UNESCO mencatat, dari seribu orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. Hal ini menandakan Indonesia darurat literasi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menilai rendahnya minat baca masyarakat Indonesia salah satunya disebabkan oleh minimnya anggaran yang ditujukan gerakan literasi nasional. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan anggaran lebih agar membaca menjadi hal yang membudaya di Tanah Air.
Hal ini terungkap dalam diskusi yang diikuti perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasiona/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Komisi X DPR di Jakarta, Sabtu (30/9/2023).
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih dalam diskusi tersebut mengungkapkan, anggaran lembaga Perpustakaan Nasional tidak pernah menyentuh Rp 1 triliun. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024, anggarannya hanya Rp 724 miliar.
Selain itu, anggaran untuk Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan serta Badan Bahasa hanya 0,72 persen dari total anggaran Kemendikbudristek yang sebesar Rp 97 triliun.
”Anggaran (literasi) sangat kecil, meskipun kami belum menjumlah semua. Jadi, wajar kalau dinilai oleh pihak lain seperti itu (minat baca Indonesia rendah). Kami mendesak pemerintah merespons kondisi darurat literasi ini,” kata Abdul.
Pihak lain yang dimaksud Abdul adalah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang menilai Indonesia merupakan negara terbawah kedua soal literasi. Minat baca warga Indonesia 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca.
Survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 juga menunjukkan, Indonesia berada pada urutan ke-62 dari 70 negara atau termasuk 10 negara terbawah dalam tingkat literasi rendah.
Namun, berdasarkan data Perpustakaan Nasional, ada peningkatan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia 7,4 persen, dari 59,52 poin pada 2021 menjadi 63,9 persen pada 2022. Meski belum naik signifikan, gerakan literasi harus terus digalakkan.
Abdul yang juga menjadi Ketua Panitia Kerja Peningkatan Literasi dan Tenaga Perpustakaan DPR ini turut menyoroti jumlah tenaga kepustakaan tidak sebanding dengan jumlah perpustakaan.
Sementara belum ada skema alokasi kebutuhan tenaga kepustakaan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bersama Badan Kepegawaian Negara.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek Endang Aminudin Aziz mengutarakan, pihaknya berusaha meningkatkan semangat literasi. Salah satunya dengan menyebarkan 15,4 juta buku untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) ke seluruh Indonesia.
”Ini memang belum ideal jika dibandingkan jumlah sekolah yang kita miliki, (buku yang disebar) ini baru sekitar 10 persen. Dengan anggaran tahun depan, mudah-mudahan tahun depan semua sekolah yang masuk kategori literasi level 1 dan 2 akan kebagian buku bacaan,” kata Endang.
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpustakaan Nasional Adin Bondar menambahkan, literasi rendah karena perpustakaan tidak menjadi tempat menarik bagi masyarakat. Oleh sebab itu, perpustakaan perlu berkreasi untuk menjadikan perpustakaan sebagai ruang publik, bahkan destinasi wisata bagi masyarakat.
Kami berharap ada satu payung hukum lebih kuat terkait literasi, semacam undang-undang literasi.
Hadirnya dunia digital, menurut Adin, tidak berpengaruh pada turunnya minat baca masyarakat. Sebab, masyarakat justru bisa memperkaya ilmu dari platform digital. Perpustakaan pun harus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
”Saat ini masih tinggi disparitas buku dengan masyarakat. Kami juga membangun platform digital, 12 juta buku digital yang bisa diakses masyarakat, perpustakaan desa, dan mobil perpustakaan keliling,” kata Adin.
Sementara itu, Asisten Deputi Literasi, Inovasi, dan Kreativitas Kementerian Koordinator Bidang PMK Molly Prabawati mengusulkan agar pemerintah dan DPR membuat undang-undang literasi yang mengikat 56 kementerian dan lembaga. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pengaturan anggaran dan koordinasi. Sebab, peningkatan literasi merupakan kewajiban semua instansi pemerintah.
”Sejak tahun 2021 kami sudah menyusun naskah akademik peta jalan kebudayaan literasi. Ini disusun sekitar 56 kementerian dan lembaga. Kami berharap ada satu payung hukum lebih kuat terkait literasi, semacam undang-undang literasi,” kata Molly.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Yon Mahmud, menambahkan, semua usulan dalam diskusi ini sangat membangun demi meningkatkan budaya literasi masyarakat Indonesia. Namun, diperlukan komitmen tinggi untuk merealisasikannya.