Inklusivitas Merekah di ”Negeri Singa”
Di tengah melesatnya pembangunan, Singapura berupaya tidak mengabaikan hak-hak penyandang disabilitas.
Hari sudah sore, tetapi studio keramik ART:DIS di Bedok, Singapura, masih ”bernyawa”, Rabu (11/10/2023). Kreativitas lima anak penyandang disabilitas mental dalam membuat keramik beraneka rupa menghidupkan suasana ruangan berukuran 8x5 meter tersebut.
Mereka tetap fokus dengan aktivitas masing-masing saat sembilan jurnalis dari Indonesia, India, dan Vietnam, peserta program kunjungan jurnalis oleh Singapore International Foundation (SIF), masuk ke studio. Beberapa anak memukul-mukul tanah liat untuk memipihkan bentuknya. Ada juga yang sibuk membentuk tanah liat menjadi mangkuk dan vas bunga.
Di ruangan lainnya, aroma cat menguar dari studio seni rupa. Noda-noda bekas cat beraneka warna menghiasi lantai. Studio itu baru saja selesai digunakan anak penyandang disabilitas yang menekuni seni lukis. Beberapa lukisan karya mereka masih tertinggal di meja.
Berdiri sejak 1993, organisasi nirlaba ART:DIS didedikasikan guna menciptakan peluang pembelajaran dan mata pencarian bagi penyandang disabilitas di bidang seni. Organisasi ini membuka jalur seni bagi penyandang disabilitas untuk mengekspresikan dan meraih kepercayaan diri.
Direktur Eksekutif ART:DIS Angela Tan menuturkan, studio itu menjadi sekolah alternatif bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pengalaman dan berkreativitas. ”Banyak dari mereka tidak mampu masuk ke institusi pendidikan seni formal,” katanya.
ART:DIS diharapkan menjadi salah satu jembatan menuju Singapura yang inklusif. Artinya, penyandang disabilitas mempunyai kesempatan dan akses untuk berkarya dan produktif di bidang seni.
”Penyandang disabilitas membutuhkan dukungan terutama bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan ke pendidikan tinggi,” ucapnya.
ART:DIS memiliki lebih dari 450 siswa yang tersebar di tiga lokasi. Selama 2021-2022, organisasi ini telah menyelenggarakan lebih dari 100 kelas dan 48 pameran, pertunjukan, serta proyek dengan pendapatan lebih dari 87.000 dolar AS atau sekitar Rp 1,36 miliar yang digunakan untuk mendukung pembelajaran siswa.
Baca juga : Kiat Singapura Memuliakan Penyandang Disabilitas
Dalam kelas seni, siswa tak hanya diajarkan teknik berkarya atau berkreativitas. Mereka juga dilatih untuk bertanggung jawab dan berkomunikasi di hadapan publik.
Di studio keramik, misalnya, setiap anak wajib mengumpulkan sisa material tanah liat. Mereka pun dibiasakan membersihkan meja masing-masing setelah kelas berakhir. Selain itu, siswa juga dilatih untuk berkomunikasi dengan pengunjung.
”Ini sejalan dengan misi kami untuk mengadvokasi dan menciptakan peluang bagi penyandang disabilitas melalui seni. Kami juga menganut nilai-nilai, seperti bergairah, terbuka, dan inovatif,” ujar Angela.
Pemberdayaan penyandang disabilitas
Tak cuma di pendidikan, Singapura turut mewujudkan inklusivitas di dunia kerja. Penyandang disabilitas diberdayakan oleh sejumlah pelaku usaha.
Rumah makan The Social Kitchen, misalnya, mempekerjakan belasan penyandang disabilitas, seperti autisme, keterbelakangan mental ringan, dan down syndrome.
”Kami menyambut orang-orang dari latar belakang apa pun atau penyandang disabilitas apa pun. Staf kami terdiri dari penerima manfaat yang berasal dari masyarakat rentan,” ujar Direktur The Social Kitchen, Avelyn Lee.
