logo Kompas.id
Lain-lainMisteri Homo Floresiensis
Iklan

Misteri Homo Floresiensis

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Upaya menelusuri jejak genetika Homo floresiensis di goa Liang Bua tahun 2004 pada manusia pigmi Flores belum berhasil. Namun, hasil riset itu mampu mengungkapkan proses seleksi dan adaptasi manusia modern di sekitar Liang Bua, Nusa Tenggara Timur, yang menjadikan mereka berperawakan pendek.Demikian hasil riset sembilan peneliti dari 11 institusi berbeda di enam negara yang dipublikasikan di majalah Science, 3 Agustus 2018, berjudul "Evolutionary History and Adaptation of a Human Pygmy Population of Flores Island, Indonesia".Peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, yang terlibat dalam penelitian itu, di Jakarta, Senin (6/8/2018), mengatakan, temuan kerangka Homo floresiensis di Liang Bua telah menarik perhatian dunia. Dari sana muncul pertanyaan tentang hubungan Homo floresiensis dengan manusia berperawakan pendek atau pigmi yang tinggal di sekitar goa itu. Mereka lantas merunut DNA dan menganalisis genom populasi pigmi (32 orang) dari Dusun Rampasasa, Manggarai, Flores, yang tinggal di sekitar goa itu.Hasilnya, populasi Rampasasa tidak berbeda dengan populasi lainnya di Indonesia ataupun dunia. Secara genetika, mereka dekat dengan kelompok Asia Timur dan Asia Tenggara dibandingkan Melanesia dan Niugini. Apabila melihat teori pengembaraan manusia modern Out of Africa dan pembauran Homo neanderthal serta manusia Denisovans, maka pada populasi pigmi di Rampasasa pun ditemukan jejak kedua hominin tersebut. Selain jejak keduanya, tidak ditemukan lagi jejak manusia purba lain pada populasi Rampasasa.Seleksi alamHasil penelitian Pusat Arkeologi Nasional dan Universitas New England, Australia, yang telah dimuat di majalah Nature tahun 2004 memperkirakan, tinggi badan Homo floresiensis LB1 lebih rendah daripada manusia pigmi yang hidup di sekitar Rampasasa. Ketika berdiri, tinggi mereka diperkirakan 106 sentimeter, sedangkan tinggi rata-rata manusia pigmi 148 cm.Para peneliti kemudian menganalisis genom populasi Rampasasa terkait tinggi badan yang diidentifikasi pada orang Eropa. Hasilnya, ditemukan frekuensi varian genetik yang tinggi dan berasosiasi dengan penurunan tinggi badan. Hal itu menunjukkan bahwa evolusi orang pigmi Flores merupakan hasil proses seleksi alam yang berpengaruh pada variasi genetik yang ada sebelumnya.Tahun 2005, peneliti dari Eijkman telah melakukan studi populasi terhadap manusia modern berperawakan pendek yang dulu disebut "hobbit" di sekitar Liang Bua. Namun, teknologi saat itu belum memungkinkan peneliti melihat sisipan genom asing pada manusia modern.Herawati menambahkan, hasil Pan-Asian SNP Consortium yang juga dipublikasi pada majalah Science tahun 2009 pun tidak jauh berbeda. Menggunakan penanda DNA inti 50.000 Single Nucleotide Polymorphism (SNP), peneliti membandingkan dua kelompok populasi di Flores, yakni 19 individu Rampasasa (Flores Barat) dan 17 individu Soa (Flores Tengah).Hasilnya, pola pembauran kedua kelompok itu lebih kurang sama. Keduanya juga memiliki jejak gelombang migrasi serupa, tetapi dengan persentase berbeda.Peneliti Eijkman lain yang ikut dalam penelitian itu, Gludhug A Purnomo, mengatakan, pengurutan DNA pada kerangka di daerah tropis cenderung sulit karena pengaruh iklim dan kelembaban. Perubahan suhu 1 derajat akan berdampak signifikan. Akibatnya, meskipun kerangka manusia purba ditemukan, belum tentu DNA-nya bisa diperoleh. (ADH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000