Forum Tingkat Tinggi ASEAN untuk Difabel Sepakati Rekomendasi Makassar
Rekomendasi Makassar menjadi acuan bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mempercepat pembangun negara inklusif difabel sesuai tujuan dari ASEAN Enabling Masterplan 2025.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Forum Tingkat Tinggi Menteri Sosial se-ASEAN di Makassar, Sulawesi Selatan, menghasilkan 10 poin rekomendasi Makassar. Rekomendasi ini akan menjadi acuan bagi negara-negara ASEAN untuk mempercepat pembangunan negara yang inklusif difabel sesuai tujuan dari ASEAN Enabling Masterplan 2025.
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan, rekomendasi ini akan melengkapi sejumlah kebijakan yang sudah ada pada setiap negara anggota ASEAN. Sebelumnya juga sudah ada deklarasi Bali untuk meningkatkan peran dan partisipasi penyandang disabilitas di ASEAN pada 2011 dan ASEAN Enabling Masterplan 2025 untuk pengarusutamaan hak penyandang disabilitas pada 2018.
”Rekomendasi Makassar akan melengkapi kerangka kerja ASEAN yang relevan dan sudah ada. Namun, saya ingin menekankan bahwa kerangka kerja ASEAN ini bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah alat, dan kuncinya adalah implementasi,” kata Risma dalam Forum Tingkat Tinggi (FTT) Menteri Sosial Se-ASEAN di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/10/2023), di Makassar.
Adapun isi rekomendasi Makassar tersebut, antara lain, mendorong kewajiban negara memberikan jaminan sosial ekonomi, menyediakan akses lapangan pekerjaan, akses pendidikan, akses kesehatan, akses terhadap teknologi, serta menghilangkan hambatan stigma dan diskriminasi di masyarakat. Selain itu, sektor usaha juga didorong untuk berkomitmen menerapkan model bisnis dan rantai nilai yang inklusif difabel.
Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik tahun 2022, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dengan jumlah difabel terbanyak pada usia lanjut. Dengan begitu, pembangunan inklusif difabel harus dilakukan dengan berkolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
Kepala Kantor Perwakilan PBB di Indonesia Afke Bootsman mengatakan, setiap pembangunan suatu negara seyogianya harus turut berperspektif pemenuhan kebutuhan difabel. Hal ini penting untuk memastikan terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas di semua sektor kehidupan dan mewujudkan negara yang inklusif.
”Kita harus memulai semua ini, pertama dengan mengubah pola pikir negara anggota PBB untuk tidak memiliki pola pikir sebagai badan amal, tetapi memiliki kesadaran bahwa itu adalah kewajiban untuk menjangkau penyandang disabilitas,” kata Afke.
Penasihat Khusus Hak Disabilitas Internasional Amerika Serikat (AS) Sara Minkara menegaskan, para difabel bukan tidak bisa mengembangkan diri mereka, melainkan sistem suatu negara seringkali mengesampingkan kebutuhan bagi penyandang disabilitas. Sistem yang dimaksud mencakup aksesibilitas infrastruktur dan lingkungan sosial budaya yang masih diskriminatif pada difabel.
Semua itu bisa terwujud jika pemerintah suatu negara benar-benar fokus pada isu difabel. Oleh karena itu, dia mendorong negara-negara anggota ASEAN yang bermitra dengan AS bisa bersama-sama mewujudkan hal tersebut.
”Kita semua sebagai manusia mempunyai satu keinginan yang sama, keinginan untuk dilihat, didengar, dan dihargai. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh orangtua dan masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Bukan dihadapkan dengan stigma,” kata Sara.
Risma menambahkan, salah satu hal yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas yang mengatur pelaksanaan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di berbagai sektor, seperti kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, hak-hak sipil, kesetaraan di hadapan hukum, dan hak kesejahteraan sosial.
Pada bidang pendidikan, misalnya, Indonesia telah menerapkan sistem pendidikan inklusif agar mereka bisa bersekolah di sekolah reguler. Jumlah sekolah inklusif di Indonesia meningkat secara signifikan, yaitu dari 3.610 pada tahun 2015 menjadi 28.778 pada tahun 2020. Namun, jumlah sekolah yang memiliki pendidik terlatih pendidikan inklusif tidak lebih dari 13 persen.
Jumlah sekolah inklusif di Indonesia meningkat secara signifikan, yaitu dari 3.610 pada tahun 2015 menjadi 28.778 pada tahun 2020.
Selain itu, pemerintah juga telah membuat program Pahlawan Ekonomi Nusantara atau PENA yang sudah diterima oleh 5.355 difabel yang berwirausaha. Ada pula bantuan permakanan senilai Rp 30.000 per difabel yang telah membantu 33.774 penerima manfaat.
Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah membentuk Unit Layanan Disabilitas yang menyelenggarakan berbagai program pelatihan dan jaringan kerja bagi difabel usia produktif. Program ini membantu pekerja difabel mengoptimalkan kemampuan dalam dirinya untuk mandiri secara finansial.
Dalam forum ini, para delegasi Menteri Sosial se-ASEAN mengakui, setiap negara, masing-masing masih memiliki sejumlah masalah yang belum selesai terkait difabel. Di antaranya, perlindungan hukum, menghapus stigma dan diskriminasi, serta menciptakan lapangan pekerjaan. Terlebih, akibat pandemi Covid-19, sama seperti masyarakat yang lain, kelompok difabel masih terpuruk.
”Dalam mewujudkan hal ini, saya mengimbau semua pihak agar dapat melanjutkan kolaborasi yang bermakna dan substantif di antara badan-badan sektoral ASEAN untuk melibatkan penyandang disabilitas di tiga pilar ASEAN,” kata Sekretaris Jenderal ASEAN Bidang Komunitas Sosial Budaya Ekkaphab Phantavong.
Selain para Menteri Sosial dan pejabat tinggi ASEAN, kegiatan ini juga akan diikuti perwakilan Badan Sektor ASEAN, organisasi terafiliasi ASEAN, organisasi penyandang disabilitas, mitra wicara ASEAN, serta para akademisi. Total sebanyak 200 peserta akan terlibat dalam acara ini.
FTT ASEAN ini merupakan salah satu rangkaian KTT ASEAN di bawah keketuaan Indonesia. Forum ini akan mengidentifikasi tantangan-tantangan di ASEAN dalam memperkuat pembangunan inklusif difabel, termasuk melalui pembelajaran dari dampak situasi pandemi Covid-19 terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.