Perkuat Penerimaan Kembali Orang dengan Gangguan Jiwa di Masyarakat
Dukungan terbaik bagi orang dengan gangguan jiwa yang sudah dalam kondisi stabil adalah mendapat penerimaan dari lingkungan, terutama keluarga. Namun, hal itu belum dipahami dengan baik di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelayanan kesehatan jiwa akan lebih banyak dijalankan berbasis masyarakat. Keluarga pun menjadi ujung tombak dalam pelayanan tersebut. Untuk itu, berbagai upaya dibutuhkan demi mendukung kesiapan keluarga dalam menerima kembali orang dengan gangguan jiwa yang sudah dalam kondisi stabil.
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan R Vensya Sitohang mengutarakan, proses deinstitusionalisasi layanan kesehatan jiwa menjadi fokus dalam penguatan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Penerimaan di masyarakat merupakan faktor penentu untuk mendukung layanan tersebut.
”Deinstitusionalisasi berlangsung sejak 40 tahun lalu di Eropa dan Amerika. Kita akan mulai memperkuat itu. Jadi, deinstitusionalisasi ini secara sederhana diartikan sebagai mengembalikan pasien yang sudah dalam kondisi stabil dari rumah sakit ke masyarakat,” tuturnya dalam acara peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Perawatan berbasis masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa lebih baik dibandingkan dengan perawatan di tempat isolasi seperti rumah sakit jiwa. Risiko kekambuhan juga semakin minim dengan adanya dukungan yang baik dari lingkungan.
Namun, menurut Vensya, ketidaksiapan masyarakat, terutama keluarga, masih menjadi kendala yang dihadapi dalam deinstitusionalisasi layanan kesehatan jiwa. Kendala lainnya meliputi masih adanya stigma, diskriminasi, kurangnya dukungan sosial, serta kendala ekonomi.
Literasi
Karena itu, literasi masyarakat mengenai kesehatan jiwa perlu lebih masif dilakukan. Apabila pemahaman masyarakat tentang penanganan orang dengan gangguan jiwa bisa lebih baik, penerimaan diharapkan bisa baik pula.
”Perlu dipahami bahwa orang dengan gangguan jiwa bisa kembali beraktivitas seperti sebelumnya jika ditangani dengan baik. Pemberian obat juga bisa membantu proses pemulihan orang dengan gangguan jiwa. Itu sama dengan penyakit lain seperti hipertensi atau diabetes yang juga harus mengonsumsi obat seumur hidup agar penyakitnya terkontrol,” kata Vensya.
Psikolog klinis dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, Nimaz I Dewantary, menuturkan, literasi kesehatan jiwa semakin dibutuhkan karena tingginya risiko gangguan jiwa di masyarakat. Diperkirakan, sekitar 20 persen dari populasi di Indonesia berpotensi mengalami masalah gangguan jiwa.
Orang dengan gangguan jiwa bisa kembali beraktivitas seperti sebelumnya jika ditangani dengan baik. Pemberian obat juga bisa membantu proses pemulihan orang dengan gangguan jiwa.
Dengan memiliki literasi kesehatan jiwa yang baik, seseorang berarti mampu memahami, mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi seputar kesehatan jiwa. Kemampuan tersebut termasuk memahami kondisi mental, tanta-tanda gangguan kesehatan jiwa, serta cara mengelola kesehatan jiwa secara menyeluruh.
Menurut Nimaz, literasi kesehatan jiwa dapat turut mengurangi stigma sosial terkait gangguan jiwa di masyarakat. ”Dengan pemahaman lebih mendalam mengenai kesehatan jiwa, masyarakat akan lebih terbuka dan berempati terhadap individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa,” ujarnya.
Literasi kesehatan jiwa juga penting untuk mengurangi jumlah kejadian gangguan kesehatan jiwa. Dengan literasi kesehatan jiwa yang baik, masyarakat dapat memahami tindakan pencegahan dan tindakan intervensi untuk mencegah risiko gangguan kesehatan jiwa. Literasi yang baik itu juga dapat membantu seseorang untuk mengatasi stres dan tekanan mental yang dapat memicu gangguan kesehatan jiwa yang lebih buruk.
”Langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan literasi kesehatan tersebut dengan menyuguhkan informasi dan edukasi yang mudah diakses serta mudah dipahami oleh masyarakat. Teknologi bisa dimanfaatkan dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah, organisasi masyarakat, dan pihak swasta,” ujar Nimaz.