Tiga Guru Besar Baru FKUI Tawarkan Transformasi Kesehatan Nasional
Tiga guru besar baru Universitas Indonesia, yaitu Theddeus, Diantha, dan Melva, mendorong kemandirian ilmu kesehatan nasional agar Indonesia bisa menjadi salah satu negara destinasi wisata medis.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Universitas Indonesia mengukuhkan tiga guru besar tetap Fakultas Kedokteran dalam sidang terbuka di Aula Imeri FKUI, Jakarta, Sabtu (7/10/2023). Ketiganya memiliki konsen pada kemandirian ilmu kesehatan nasional agar Indonesia bisa menjadi salah satu negara destinasi wisata medis.
Ketiga guru besar yang dikukuhkan hari ini adalah profesor dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik, subspesialis tangan, Theddeus OH Prasetyono; profesor dokter spesialis edukasi kedokteran, Diantha Soemantri; serta profesor dokter spesialis sains dan ilmu biomedik, Melva Louisa.
Dalam pidatonya berjudul ”Bedah Tangan Tanpa Turniket sebagai Model Pengembangan Inovasi Layanan Bedah untuk Kesiagaan Layanan Unggul Bersaing”, Theddeus menyampaikan bahwa operasi tangan dapat dikerjakan tanpa turniket. Operasi ini memanfaatkan teknik tumescent, yaitu dengan membuat gelembung dan tegang pada jaringan tangan agar tidak menimbulkan banyak darah dan tidak nyeri.
Hal itu karena efekvasokonstriksi epinefrin, tekanan hidrostatik tumescent, serta kandungan anestesi lokal pada bagian tangan. Teknik ini juga aman diterapkan pada bayi dan orang lansia, termasuk membuang tumor pada tangan. Teknik ini sudah diterapkannya di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Dalam praktiknya, Theddeus sering menggunakan pendekatan mengalihkan perhatian pasien pada operasi yang sedang dilakukan. Misalnya, dengan mengajak pasien bernyanyi atau mengobrol hal-hal keseharian pasien. Dengan begitu, pikiran pasien tidak terfokus pada operasi. Upaya pendekatan ini juga dapat dikerjakan dalam kondisi gawat darurat.
”Teknik ini memiliki keuntungan, dapat dikerjakan pada pasien rawat jalan, tidak menimbulkan efek mual, muntah, dan juga berbagai efek samping sedasi, cukup memerlukan kamar operasi poliklinik, bahkan tidak perlu full steril. Ini membuat produk buang operasi berkurang dan ongkos produksi operasi berkurang,” kata Theddeus.
Teknik ini, menurut Theddeus, sudah sering dilakukan di negara lain, seperti Korea Selatan. Korea Selatan mengawali pelayanan bedah plastik bersamaan dengan Indonesia pada 1960-an. Namun, mereka lebih berkembang karena saat ini mampu menarik pasien mancanegara untuk datang guna menjalani bedah plastik.
Korea Selatan sekarang memiliki 69 pusat pendidikan spesialis bedah plastik dengan jumlah dokter spesialisnya mencapai 3.012 orang per Mei 2023, sedangkan Indonesia hanya 6 pusat pendidikan dengan 300 dokter. Theddeus menilai, perlu penambahan jumlah pusat pendidikan untuk mencetak profesional yang berkualitas dan meningkatkan daya saing di forum-forum temu ilmiah.
”Pemerintah dapat membangun persepsi yang membahana, Kementerian Kesehatan dapat membangun konsep wisata medis bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk dengan yakin dan bangga memasukkan layanan kesehatan dalam program inovatif promosi destinasi wisata unggul Nusantara,” tuturnya.
Menurut Theddeus, dirinya menjadi guru besar karena para pahlawan dia, yaitu para pasien. ”Terima kasih telah memberi kepercayaan kepada saya untuk menerapkan kemampuan dan keahlian saya,” ucapnya.
Korea Selatan sekarang memiliki 69 pusat pendidikan spesialis bedah plastik dengan jumlah dokter spesialisnya mencapai 3.012 per Mei 2023, sedangkan Indonesia hanya 6 pusat pendidikan dengan 300 dokter.
