”Sharenting” Mengubah Pola Pengasuhan Anak
Banyak orangtua tak menyadari bahwa ”sharenting” bisa memengaruhi psikologis anak dan memaparkan anak pada bahaya.
Di era media sosial, banyak orangtua ingin membagikan perkembangan atau peristiwa istimewa anaknya melalui media sosial. Capaian, kesedihan, kemarahan, hingga lelucon anak semua ditontonkan untuk khalayak ramai yang umumnya tanpa persetujuan anak. Privasi, kesejahteraan, dan potensi eksploitasi anak di masa depan pun terabaikan.
Media sosial telah menjadi sarana untuk berinteraksi sosial secara digital. Karena itu, sharenting alias share parenting yang dilakukan orangtua membuat mereka bisa berbagi pengalaman dan senantiasa merasa terhubung dengan yang lain. Sharenting itu ditandai dengan menjadikan foto, video, serta informasi tentang anak-anaknya sebagai konten untuk diunggah di media sosial.
Kegiatan orangtua yang selalu ingin mengabadikan momen bersejarah dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya bukanlah hal baru. Di masa lalu, orangtua mengabadikannya dalam foto dan menyimpannya dalam album foto yang tersimpan rapi. Kini, album foto itu beralih ke digital melalui media sosial hingga siapa pun, kapan pun, dan dari mana pun bisa menyaksikan foto itu.
”Saat anak melakukan sesuatu yang murni dan polos, mereka secara intuitif sejatinya tengah mengekspresikan kebutuhan mereka atas rasa ingin tahu dan eksplorasi. Bagi orangtua, tentu sangat menyenangkan untuk menikmati kelucuan itu dan mengekspresikan kebangggaan mereka melalui perekaman dan berbagi momen tersebut (melalui media sosial),” kata psikolog klinis dan dosen di Universitas Teknologi Nanyang, Lin Hong-hui, seperti dikutip Channel News Asia, 6 Oktober 2022.
Harga diri itu dibangun di atas cinta dan penerimaan sebagai seorang anak. Titik.
Sebenarnya merekam aktivitas dan perkembangan anak serta mengunggahnya ke media sosial adalah sah-sah saja. Namun, minat dan perasaan positif orangtua tentang anaknya itu bisa ditangkap anak secara berbeda. Anak yang otak dan mentalnya sedang berkembang bisa menangkap pesan bahwa untuk mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtua, mereka harus bisa ”tampil” menyenangkan seperti yang dimaui orangtua.
Jika kesan yang ditangkap anak itu diinternalisasikan, mereka bisa menganggap bahwa cinta tanpa syarat orangtua pada anak itu palsu. Persepsi itu bisa memengaruhi harga diri anak dan perkembangan mereka ke depannya.
”Harga diri itu dibangun di atas cinta dan penerimaan sebagai seorang anak. Titik. Menjadi anak itu sudah baik dan definisi ’baik’ itu tidak hanya berlaku saat anak menunjukkan perilaku yang baik atau suasana hati yang positif,” tutur Lin. Jika perasaan positif orangtua terikat pada kondisi ”baik” versi mereka, maka anak bisa merasa diri mereka tidak cukup berharga.
Namun, seiring berkembangnya konten-konten di media sosial, foto atau video anak yang ditampilkan orangtua pun makin beragam. Jika semula video hanya merekam apa pun aktivitas anak, kini banyak orangtua yang ”mengeksploitasi” anak, meminta anak melakukan suatu hal yang menurut orangtua menarik atau berpotensi viral hingga video-video prank atau kejahilan yang sering kali membuat anak tertekan.
Saat anak tertekan, mereka membutuhkan dukungan emosional. Namun, saat orangtua yang mengambil video anak dan menyaksikan kesusahan anak itu tidak melakukan tindakan apa-apa untuk membantu anak, malah seperti menikmati kesusahan anak, di situlah kepercayaan anak terhadap orangtua mereka turun. Orangtua yang seharusnya menjadi figur aman nyatanya justru menjadi sumber ketakutan.
