Jerat ”Stunting” di Pelosok Mentawai
”Stunting” atau tengkes senantiasa mengintai anak-anak di pelosok Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kekurangan asupan nutrisi, pola asuh, hingga pernikahan dini turut andil terhadap kasus tengkes.
Stunting atau tengkes senantiasa mengintai anak-anak di pelosok Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kekurangan asupan nutrisi, pola asuh, hingga pernikahan dini turut andil terhadap kasus tengkes di samping determinan lainnya.
Wasnida Saogo (24) tengah membelah pinang di dapur suatu siang. Pekerjaan tersebut segera ia tinggalkan saat Riana (2 tahun 6 bulan), putrinya, terjaga. Anak bungsu dari lima bersaudara ini sebelumnya terlelap di ayunan kain di tengah rumah panggung berbahan kayu itu.
Riana duduk tenang dalam pangkuan ibunya di rumah mereka, Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai. Sisa-sisa kantuk masih tampak di wajahnya. Telunjuk kanannya masuk ke mulut seperti sedang menghisap dot, sedangkan tangan kirinya menggenggam jemari sang ibu.
Secara kasatmata, tak tampak masalah pada tubuh Riana. Namun, sesungguhnya pertumbuhan anak dari keluarga nelayan dan petani ini tak ideal seperti anak-anak lainnya. Pertambahan tinggi dan berat badannya mulai tersendat sejak usia 2 tahun.
”Berat badan Riana sudah tiga bulan ini tidak naik-naik. Padahal sudah dikasih makan tambahan. Saya cemas, tetapi tidak tahu harus bagaimana lagi,” kata Wasnida, yang pertama kali melahirkan anak pada usia 14 tahun ini, Sabtu (17/6/2023) siang.
Tenaga kesehatan Posyandu Keret Baga Dusun Sinaka mencatat, saat ini tinggi dan berat badan Riana hanya 73 sentimeter dan 8 kilogram. Padahal, berdasarkan kartu menuju sehat (KMS), idealnya anak seusia Riana tinggi dan berat badannya 81,5 cm dan 10 kg.
”Riana adalah satu dari tujuh anak yang mengalami stunting di Dusun Sinaka,” kata Eli Sofiana Samaloisa (27), tenaga kesehatan sukarela di Posyandu Keret Baga, Sabtu (17/6/2023). Adapun secara keseluruhan, Eli mencatat, ada 7 dari 19 anak usia 4 tahun ke bawah (36,84 persen) mengalami stunting di dusun ini.
Di dusun tetangga, Dusun Koritbuah, Desa Sinaka, tenaga kesehatan poskesdes setempat, Rahmat Ziki, mencatat, ada 3 dari 19 anak usia 5 tahun ke bawah mengalami tengkes.
Baca juga: Warga Adat Mentawai Minta Gubernur Perjuangkan Mentawai dalam UU Sumbar
Salah satu dari tiga anak itu adalah Redi, bocah 18 bulan atau 1,5 tahun. Menurut Rahmat, tinggi dan berat badan Redi saat ini 79 cm dan 10,2. Idealnya berdasarkan KMS tinggi dan berat badan anak seusia itu adalah 81 cm dan 10,5 kg.
Lastrina Saogo (25), ibu Redi, menjelaskan, pertumbuhan anak bungsu dari tiga bersaudara itu tersendat sejak beberapa bulan terakhir. Ketika dijumpai di poskesdes, Minggu (18/6/2023), Redi tampak lesu, tidak seperti bocah pada umumnya.
”Sebulan lebih tidak naik beratnya. Bulan-bulan sebelumnya pernah juga. Cemas juga saya. Sekarang Redi lagi demam dua hari ini dan agak susah makannya. Satu sendok saja nasi tidak habis,” katanya.
Tengkes merupakan gagal tumbuh kembang pada anak akibat kurang gizi kronis. Tanda-tanda tengkes bisa diketahui ketika anak memiliki tubuh lebih pendek dan berat badan lebih rendah dibandingkan anak seusianya. Pencegahan tengkes mesti dilakukan pada periode 1.000 hari pertama kehidupan anak atau dari hari pertama kehamilan sampai anak berusia 2 tahun.
Dalam jangka panjang, tengkes mengakibatkan penurunan kemampuan kognitif dan kekebalan tubuh serta meningkatkan risiko berbagai penyakit seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.
