhnya tidak terlalu konsisten menerapkan ini. Kita tidak hanya bicara soal infrastruktur, tetapi standar pelayanan yang inklusif itu saya tidak dimiliki oleh semua unit pelayanan publik kita,” ungkapnya.
Dia mendorong pemerintah daerah mengutamakan isu disabilitas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), lalu menyusun anggaran penganggaran dan menjalankan program kerja. Jika isu disabilitas masih dikesampingkan dalam ketiga proses ini, konsep pembangunan inklusif disabilitas berhenti di forum tingkat tinggi saja.
”Tanpa masuk ketiga tingkatan itu, maka isu disabilitas tidak akan menjadi program konkret di pemerintah daerah, jadi harus diintegrasikan poin-poin ini menjadi instrumen kebijakan di tingkat perencanaan, penganggaran, dan program kegiatan implementasinya,” ucap Robert.
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan, pemerintah pusat terus mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang inklusif disabilitas melalui Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas. Setiap pemerintah daerah harus melaksanakan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di berbagai sektor, seperti kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, hak-hak sipil, kesetaraan di hadapan hukum, dan hak kesejahteraan sosial.
Pada bidang pendidikan, misalnya, yang sudah berlaku secara nasional adalah penerapan sistem pendidikan inklusif agar mereka bisa bersekolah di sekolah reguler. Jumlah sekolah inklusif di Indonesia meningkat secara signifikan, yaitu dari 3.610 pada tahun 2015 menjadi 28.778 pada 2020. Namun, jumlah sekolah yang memiliki pendidik terlatih pendidikan inklusif tidak lebih dari 13 persen.
Selain itu, pemerintah juga telah membuat program Pahlawan Ekonomi Nusantara (Pena) yang sudah diterima oleh 5.355 difabel yang berwirausaha. Ada pula bantuan pemberian makanan (permakanan) senilai Rp 30.000 per difabel yang telah membantu 33.774 penerima manfaat.
Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah membentuk Unit Layanan Disabilitas yang menyelenggarakan berbagai program pelatihan dan jaringan kerja bagi difabel usia produktif. Program ini membantu pekerja difabel mengoptimalkan kemampuan dalam dirinya untuk mandiri secara finansial.
Rekomendasi Makassar yang kemarin disetujui oleh 10 negara anggota ASEAN dan negara mitra ASEAN dalam Forum Tingkat Tinggi Menteri Sosial Se-ASEAN juga akan diselaraskan dengan pemerintah daerah. ”Saya ingin menekankan bahwa kerangka kerja ASEAN ini bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah alat, dan kuncinya adalah implementasi,” ucap Risma.
Adapun isi rekomendasi Makassar tersebut, antara lain, mendorong kewajiban negara memberikan jaminan sosial ekonomi, menyediakan akses lapangan pekerjaan, akses pendidikan, akses kesehatan, akses terhadap teknologi, serta menghilangkan hambatan stigma dan diskriminasi di masyarakat. Selain itu, sektor usaha juga didorong untuk berkomitmen menerapkan model bisnis dan rantai nilai yang inklusif difabel.
Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik tahun 2022, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dengan jumlah difabel terbanyak pada usia lanjut. Dengan begitu, pembangunan inklusif difabel harus dilakukan dengan berkolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.