Letusan Gunung Api secara Berulang Memicu Perubahan Iklim yang Mematikan
Letusan gunung api di masa lalu secara berulang memicu perubahan iklim global. Peristiwa ini terjadi setiap 26 hingga 33 juta tahun, bertepatan dengan perubahan kritis pada orbit planet di tata surya.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Emisi gas rumah kaca akibat ulah manusia membakar bahan bakar fosil sejak revolusi industri sekitar 1850 telah memicu perubahan iklim modern. Sebelumnya, perubahan iklim sudah berulang terjadi dengan siklus 26 juta hingga 33 juta tahun akibat letusan gunung api, yang kemudian memicu krisis lingkungan dan kepunahan massal makhluk hidup.
Analisis terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Earth-Science Reviews pada Rabu (11/10/2023) menunjukkan bahwa letusan gunung api besar di masa lalu telah melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer bumi. Fenomena tersebut menyebabkan pemanasan iklim rumah kaca yang ekstrem dan hampir memusnahkan kehidupan di planet ini.
Secara signifikan, fenomena ini rata-rata terjadi setiap 26 hingga 33 juta tahun, yang bertepatan dengan perubahan kritis pada orbit planet di tata surya yang mengikuti pola siklus sama. Gelombang letusan gunung berapi yang dipelajari terakhir kali terjadi sekitar 16 juta tahun yang lalu.
”Proses geologi bumi, yang selama ini dianggap sangat ditentukan oleh peristiwa-peristiwa di dalam planet, sebenarnya dikendalikan oleh siklus astronomi di tata surya dan galaksi Bima Sakti,” kata Michael Rampino, profesor di New York University’s Department of Biology, yang menjadi penulis utama paper ini.
Para peneliti, termasuk Ken Caldeira dari Carnegie Institute for Science dan Sedelia Rodriguez, ahli geologi di Barnard College, memperingatkan bahwa kesimpulan mereka tidak ada hubungannya dengan perubahan iklim abad ke-20 dan ke-21, yang menurut para ilmuwan didorong oleh aktivitas manusia. Perubahan iklim yang berulang di masa lalu lebih disebabkan faktor alam.
Para peneliti menambahkan, analisis tersebut tetap mendukung dampak emisi karbon dioksida terhadap pemanasan iklim. Bedanya, kali ini emisi karbon yang memicu pemanasan global di era modern ini dipicu oleh ulah manusia.
Beberapa analisis terbaru itu mencakup penentuan umur radio-isotop berkualitas tinggi (U-Pb zircon dan 40Ar/39Ar) untuk letusan Continental Flood-Basalt (CFB), penanggalan meluasnya anoksia laut, penanggalan terkini mengenai peristiwa kepunahan laut dan non-laut, interval iklim hipertermal, dan kemunculan anomali stratigrafi Hg, serta anomali Os-isotop non-radiogenik sebagai proksi potensial bagi vulkanisme basaltik berskala besar.
Letusan CFB merupakan serangkaian letusan gunung berapi terbesar di Bumi dengan aliran lava seluas hampir setengah juta mil persegi. Sebagian aliran lava ini berada di dasar laut, tetapi ada juga yang muncul di darat, seperti Deccan Traps di India dan Ontong Java Plateu, dataran tinggi samudra besar yang terletak di barat daya Samudra Pasifik, di utara Kepulauan Solomon.
Rampino dan tim menemukan bahwa letusan CFB sering terjadi bersamaan dengan fenomena geologi mematikan lainnya sehingga menjelaskan dampak yang lebih besar dari aktivitas gunung berapi. Setidaknya 13 dari 17 interval lautan anoksik ditandai dengan anomali stratigrafi Hg, yang menunjukkan letusan terjadi pada saat yang sama, dan 5 interval anoksik pada Periode Kapur hangat berkorelasi dengan rasio Os-isotop laut yang menunjukkan potensi aktivitas hidrotermal.
