Tunas-tunas Penjaga Alas Mertajati
Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Bali membentuk Brasti, organisasi berisi anak-anak muda untuk menjaga sekaligus melestarikan Alas Mertajati.
Sejak ribuan tahun lalu, Alas Mertajati telah menjadi kawasan yang disucikan dan dijaga kelestariannya oleh leluhur Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Bali. Tugas menjaga kelestarian Alas Mertajati kini diemban oleh para generasi muda.
Wily Suputra (27) menjelaskan dengan detail setiap flora yang dijumpai saat menyusuri jalan setapak di Alas Mertajati, Buleleng, Bali, pertengahan September 2023. Ia juga mengingatkan agar selalu berlaku sopan ketika melewati beberapa pura di dalam hutan yang disucikan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) tersebut.
Alas Mertajati seluas 1.300 hektar masuk ke dalam kawasan Cagar Alam Batukau yang memiliki luas total 16.000 hektar. Cagar Alam Batukau merupakan penyuplai sepertiga kebutuhan air Pulau Bali. Meski kawasan tersebut sangat penting bagi kegiatan konservasi, status Alas Mertajati saat ini diturunkan menjadi taman wisata alam.
”Kami menyucikan Alas Mertajati dan percaya bahwa upaya ini sudah lebih dari cukup untuk melindungi hutan ini. Mengingat hutan adat ini dianggap suci, maka ada beberapa larangan, seperti tidak boleh masuk ke pura saat datang bulan bagi wanita. Kemudian, kita juga tidak boleh mengambil sesuatu dengan sembarangan dari hutan,” ujar Wily.
Wily merupakan salah satu pemuda MADT yang tergabung dalam organisasi bernama Brasti atau Baga Raksa Alas Mertajati. Dalam bahasa Indonesia, baga raksa berarti ’penjaga’. Jadi, Brasti merupakan sekelompok orang yang memiliki tugas dan tujuan untuk menjaga sekaligus melestarikan Alas Mertajati dan Danau Tamblingan sebagai satu kawasan hutan adat yang tengah diperjuangkan haknya oleh MADT.
Brasti adalah organisasi berbadan hukum yang didirikan oleh pemimpin adat atau ida pengrajeg, penglingsir, dan generasi muda. Organisasi yang berdiri sejak 2020 ini melaksanakan aktivitasnya berdasarkan Piagem GamaTirta dengan nilai-nilai sepertikemanusiaan, kebersamaan,keselarasan,keseimbangan, keadilan, dan keberlanjutan.
Brasti memiliki lima bidang dengan nama baga yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Lima bidang tersebut yakni Baga Jayabaya (Bidang Konservasi), Baga Widya (Bidang Edukasi), Baga Manguri (Bidang Data dan Dokumentasi), Baga Sri Sedana (Bidang Ekonomi Konservasi), serta Baga Jejaring (Bidang Jejaring).
Sebagai keturunan MADT dan anggota Brasti, Wily merasa memiliki tugas dan tanggung jawab penuh terhadap kelestarian Alas Mertajati. Sebab, ia melihat selama ini kawasan tersebut kian tertekan oleh berbagai aktivitas, seperti perambahan dan pembalakan hutan, perburuan flora dan fauna liar, hingga kegiatan pariwisata massal.
Beberapa flora dan fauna sudah tidak dijumpai lagi, termasuk tanaman hias endemik, seperti anggrek vanda tricolor, babi hutan, dan ijah atau monyet hitam.
Dari inventarisasi yang dilakukan masyarakat, kualitas hutan dan tutupan pohon semakin menurun. Bahkan, beberapa flora dan fauna sudah tidak dijumpai lagi, termasuk tanaman hias endemik, seperti anggrek vanda tricolor, babi hutan, dan ijah atau monyet hitam.
Sebagai upaya menyelamatkan Alas Mertajati, Brasti selalu menyiapkan berbagai tumbuhan tertentu untuk nantinya ditanam kembali di kawasan tersebut. Namun, tumbuhan yang ditanam harus sesuai dengan kondisi di Alas Mertajati yang dikuatkan melalui hasil riset.
Baca juga: Mengurai Kompleksitas Pengakuan Hutan Adat Dalem Tamblingan
”Riset diperlukan agar kami mengetahui dampak ataupun konsekuensi dari kegiatan tersebut. Jadi, setiap tanaman sudah menjadi satu kesatuan ekosistem sehingga kami tidak mau niat baik ini justru merusak Alas Mertajati. Kami pun terus mengajak masyarakat lainnya untuk melakukan kegiatan renaturing (kembali ke alam),” tutur Wily.