Desa Sinaka merupakan penyumbang terbanyak kasus tengkes di antara dua desa yang dinaungi oleh Puskesmas Bulasat di Kecamatan Pagai Selatan. Desa lainnya yang dinaungi puskesmas ini adalah Desa Bulasat. Kedua desa di Pulau Pagai Selatan ini merupakan desa paling ujung di bagian selatan Kepulauan Mentawai.
Kepala Puskesmas Bulasat Erika Rumahorbo, Rabu (21/6/2023), mengatakan, berdasarkan data mutakhir, Mei 2023, ada 45 anak usia 5 tahun ke bawah mengalami tengkes. Dari jumlah itu, 29 anak di Desa Sinaka dan 16 anak di Desa Bulasat. Kasus tertinggi di dua desa itu terdapat di Dusun Sinaka sebanyak 7 anak.
Dusun Sinaka berada di Pulau Simatapi, pulau kecil di bagian ujung sebelah timur Pulau Pagai Selatan. Akses keluar-masuk dusun ini hanya jalur laut dengan perahu motor. Waktu tempuh ke pusat desa di Dusun Matobat 1-1,5 jam, sedangkan ke Sikakap, pusat ekonomi di kawasan Pulau Pagai Utara-Selatan 4-5 jam.
Adapun hasil survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menyebutkan, Kepulauan Mentawai berada di peringkat kedua dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat dengan prevalensi tengkes tertinggi, yakni 32 persen. Kondisi ini meningkat dibandingkan survei tahun 2021, yakni posisi keenam dengan prevalensi 27,3 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Mentawai Desti Seminora, Senin (3/7/2023), mengatakan, berdasarkan data per Februari 2023, kasus tengkes di kabupaten ini mencapai 1.195 anak. Anak balita mengalami tengkes ini tersebar di 43 desa atau semua desa.
”Berdasarkan hasil penimbangan massal bulan Februari 2023, stunting tertinggi ada di Desa Betu Monga, Kecamatan Sipora Utara, 42,9 persen, sedangkan desa dengan stunting terendah ada di Desa Sipora Jaya, 5,8 persen,” kata Desti.
Merujuk peta sebaran balita tengkes Kepulauan Mentawai tahun 2023, Desa Sinaka hanya masuk prioritas II atau kategori sedang (prevalensi ≥14-16 persen). Prevalensi tengkes Desa Sinaka pada Februari lalu sama besar dengan target pemerintah kabupaten, 16 persen. Namun, jika dilihat lebih detail di tingkat dusun, ada Dusun Sinaka yang prevalensi tengkesnya tinggi, yaitu 36,84 persen (data Mei 2023).
Sejumlah faktor
Sejumlah faktor ditengarai menjadi penyebab anak balita mengalami tengkes di Desa Sinaka. Erika mengakui, kurangnya asupan nutrisi, kesalahan pola asuh, dan pernikahan dini berpengaruh terhadap tengkes di desa tersebut di samping determinan lainnya.
Baca juga: Ratusan Warga di Mentawai Tolak Pembukaan Lahan oleh Koperasi Minyak Atsiri
Saat ini, sumber karbohidrat masyarakat Desa Sinaka adalah nasi. Meskipun sebagian warga bersawah, hasilnya tidak cukup sehingga masih harus membeli beras dari luar. Adapun sumber protein utama desa nelayan ini adalah hasil perikanan tangkap. Hasil ternak biasanya hanya dikonsumsi saat hajatan atau hari raya.
Menurut Erika, tidak semua keluarga terpenuhi kebutuhan proteinnya. ”Di sini kalau musim ikan, baru ada ikan. Kalau tidak ada ikan, kadang hanya dengan air gula saja anak diberi makan,” katanya.
Keluarga Wasnida di Dusun Sinaka, misalnya, jarang mengonsumsi lauk meskipun suaminya, Rijal Saogo (33), adalah nelayan penangkap gurita. Semua gurita hasil tangkapan dijual ke pengepul yang juga pemodal. Uangnya dibelanjakan untuk keperluan sehari-hari, seperti beras, sabun, dan bumbu dapur. Komoditas itu relatif mahal bagi warga dusun ini karena didatangkan dari Padang melalui Sikakap.
”Dalam seminggu, kadang cuma sekali makan ikan. Kadang makan sayur saja setiap hari, tidak pakai lauk. Sayur pucuk ubi (daun singkong) dan kangkung,” ujar Wasnida, yang sehari-hari bekerja menggarap sawah dan ladang.
