Pemanfaatan biomassa dari hutan untuk pembangkit listrik dikhawatirkan menggerus kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat adat Mentawai.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Sura Uma, sikerei atau dukun adat suku Mentawai, pulang dari ladangnya di pedalaman Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa atau PLTBm di Kepulauan Mentawai perlu dikaji ulang karena dikhawatirkan akan mengubah pola hidup masyarakat adat Mentawai. Keberlangsungan budaya, pengetahuan, teknologi, kesehatan, ekonomi, ekologi, dan religiositas mereka perlu dijaga agar tak tergerus laju pembangunan.
Ketua Pengurus Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis mengatakan, pemanfaatan biomassa kayu untuk dibakar menjadi energi mengancam hutan primer. Sementara di hutan tersebut tinggal masyarakat adat Mentawai yang selama ini memanfaatkan sumber daya alam di kawasan tersebut untuk penghidupan mereka.
Bagi masyarakat adat, sumber energi yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang adalah hutan. Dengan mengambil dan mengubah hutan mereka untuk menghasilkan energi listrik, hal itu dinilai sama dengan merenggut sumber energi kehidupan, melumpuhkan ketangguhan dan keberlanjutan eksistensi mereka.
”Hutan tanaman energi dikhawatirkan mereduksi kesadaran, seolah-olah energi utama untuk hidup adalah listrik. Sehingga atas nama listrik, hak masyarakat adat diingkari, serta ekosistem hutan alam dirusak. Energi yang dibutuhkan masyarakat adat Mentawai adalah yang berkelanjutan dengan menjaga alam,” kata Rifai dalam diskusi bertajuk ”Riung Mentawai: Cerita tentang Energi dari Hutan dan Budaya Mentawai”, di Jakarta, Sabtu (30/9/2023).
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) Siantan di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Senin (24/9/2018). PLTBm ini memanfaatkan limbah cangkang dan kayu kelapa sawit, yang selama ini dipandang mencemari lingkungan, sebagai bahan bakar.
Adapun pembangkit listrik tenaga biomassa atau PLTBm sudah dibangun di Kepulauan Mentawai sejak tahun 2019 yang diresmikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional saat itu, Bambang Brodjonegoro. Namun, tiga unit PLTBm itu hanya bisa beroperasi selama enam bulan.
Selama enam bulan itu, masyarakat didorong mengubah pola tanam dengan menanam bambu sebagai bahan baku PLTBm. Rencana itu tidak berhasil karena pasokan tidak memadai dan mesinnya rusak. Masyarakat pun kembali menanam sagu, sayur, dan buah-buahan.
Energi yang dibutuhkan masyarakat adat Mentawai adalah yang berkelanjutan dengan menjaga alam.
Pada tahun yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga sudah memberikan konsesi lahan seluar 19.876,59 hektar di Pulau Siberut kepada PT Biomass Andalan Energy. Dari luasan tersebut, 11.000 hektar di antaranya merupakan area tutupan hutan.
Kelak Saguluh (60), Sikerei, atau tabib dalam bahasa Mentawai, khawatir rencana ini akan kembali mengubah aktivitas dan pola tanam masyarakat Kepulauan Mentawai. Dia pun mengakui, saat ini mulai kesulitan mencari bahan tanaman untuk pengobatan tradisionalnya. ”Kami bukan menolak listrik masuk ke Mentawai, tetapi kalau listrik dihasilkan dari merusak hutan, kami tidak mau. Kalau hutan rusak, saya cari tanaman obat kemana?” kata Kelak.
Para Sikerei atau ahli spiritual Mentawai di pulau Siberut mencari tanaman obat-obatan untuk salah satu prosesi di hutan Siberut di Dusun Puro, Desa Muara Siberut, Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (27/11) lalu.
Keanekaragaman hayati
Kepulauan Mentawai sangat kaya keanekaragaman hayati, daerah ini merupakan rumah dari rumah bagi 4 jenis mamalia endemik, 5 burung endemik, 7 reptil, dan 3 jenis pohon berstatus dilindungi. Bagi Kelak, kekayaan alam Mentawai bukan hanya sebagai sumber pangan, melainkan juga memegang peran sakral bagi masyarakat Mentawai.
Manajer Kampanye Bioenergi Tren Asia Amalya Reza menambahkan, klaim PLTBm sebagai salah satu cara melawan perubahan iklim adalah tidak benar. PLTBm tidak murni netral karbon karena dalam prosesnya menghasilkan hutang karbon dari deforestasi. Di beberapa negara, seperti Belanda dan Australia, biomassa kayu dari hutan primer sudah tidak lagi dianggap energi terbarukan.
”Ketika bersikeras membakar kayu untuk menghasilkan listrik, kita tidak hanya bicara soal emisi, tapi juga perampasan ruang, penyingkiran masyarakat adat, dan deforestasi yang akan menghilangkan fungsi-fungsi hutan,” kata Amalya.