Sejumlah dokter berpraktik tanpa surat tanda registrasi atau STR. Ada dokter yang melakukan itu karena terganjal ujian kompetensi. Ada pula yang merasa pengurusan surat terlalu rumit.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sejumlah dokter berpraktik meski tak memiliki surat tanda registrasi atau STR dari Konsil Kedokteran Indonesia. Selain ada yang tak lulus ujian kompetensi dokter, ada juga dokter yang merasa administrasi pengurusan surat tanda registrasi terlalu rumit.
Dokter berinisial YN (40) yang bekerja di sebuah rumah sakit tipe D di Jawa Timur mengaku tak punya dokumen STR karena terganjal uji kompetensi sejak 2013. YN sudah ikut delapan kali ujian kompetensi namun tidak pernah lulus. Dia pun tidak pernah menerima penjelasan terkait perolehan nilainya.
Selama bertahun-tahun YN tidak dapat mengurus STR, sebagai syarat pengurusan surat izin praktik (SIP). Meski begitu, YN mengaku mampu melayani pasien. Saat ditemui akhir Juni 2023, YN baru selesai mengurusi seorang pasien pada waktu sif malam. “Melayani, praktik, tapi ya diam-diam. Karena mereka (pasien) tidak tahu saya tidak punya STR,” katanya.
Dua bulan terakhir, gajinya senilai Rp 2,5 juta tidak dibayarkan. Sementara, dia terus melayani pasien bersama dokter lain. Di tengah nihilnya gaji, YN kerap mencari lowongan menjaga tempat praktik dokter pada sif malam. Dari situ, dia hanya mendapat Rp 150.000 hingga Rp 200.000 dalam sepekan.
YN tergabung dalam kelompok dokter pejuang STR yang berkali-kali gagal ujian kompetensi. Mereka kerap berbagi informasi terkait uji kompetensi demi mendapatkan sertifikat kompetensi, sebagai salah satu syarat STR.
“Melayani, praktik, tapi ya diam-diam.
Dokter MY (48), koordinator di kelompok itu menyebutkan, rekan-rekannya bukan tidak kompeten sebagai dokter. Mereka sudah menempuh pendidikan kedokteran bertahun-tahun, keluar biaya besar, tetapi terganjal ujian kompetensi. “Sudah kuliah bertahun-tahun, berapa biaya yang dikeluarkan, tapi karena tidak ada STR jadi tidak bisa praktik. Mau ujian ke Jakarta, berapa biayanya lagi,” kata MY.
Di Bogor ada dokter berinisial IN (45), lulusan salah satu fakultas kedokteran universitas negeri di Pulau Jawa yang juga berpraktik tanpa STR. Dia mengisi slot dokter jaga di satu tempat praktik dokter. IN berpraktik secara terbatas khusus untuk warga di lingkungan rumahnya. Untuk praktik di rumahnya itu, IN mengenakan tarif sekitar Rp 40.000 hingga Rp 50.000 ke pasien.
IN hanya menangani pasien-pasien penyakit ringan. Jika gejala penyakit dirasa cukup berat, maka pasien disarankan ke fasilitas pelayanan kesehatan resmi.
“Iya (bisa), kalau umum. Misalkan TB (tuberkulosis) sudah berat, ya sudah tak bisa aku tangani. Tapi minimal masih bisa berinteraksi dengan pasien,” jelas IN.
Dia mengaku pernah memiliki STR, hingga 2008. Di masa itu, dia merasa kesulitan berurusan dengan administrasi perpanjangan STR. Karena tak mau ribet dengan itu semua, ia tidak lagi mengurus STR. Menurut dia, jika memang tujuan ujian itu untuk menyamakan standar dokter, berarti ada lulusan dokter yang masih di bawah standar. “Padahal, barangnya sudah lulus (kuliah kedokteran), tapi diuji lagi kayak UN,” tutur IN.
Peneliti Kesehatan Masyarakat Griffith University Australia Dicky Budiman berpendapat dokumen STR penting sebagai upaya menjaga mutu dokter. Di sisi lain, standar kompetensi dokter dalam dokumen STR adalah upaya menjamin perlindungan pasien yang ditangani.
"Alasan ekonomi, atau alasan lain, tidak boleh jadi pembenaran untuk menghilangkan upaya melindungi kesehatan masyarakat. Sekali lagi, kompetensi dokter itu harus, ucapnya, Selasa (11/7/2023).
Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengamanatkan setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran wajib memiliki STR. Pasal 75 UU itu menyebutkan, setiap dokter yang dengan sengaja berpraktik tanpa STR dapat dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.
"Alasan ekonomi, atau alasan lain, tidak boleh jadi pembenaran untuk menghilangkan upaya melindungi kesehatan masyarakat." (Dicky Budiman)
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi menyampaikan, IDI punya peran pengawasan terhadap dokter yang berpraktik tanpa STR dan SIP, selain pengawasan dari pemerintah setempat. Dia khawatir dokter yang praktik tanpa STR itu bisa berkasus dengan pasien di kemudian hari.
Adib siap membantu para dokter yang kesulitan mendapatkan STR. “Jika STR tidak diperpanjang, kemudian meneruskan praktik dan belum ada masalah selama ini, mungkin karena tidak ada yang melaporkan. Karena kalau dia sampai tak punya STR dan SIP, lalu terkena kasus, maka ranahnya sudah pidana,” ujarnya.