Buku cetak dan buku digital saling melengkapi. Keduanya berperan menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Digitalisasi menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari, termasuk bagi industri penerbitan buku. Kehadiran buku digital yang makin pesat menjadi tantangan sekaligus memperkuat buku cetak. Keduanya memiliki tujuan sama, yakni meningkatkan literasi masyarakat.
Pendiri aplikasi buku digital Lentera App, Annastasia Puspaningtyas, mengatakan, kekhawatiran akan matinya industri penerbitan akibat digitalisasi tak sepenuhnya terbukti. Industri penerbitan mesti beradaptasi dengan dunia digital agar tak termakan zaman.
”Semua industri bergerak menuju digital, tak mungkin kita begitu-begitu saja. Kita tidak bisa membatasi kemajuan teknologi, bukan berniat membunuh (buku cetak), tapi kita harus berkolaborasi,” kata Annastasia, di International Book Fair di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD, Tangerang, Rabu (27/9/2023).
Ada peningkatan kegemaran membaca masyarakat Indonesia sebesar 7,4 persen dari 59,52 poin pada 2021 menjadi 63,9 persen pada 2022. Meski belum naik signifikan, gerakan literasi harus terus digalakkan.
Maka dari itu, mereka meluncurkan aplikasi Lentera App, perpustakaan digital yang juga jadi pasar buku digital yang bisa diakses pelaku industri literasi, khususnya di Indonesia. Aplikasi ini memiliki tujuan sama dengan buku cetak, yakni mendongkrak minat baca masyarakat Indonesia.
Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), Indonesia merupakan negara terbawah kedua soal literasi. Minat baca warga Indonesia 0,001 persen, artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya satu orang yang rajin membaca.
Survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 juga menunjukkan, Indonesia berada di urutan ke-62 dari 70 negara, atau 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Namun, berdasarkan data Perpustakaan Nasional, ada peningkatan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia 7,4 persen dari 59,52 poin pada 2021 menjadi 63,9 persen pada 2022. Meski belum naik signifikan, gerakan literasi harus terus digalakkan.
”Esensi buku digital tetap sama, intinya saling memperkuat untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Sementara John H McGlynn, Direktur Penerbit Yayasan Lontar yang menaungi tiga penerbitan, menyebut, buku cetak merupakan warisan berharga yang melahirkan banyak generasi penikmat literasi, termasuk karya sastra di Indonesia.
Namun, perubahan zaman tak bisa dihindari. Kehadiran buku digital menjadi kemajuan menuju inklusi literasi lebih luas. ”Dengan adanya kolaborasi yang tepat, saya percaya seluruh ekosistem penerbit, terutama penerbit cetak, dapat bertahan,” kata John.
Annastasia menambahkan, buku digital pun memiliki keterbatasan. Selain paparan layar gawai yang berbahaya, infrastruktur jaringan internet di Indonesia belum merata. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah demi mendukung gerakan literasi.
Mulai membaca
Duta Baca Indonesia, Heri Hendrayana Harris atau lebih dikenal dengan nama pena Gol A Gong, membagikan kiat-kiat meningkatkan minat baca masyarakat. Bagi anak-anak atau pemula, bisa mulai membangun minat membaca dari bacaan terkait hal-hal yang disukai.
Membaca cerita pendek yang cepat dan ringan, terlebih lagi cerita pendek tentang kelokalan daerah sendiri bisa menumbuhkan minat baca. ”Baca buku yang kamu sukai dulu. Nanti kalau sudah dewasa atau terbiasa, membaca yang lebih luas,” tutur Gol A Gong.
Inisiator Komunitas Book Clan, Reynald, menambahkan, bagi anak-anak, lebih baik membaca buku fiksi ringan yang menggugah imajinasi, bukan langsung membaca buku yang tebal dan berisi demi eksistensi semata.
”Orang biasanya berlomba membaca buku genre yang makin sulit dianggap semakin keren dan itu terjadi di generasi sekarang. Kita tidak perlu seperti itu,” kata Reynald yang mulai suka membaca karena seri novel Twilight ini.