Wasnida dan kelima anaknya baru makan ikan jika suaminya memancing di sela-sela kesibukan menangkap gurita. Sementara itu, uang bantuan dari program Kartu Keluarga Sejahtera Rp 100.000 per bulan yang diterima setiap empat bulan hanya cukup untuk membeli beras.
Kekurangan asupan nutrisi anak-anak juga dipengaruhi salahnya pola asuh. Menurut Erika, pada umumnya, bayi usia tiga bulan di desa ini sudah ditinggalkan ibunya pergi ke sawah dan ladang. Bayi diasuh oleh kakak atau nenek. Akhirnya, cakupan air susu ibu (ASI) eksklusif yang mestinya diberikan pada usia 0-6 bulan sangat rendah.
Selain itu, umumnya ibu sudah menghentikan pemberian ASI lanjutan saat anak mencapai umur 1 tahun. Padahal, idealnya ASI lanjutan diberikan hingga usia 2 tahun. ”Redi usia 12 bulan sudah dihentikan menyusu. Saya harus ke sawah. Redi ditinggal sama neneknya. Kakak-kakaknya dulu juga begitu,” kata Lastrina.
Baca juga: Bertaruh Nyawa di Atas Sampan demi Sekolah
Pernikahan dini dapat pula berpengaruh pada kurangnya asupan nutrisi dan kesalahan pola asuh anak. Di Dusun Sinaka tidak sulit menjumpai ibu-ibu yang menikah atau melahirkan pada usia 14-16 tahun dan jarak kelahiran antar-anak yang sangat rapat.
”Secara biologis mungkin si ibu sudah matang, tetapi untuk psikis dan ekonominya kadang belum. Banyak faktor sebenarnya. Kadang dia belum siap untuk jadi ibu, makanya berpengaruh ke stunting,” ujar Erika.
Sementara itu, Desti menjelaskan, daerah pelosok merupakan penyumbang tingginya prevalensi kasus stunting di Kepulauan Mentawai. Penyebabnya adalah minimnya akses transportasi baik jalur darat maupun laut dan kemiskinan ekstrem.
”Angka kemiskinan ekstrem Mentawai tahun 2022 adalah 2,14 persen. Kemiskinan ini berpengaruh langsung terhadap ketahanan pangan keluarga yang juga akan memengaruhi ketersediaan pangan dan asupan makanan bergizi pada anak balita,” katanya.
Berdasarkan faktor determinan, kata Desti, penyebab tengkes di Kepulauan Mentawai, antara lain masih rendahnya jumlah balita terdaftar program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), minimnya akses sanitasi, seperti air bersih, jamban sehat, dan perumahan layak huni.
Selain itu, stunting disebabkan rendahnya pengetahuan orangtua/keluarga dan pola asuh keluarga. Masih tingginya keluarga yang merokok, penyakit penyerta, dan masih tingginya riwayat ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK).
”Untuk itu perlu penangan secara spesifik dan sensitif yang dilakukan secara bersama-sama dengan komitmen kuat,” kata Desti.
Penanggulangan
Desti menjelaskan, dinas terus berupaya menanggulangi kasus tengkes di kabupaten ini, antara lain melakukan intervensi terhadap remaja putri, calon pengantin, ibu hamil, hingga anak balita. Bentuknya beragam, seperti pencegahan anemia, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan, serta pemberian makanan tambahan.
Untuk anak balita, misalnya, tenaga kesehatan mendampingi para ibu agar memberi inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif, dan makanan pendamping ASI melalui pendampingan. Posyandu juga memantau tumbuh kembang anak. Jika ada yang bermasalah, anak balita dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit dan ditangani hingga kondisinya membaik.
Dinas secara bertahap, kata Desti, juga memenuhi sarana dan prasarana kesehatan serta obat, seperti pengadaan antropometri kit standar Kementerian Kesehatan dan penyediaan USG di Puskesmas.
”Selain intervensi gizi spesifik, dinas kesehatan juga berkoordinasi dengan lintas sektor, organisasi perangkat daerah (OPD) dan stakeholder terkait dalam penanganan stunting melalui intervensi gizi sensitif,” katanya.
Untuk optimalisasi penanganan stunting, kata Desti, dinas kesehatan juga melahirkan inovasi Mentawai Enchanting atau Mentawai Entaskan Anak Stunting dengan berbagai kegiatan, seperti kunjungan bidan desa ke enam rumah setiap hari dan layanan oleh puskesmas ke desa terpencil dengan tim medis lengkap dua kali sebulan.