Sebanyak 1,9 juta-2,7 juta orang di Bandung dan sekitarnya rentan terdampak gempa dari sesar Lembang.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Analisis berdasarkan data radar selama enam tahun telah menghasilkan peta deformasi wilayah Bandung Raya yang berpotensi terdampak gempa dari sesar Lembang. Dengan potensi kekuatan gempa berkekuatan M 6,6-7, sebanyak 1,9 juta–2,7 juta orang di Bandung dan sekitarnya rentan terkena guncangan tanah tingkat tinggi.
Penelitian kolaborasi para peneliti dari British Geological Survey, Institut Teknologi Bandung (ITB), serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu dipublikasikan di jurnal Natural Hazards and Earth System Sciences pada 5 Oktober 2023. Ekbal Hussein dari British Geological Survey menjadi penulis pertama paper ini.
”Selain estimasi slip rate (laju pergerakan) sesar Lembang, paper kami juga membahas distribusi populasi yang rentan di Bandung Raya jika gempa Mw 6,6 terjadi di sesar Lembang,” kata Endra Gunawan dari Global Geophysics Research Group, ITB, yang terlibat dalam penelitian ini, Jumat (6/10/2023).
Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan data radar Sentinel-1 selama enam tahun untuk menghasilkan peta deformasi wilayah metropolitan Bandung. Dengan menggabungkan kecepatan pergerakan tanah naik dan turun, para peneliti menghitung kecepatan timur-barat di seluruh wilayah dan menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi regangan di sesar Lembang.
Para peneliti kemudian memodelkan profil kecepatan melintasi sesar dan menemukan bahwa laju pergerakan melintasi sesar sebesar 4,7 mm tahun per tahun dengan bagian dangkal dari sesar yang merambat sebesar 2,2 mm tahun per tahun. Hal ini menyiratkan bahwa regangan masih terakumulasi pada kedalaman yang dangkal.
Perulangan gempa
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, pada 28 Agustus 2011 terjadi gempa magnitudo 3,3 dengan kedalaman yang sangat dangkal di sesar Lembang hingga mengakibatkan dampak signifikan, yaitu merusak 384 rumah warga di Kampung Muril, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Gempa dirasakan juga pernah terjadi pada 14 dan 18 Mei 2017 dari sesar Lembang dengan magnitudo M 2,8 dan M 2,9. Gempa saat itu tidak menimbulkan kerusakan.
Sekalipun selama ini gempa yang terjadi di sesar Lembang memiliki skala kecil, terdapat bukti geomorfologi mengenai gempa bumi berukuran signifikan di masa lalu. Berdasarkan penelitian paleoseismik, geolog BRIN Mudrik Daryono dan tim di Tectonophysics pada 2019 memperkirakan sesar Lembang dapat menimbulkan gempa berkekuatan besar dengan waktu pengulangan 170–670 tahun.
Dengan asumsi geometri sesar dan perkiraan periode ulang gempa 170–670 tahun ini, Ekbal Hussein dan tim memperoleh perkiraan defisit momen pada sesar Lembang yang setara dengan gempa bumi berkekuatan M 6,6–7. Mereka kemudian memperkirakan guncangan tanah akibat kedua gempa bumi ini menggunakan mesin Global Earthquake Model OpenQuake.
Sebanyak 1,9 juta orang berpotensi terkena guncangan tanah tingkat tinggi jika terjadi gempa berkekuatan M 6,6 di Sesar Lembang.
”Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa 1,9 juta–2,7 juta orang di wilayah metropolitan Bandung akan terkena guncangan tanah tingkat tinggi, lebih besar dari 0,3 g, berdasarkan skenario gempa bumi yang ada,” tulis Hussein dan tim.
Sebanyak 1,9 juta orang berpotensi terkena guncangan tanah tingkat tinggi jika terjadi gempa berkekuatan M 6,6 di Sesar Lembang. Jumlah ini meningkat menjadi 2,7 juta orang jika terjadi gempa berkekuatan M 7.
Rahma Hanifah, peneliti BRIN yang terlibat dalam kajian ini, mengatakan, riset kali ini belum menghitung dampak guncangan ini terhadap kekuatan bangunan di Bandung Raya. ”Ada rencana untuk mengevaluasi kerentanan bangunan di Bandung terhadap guncangan dengan skenario riset kami kali ini untuk tahun depan. Namun, pada dasarnya, kalau bangunan mengikuti SNI (Standar Nasional Indonesia), mestinya bisa bertahan,” katanya.
Berdasarkan temuan terbaru ini, para peneliti di Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen) tengah mendiskusikan apakah akan menaikkan slip rate sesar Lembang atau tidak. ”Di Peta Gempa Nasional 2017, slip rate sesar Lembang masih 2 mm per tahun. Riset kami dengan data GPS dan Insar berdasarkan data terbaru mencapai 4,7 mm per tahun,” ujar Rahma.
Menurut Rahma, BRIN telah memasang empat alat sensor GPS-seismic di sesar Lembang sejak 2022 secara waktu nyata dan telemetri agar bisa terus mengobservasi bagaimana seismisitas dan pergerakan sesar Lembang.