Sembilan dari interval anoksik laut sejauh ini berkorelasi dengan waktu terjadinya episode kepunahan laut, dan delapan dari peristiwa anoksia atau kepunahan tersebut secara signifikan berkorelasi dengan usia letusan CFB yang sudah lama terjadi.
Letusan gunung api besar di masa lalu telah melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer bumi.
Adapun, tujuh dari peristiwa kepunahan laut dan vulkanisme CFB yang terkait terjadi bersamaan dengan kepunahan vertebrata non-laut sehingga mendukung episode bencana iklim gunung berapi global yang menghancurkan lingkungan laut dan darat.
Sementara itu, kaitan peristiwa geologi besar di masa lalu dengan astronomi dibuktikan dengan kesamaan siklus vulkanisme dan iklim ekstrem yang berlangsung selama jutaan tahun dengan siklus orbit Bumi yang diketahui di tata surya kita dan di galaksi Bima Sakti.
Para penulis menemukan bahwa keselarasan antara siklus geologi dan astrofisika terlalu dekat untuk dianggap hanya sekadar kebetulan. Mereka kemudian berteori bahwa pergerakan astronomi planet ini mengganggu mesin geologi internal bumi.
”Ini adalah hubungan yang tidak terduga dan memperkirakan adanya konvergensi antara astronomi dan geologi—peristiwa yang terjadi di Bumi terjadi dalam konteks lingkungan astronomi kita,” kata Rampino.
Sebelumnya, dalam laporan studinya di jurnal Geoscience Frontiers pada tahun 2021, Rampino dan tim menemukan peristiwa geologi besar di masa lalu tidak terjadi secara acak dari waktu ke waktu. Penelitiannya memberikan bukti statistik peristiwa geologi besar—termasuk aktivitas gunung berapi dan kepunahan massal di darat dan laut—berkisar 26 hingga 36 juta tahun atau rata-rata 27,5 juta tahun.
Letusan Toba
Dalam papernya berjudul Climatic-Volcanism Feedback and the Toba Eruption of Around 74.000 Years Ago (Quaternary Research, 1993), Michael Rampino dan Stephen Self menyampaikan tentang dampak letusan Gunung Toba sekitar 73.000 tahun lalu yang sangat dahsyat. Letusan Gunung Toba ini disebut sebagai salah satu yang terkuat sejak kemunculan manusia modern ( Homo sapiens).
Antropolog Stanley H Ambrose dari University of Illinois mengusulkan ”skenario musim dingin vulkanik” (a volcanic winter scenario) untuk menjelaskan kemacetan populasi manusia modern pada kurun 71.000-60.000 tahun lalu tersebut. Dengan mencocokkan tahun letusan Toba, Ambrose menyimpulkan, letusan gunung di Pulau Sumatera itulah yang menyebabkan musim dingin vulkanik pada kurun itu.
Dalam artikelnya di Journal of Human Evolution (1998), Ambrose menulis, ”Kelaparan yang disebabkan letusan raksasa Toba dan musim dingin vulkanik mendorong munculnya bottleneck populasi manusia pada era pleistosen akhir. Enam tahun volcanic winter, diikuti 1.000 tahun suhu dingin, menjadi musim terkering dalam Late Quaternary.”
Letusan besar gunung api terbaru terjadi di Samudera Pasifik ketika Tonga Hunga Ha’apai meletus pada Januari 2022 sehingga memicu peningkatan suhu global. Tim peneliti di University of Oxford memperkirakan, erupsi gunung api ini bisa mendorong kenaikan suhu global rata-rata di atas batas kenaikan 1,5 derajat celsius.
Meski demikian, jika melihat temuan terbaru Rampino ini, letusan Gunung Toba, apalagi Tonga Hunga Ha’apai, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan serangkaian peristiwa geologi besar di masa lalu. Menurut Rampino, kumpulan peristiwa geologi besar terbaru terjadi sekitar 7 juta tahun yang lalu, yang menunjukkan bahwa aktivitas geologi besar berikutnya akan terjadi lebih dari 20 juta tahun di masa depan.