Aturan tak tertulis
Meski berbagai kegiatan telah dilakukan, anggota Brasti menilai upaya menjaga dan melestarikan Alas Mertajati serta Danau Tamblingan sampai sekarang dirasa belum optimal. Sebab, Alas Mertajati belum memiliki kedudukan hukum yang tetap sebagai hutan adat milik MADT. Proses pengakuan hutan adat inilah yang tengah diperjuangkan masyarakat.
Salah satu upaya memperkuat perlindungan terhadap Alas Mertajati jika telah diakui sebagai hutan adat, yakni dengan membuat tanda-tanda peringatan dan larangan di sepanjang kawasan. Masyarakat juga akan menerapkan sanksi adat bagi siapa pun yang terbukti melanggar ketentuan yang ditetapkan atau merusak kelestarian Alas Mertajati.
Saat ini terdapat beberapa aturan tidak tertulis yang tetap diyakini dan dilaksanakan secara turun-temurun oleh MADT untuk melindungi wilayahnya. Khusus di Danau Tamblingan, masyarakat menerapkan ketentuan sarana transportasi di kawasan tersebut hanya boleh menggunakan perahu tradisional tanpa mesin untuk menghindari pencemaran air.
Selain itu, para pencari ikan di Danau Tamblingan hanya boleh menggunakan jaring dengan ukuran tertentu dan dilarang memakai zat kimia beracun untuk menjaga keseimbangan populasi ikan. Sementara bagi subak-subak yang airnya bersumber dari Danau Tamblingan juga dilarang mengambil air di bagian paling hulu untuk menjaga ketersediaan dan ketertiban pendistribusian air.
Wily dan semua anggota Brasti sepakat bahwa menjaga kelestarian Alas Mertajati dan Danau Tamblingan adalah upaya lintas generasi. Meski jalan yang dilalui ke depan tidak mudah, mereka akan terus melakukan aksi konservasi untuk melindungi wilayahnya.
”Ke depan, Brasti harus mampu mengenalkan kegiatan konservasi tersebut. Selama ini, kegiatan konservasi telah banyak dilakukan, tetapi arahnya masih sebatas ritual. Oleh karena itu, kami ingin menjadi jembatan untuk anak-anak muda lainnya agar dapat berbuat lebih tidak sekadar melakukan ritual, tetapi juga aksi,” kata Wily.
Peran generasi senior
Membentuk dan mengumpulkan anak-anak muda untuk melakukan kegiatan konservasi diakui Ketua Brasti Putu Ardana sebagai hal yang tidak mudah dilakukan. Putu tidak menampik bahwa pembentukan Brasti tidak lepas dari upaya orang-orang dengan usia yang lebih tua serta pengalaman yang lebih banyak untuk membujuk anak-anak muda.
Awalnya, organisasi ini hanya bisa mengumpulkan lima anak muda Dalem Tamblingan untuk kegiatan pemetaan partisipatif yang sebagian besar juga tidak memahami kegiatan konservasi. Mereka kemudian terus menggencarkan sosialisasi hingga sekarang telah memiliki lebih dari 150 anggota dengan anggota aktif mencapai 20 orang.
”Memang ada kedekatan komunikasi antara generasi muda dan tua. Saya memosisikan diri dengan anak-anak muda bukan sebagai orang tua, melainkan teman. Kami memberikan nilai atau filosofi Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dari pengrajeg dengan bahasa anak-anak muda,” kata Putu yang telah berusia 67 tahun ini.
Baca juga: Ruang Hidup Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Hadapi Tekanan
Menurut Putu, pembentukan Brasti dan melibatkan anak muda dalam upaya konservasi juga dilakukan untuk melawan stigma tentang masyarakat adat. Selama ini, banyak pihak memandang bahwa masyarakat adat merupakan kelompok yang tertinggal dan primitif.
”Kami ingin menunjukkan bahwa masyarakat adat bisa bergaul dan memiliki media sosial. Jadi, kami tetap menjaga nilai-nilai masyarakat adat, tetapi bisa mengikuti modernitas. Anak muda tidak bisa dipaksa sehingga perlu terus menerapkan pemahaman kepada mereka,” ucapnya.