Didirikan tujuh tahun lalu, usaha ini semula ditujukan sebagai tempat pelatihan bagi lulusan Metta School yang berusia 18 tahun ke atas dengan disabilitas intelektual ringan dan autisme. Misinya adalah membuka jalan bagi generasi muda penyandang disabilitas memperoleh keterampilan kejuruan, pekerjaan, dan kehidupan lebih baik.
Berdiri sejak 1993, organisasi nirlaba ART:DIS didedikasikan guna menciptakan peluang pembelajaran dan mata pencarian bagi penyandang disabilitas di bidang seni. Organisasi ini membuka jalur seni bagi penyandang disabilitas untuk mengekspresikan dan meraih kepercayaan diri.
Di restoran itu, para penyandang disabilitas menjalankan pekerjaannya dengan lancar. Mereka juga mampu berkomunikasi cukup baik dengan pengunjung menggunakan bahasa Inggris.
Hal senada diterapkan restoran Soul Food Enterprise dengan merekrut tiga staf penyandang disabilitas. Restoran ini dikelola pasangan suami istri, Gerald Png dan Anne Wong.
Gerald mengatakan, restoran tersebut bukan bisnis biasa, tetapi perusahaan sosial yang mempunyai tujuan inklusi. Ia pun ingin merekrut lebih banyak lagi penyandang disabilitas.
”Mereka (penyandang disabilitas) mempunyai kemampuan berbeda. Kami bisa bekerja sama. Mereka tidak bekerja untuk kami, tapi kami bekerja bersama-sama,” ujarnya.
Gerald mendirikan usaha itu pada 2018. Saat itu, ia mengetahui putrinya memiliki gangguan belajar. Tak ingin mengutuk keadaan, Gerald memutuskan memulai bisnis tersebut untuk menjadi tempat belajar bagi anaknya dan penyandang disabilitas lainnya.
”Ketika mereka mencoba mengerjakannya, mereka tertarik untuk mempelajarinya. Dengan berjalannya waktu, mereka akan belajar lebih cepat dan efisien sehingga lebih percaya diri,” ucapnya.
”Desa Disabilitas”
Soul Food Enterprise berlokasi di Enabling Village. Kawasan ini merupakan ruang komunitas inklusif yang mempunyai beragam fasilitas, seperti gym, pusat inovasi teknologi, galeri, pusat perbelanjaan, dan fasilitas lain yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
Akan tetapi, kawasan ini bukanlah desa pada umumnya yang mencakup wilayah administratif tertentu. Namun, sebuah konsep ruang terintegrasi yang mendekatkan penyandang disabilitas dengan masyarakat umum.
Baca juga : Lewat Bioskop Inklusif, Ratusan Penyandang Disabilitas Menonton Film ”Keluarga Cemara 2”
Pemandu dari Tribe Tours, Warren Sheldon Humphries, yang juga penyandang disabilitas, mengajak pengunjung menjelajahi Enabling Village. Salah satu lokasi favoritnya adalah Tech Able, tempat menghasilkan berbagai inovasi produk untuk mendukung kehidupan penyandang disabilitas.
”Bagaimana menghasilkan hal-hal solutif yang memudahkan penyandang disabilitas. Sebab, produk umum belum tentu ramah bagi penyandang disabilitas,” ujarnya.
Salah satu inovasi itu berupa peralatan daput (kitchen set) yang ketinggiannya bisa diatur secara otomatis menggunakan tombol. Hal ini memudahkan penyandang disabilitas dengan keterbatasan fisik saat beraktivitas di dapur.
Meski belum semua penyandang disabilitas terserap di dunia kerja, Singapura telah membuat rencana induk (master plan) menuju negara yang lebih inklusi pada 2030. Berbagai sumber daya bergerak menopang misi besar ini. Langkah itu patut diikuti karena kesempatan dan kesetaraan masih menjadi barang mewah bagi penyandang disabilitas di banyak negara.