Penelitian "Hobbit" di Situs Liang Bua Perlu Dilanjutkan
Penelitian di Situs Liang Bua, tempat ditemukannya fosil Homo Floresiensis pada 20 tahun lalu, belum sepenuhnya tuntas. Dibutuhkan penelitian lanjutan untuk menggali informasi lebih banyak di situs tersebut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penemuan fosil manusia purba Homo Floresiensis di Situs Liang Bua, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, pada dua dekade lalu menggemparkan dunia arkeologi sekaligus mengundang perdebatan. Penelitian di situs itu dinilai belum tuntas sehingga perlu dilanjutkan.
Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama peneliti dari Australia menemukan fosil Homo Floresiensis di Liang Bua pada 2 September 2003. Para peneliti menemukan kerangka manusia purba yang dijuluki “hobbit” tersebut pada kedalaman galian hampir enam meter. Tinggi kerangkanya 106 sentimeter dengan tulang kening yang menonjol.
Semula, Situs Liang Bua dinyatakan berusia sekitar 13.000 – 12.000 tahun yang lalu. Namun, berdasarkan evaluasi terhadap usia tulang Homo Floresiensis dan analisis sedimen, situs itu diketahui berusia 100.000-60.000 tahun yang lalu.
E Wahyu Saptomo, salah satu peneliti penemu fosil Homo Floresiensis, mengatakan, Liang Bua sangat cocok dijadikan hunian. Gua ini mengarah ke utara agak ke timur sehingga sinar matahari tidak terhalang masuk saat pagi hari. Dengan mulut gua yang lebar, sirkulasi udaranya pun sangat baik.
Penelitian tersebut melibatkan sejumlah ahli dari berbagai bidang, seperti geologi, paleontologi, dan penanggalan karbon. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk mengungkap banyak hal yang tersembunyi di situs tersebut.
“Saya kira penelitian di Liang Bua masih belum tuntas sepenuhnya, masih perlu kita lanjutkan. Ada beberapa yang harus ditekankan, salah satunya penelitian lingkungan yang masih sangat minim,” ujarnya dalam ‘Commemoration of the 20th Anniversary of Homo Floresiensis Discovery’ yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara hybrid, Senin (2/10/2023).
Wahyu mengatakan, saat penelitian 20 tahun lalu, para peneliti bekerja dengan sarana serba minim. Untuk penerangan, misalnya, peneliti harus menggunakan lampu darurat dan petromaks karena belum ada genset saat itu.
Menurut dia, penggunaan teknologi modern sangat membantu untuk mengungkap misteri di Situs Liang Bua guna memperoleh informasi lebih banyak. Selain itu, dibutuhkan situs-situs tambahan di sekitarnya sebagai pembanding.
Penemuan fosil Homo Floresiensis sangat penting bagi riset arkeologi, khususnya terkait evolusi manusia. Temuan itu juga menegaskan pentingnya kolaborasi riset.
“Mungkin (situs tambahan) bisa di sekitar Manggarai sebelah barat atau di sisi utara. Selain itu, sudah ada usulan pembuatan museum di sana. Kalau bisa ditindaklanjuti, bagus sekali. Jadi, makna dari keberadaan Situs Liang Bua itu bermanfaat bagi banyak orang,” jelasnya.
Penemuan fosil Homo Floresiensis sempat menuai perdebatan mengenai asal-usulnya dan keterkaitannya dengan Homo Sapiens atau manusia modern. Selain itu, muncul pertanyaan apa yang membuat spesies ini punah.
“Yang masih diperdebatkan dan dipertanyakan banyak orang, siapa hobbit itu? Maka, kalau ada seminar internasional, khusus mendudukkan (persoalan) hobbit di tengah ahli paleontologi, akan membuat gambaran yang lebih jelas,” katanya.
Guru Besar Emeritus Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Yahdi Zaim mengatakan, penemuan fosil Homo Floresiensis merupakan penemuan spektakuler. Merujuk penelitian Lyras dan kawan-kawan yang dipublikasikan pada 2008, sulit memisahkan hubungan Homo Floresiensis dengan Homo Erectus.
“Sebaliknya, Lyras dan kawan-kawan tidak melihat hubungan antara Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens,” ucapnya.
Selain fosil manusia, ditemukan juga fosil hewan purba di Situs Liang Bua. Hewan-hewan itu juga sudah punah, seperti stegodon dan burung-burung berukuran besar.
Peneliti dari University of Wollongong, Australia, Gert van den Bergh, mengatakan, ukuran StegodonFlorensis relatif lebih kecil dibandingkan stegodon di tempat lain. Hal ini dikarenakan Stegodon Florensis mengalami penyusutan ukuran.
Kolaborasi riset
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Jogaswara mengatakan, penemuan fosil Homo Floresiensis sangat penting bagi riset arkeologi, khususnya terkait evolusi manusia. Temuan itu juga menegaskan pentingnya kolaborasi riset.
“Pembelajaran dari (penelitian) Liang Bua adalah tentang kolaborasi yang sangat penting. Dengan adanya BRIN, riset arkeologi menjadi terkoneksi secara multidisiplin,” katanya.
Oleh karenanya, peneliti arkeologi diharapkan melakukan riset bersama peneliti dari organisasi riset lainnya. Selain itu, juga dapat bekerja sama dengan peneliti di luar BRIN, salah satunya di perguruan tinggi.
“Ekosistem riset sekarang sudah berkembang. BRIN tidak bisa sendirian,” ucapnya.
Arkeolog senior yang juga Ketua Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS) Prof Harry Truman Simanjuntak menuturkan, cakupan prasejarah di Nusantara berkontribusi penting dalam memahami evolusi manusia dan evolusi peradaban. Dalam dimensi ruang, prasejarah Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berkaitan dengan kawasan di sekitarnya.
“Prasejarah itu peletak dasar peradaban kita sekarang ini. Di sinilah pentingnya memahami prasejarah. Prasejarah mengajarkan tentang siapa kita, dari mana kita, dan tentu sebagai bangsa, mau ke mana kita. Prasejarah akan memberikan dasar untuk itu,” jelasnya.
Menurut Truman, setidaknya terdapat dua faktor yang membuat Indonesia kaya dengan peninggalan kehidupan masa lampau. Faktor pertama merupakan daerah tropis dengan iklim relatif stabil di sepanjang tahun. Kondisi ini sangat mendukung kehidupan manusia, terutama pada masa purba di mana kemampuan manusia sangat terbatas dalam mengatasi problem lingkungan.
Faktor kedua adalah posisi geografis Indonesia yang strategis karena terletak di antara dua benua dan dikelilingi kepulauan. “Ada interkoneksi kawasan satu dengan kawasan lainnya. Indonesia berada di tengah. Itu menjadikan Indonesia kaya akan kehidupan dan budaya di masa lalu,” ucapnya.