Sementara itu, Melva tampil dengan pidatonya berjudul ”Peran Farmakologi Translasional dalam Pengembangan Obat Baru: Peran dan Pemanfaatannya dalam Mewujudkan Kemandirian Obat Nasional”. Menurut dia, salah satu masalah utama farmakologi di Indonesia adalah ketergantungan terhadap impor obat. Oleh karena itu, peran farmakologi translasional perlu dikembangkan.
Farmakologi translasional adalah bagian dari ilmu farmakologi yang berhubungan dengan penerapan hasil penelitian molekuler dan praklinik ke aplikasi klinik yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kegagalan proses pengembangan obat. Ini dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk membawa obat baru ke pasar.
Penelitiannya di Departemen Farmakologi FKUI bersama dengan mahasiswa dan kolaborator telah mempelajari beberapa kandidat obat dari bahan alam, di antaranya alfa mangostin, kurkumin, 6-gingerol, ekstrak Moringa oleifera (kelor), dan ekstrak Carthamus tinctorius (kasumba turate). Penelitian ini untuk meningkatkan efek terapi atau menurunkan efek samping dari obat standar.
Selain kandidat obat, Melva mengatakan bahwa penentuan biomarker yang tepat sangat penting dalam mendukung keberhasilan suatu uji klinik karena hasilnya yang bersifat obyektif.
”Sebagai contoh, penelitian kami telah mengkaji manfaat KIM-1 dan NGAL sebagai penanda keamanan yang lebih baik dibanding ureum dan kreatinin sebagai penanda kerusakan ginjal tahap awal,” kata Melva.
Kajian Diantha juga mengangkat isu transformasi sumber daya manusia (SDM) kesehatan. Transformasi itu dimulai dari mengoptimalkan sistem seleksi dan rekrutmen peserta didik. Ketidakprofesionalan dalam sistem seleksi akan mencetak SDM kesehatan yang tidak profesional pula.
Menurut dia, sistem seleksi peserta didik untuk ilmu pendidikan kedokteran saat ini masih menekankan seleksi berdasarkan atribut kognitif atau akademik. Ini membuat populasi peserta didik kurang beragam atau tidak inklusif serta tidak sejalan dengan kompetensi yang diharapkan. Padahal, pendidikan kedokteran dituntut melahirkan dokter yang cakap dan terampil, sekaligus memiliki profesionalisme yang mumpuni.
Metode yang dapat digunakan untuk menyeleksi peserta didik berdasarkan atribut nonkognitif adalah tes penilaian situasional (SJT). SJT adalah alat yang cocok untuk menilai atribut nonkognitif dan memiliki dampak yang baik bagi keberagaman peserta didik kedokteran. Berbagai penelitian di luar negeri juga membuktikan bahwa SJT bermanfaat untuk memperluas populasi.
Prinsip memperluas populasi selaras dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan jumlah dokter spesialis dan pemerataan distribusinya. Upaya tersebut diawali dengan memilih yang terbaik dan yang dibutuhkan. Artinya, kandidat terpilih harus memenuhi kriteria dan dapat ditempatkan di lokasi yang sesuai.
”Untuk meretensi dokter spesialis yang terpilih, diperlukan regulasi agar kebutuhan pelayanan kesehatan di lokasi tersebut terpenuhi. Transformasi ini sekaligus menjadi awal untuk mewujudkan SDM kesehatan yang berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia,” ucap Dhianta.
Rektor UI Ari Kuncoro mengatakan, ketiganya menambah daftar profesor UI yang menjadi guru besar, yakni 413 guru besar, dan Fakultas Kedokteran menjadi yang paling banyak dengan 113 guru besar. Jumlah guru besar UI dengan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) berjumlah 310 orang dan guru besar UI dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) berjumlah 103 orang. Theddeus, Diantha, dan Melva, secara berurutan, adalah guru besar ke-52, ke-53, dan ke-54 FKUI yang dikukuhkan pada 2023.