Baca juga: Figur Ibu sebagai Simbol Pemersatu Keluarga
Bukan hanya itu, saat orangtua tidak responsif ketika anaknya mengalami kesulitan, harga diri anak juga ikut turun. Saat anak bingung dan ketakutan akibat kejahilan atau prank yang dilakukan orangtua, tetapi orangtua justru mengabaikan atau salah membaca kebutuhan anak tersebut, maka akan muncul keraguan dalam benak anak: apa yang salah dengan diriku, kenapa ayah dan ibu tidak membantuku?
Sikap orangtua yang tidak bisa diprediksi itu akan menggoyahkan keyakinan anak akan rasa aman. Jika terus dibiarkan, kondisi itu bisa memengaruhi perkembangan anak di masa depan dalam membangun hubungan dan interaksi sosial dengan orang lain.
Karena itu, ”Jika anak jelas-jelas tidak bahagia atau malu, mereka membutuhkan orangtuanya untuk berhenti merekam dan mendengarkan mereka,” katanya. Di situasi seperti itulah orangtua seharusnya bisa membaca kondisi emosi anak dan memenuhi kebutuhan mereka sehingga rasa percaya diri anak tumbuh kembali.
Berbagi konten
Tindakan orangtua berbagi konten tentang anak-anak mereka di media sosial atau sharenting seperti sudah dilakukan oleh sebagian besar orangtua, khususnya orangtua yang memiliki akun media sosial. Apalagi, orangtua yang menjadi pemengaruh (influencer), mereka turut menjadikan anaknya sebagai materi konten karena memang mendatangkan pendapatan dari iklan atau sponsor.
Karena itu, banyak sedikitnya jumlah pengikut (follower) akun media sosial orangtua menjadi salah satu faktor yang mendorong orangtua mengunggah konten tentang anaknya. Demikian pula jumlah waktu yang dihabiskan di dunia maya serta perasaan takut ketinggalan alias fear of missing out (FOMO). Selain itu, orangtua yang memiliki gaya pengasuhan lebih permisif juga akan lebih mudah membagikan gambar, foto, dan video anak-anaknya di media sosial.
Sharenting di Indonesia, khususnya di Jakarta, banyak dilakukan ibu muda, baik yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga maupun ibu yang bekerja. Budaya baru ini tidak lepas dari tingginya penggunaan media sosial di Indonesia. Namun, banyak orangtua tidak memahami bahaya membagikan informasi tentang anak mereka di media sosial.
Media sosial sebenarnya memberi manfaat besar bagi orangtua, khususnya ibu. Mereka bisa mendapatkan informasi tentang pengasuhan berbasis bukti atau secara ilmiah, tidak terjebak dalam mitos-mitos pengasuhan yang diwariskan orangtua-orangtua mereka sebelumnya. Nyatanya, banyak orangtua juga memanfaatkan media sosial itu untuk berbagi foto dan video tentang anak-anak mereka.
Rizqi Fauziah dan rekan dalam Jurnal Psikologi Konseling, Juni 2021, menulis orangtua berbagi foto anak-anaknya karena ingin diakui dan lebih dikenal orang. Unggahan konten tentang anak nyatanya memang lebih mudah mendapatkan perhatian dan tanda suka (like) dari pengikut akun media sosial mereka. Perhatian dan tanda suka itu juga memberi orangtua rasa bangga dan syukur atas perkembangan anaknya.
Sharenting di media sosial juga memudahkan orangtua dalam membagikan informasi perkembangan anak kepada keluarga jauh atau teman-teman mereka. Selain itu, media sosial menjadi tempat yang mudah untuk menyimpan setiap kenangan pertumbuhan anak. Sebelum ada media sosial, saat telepon seluler hilang atau memorinya penuh, orangtua juga akan kehilangan momentum tumbuh kembang anaknya atau kehilangan kenangan yang telah mereka abadikan sebelumnya.
Baca juga: Pengasuhan Anak yang Efektif
Lebih jauh dari itu, studi mahasiswa program doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Rony Agustino Siahaan, seperti dikutip di Jurnal Komunikasi Indonesia, 31 Agustus 2023, dan situs UI, 21 Agustus 2023, menemukan ibu milenial memanfaatkan sharenting untuk merepresentasikan kembali identitas mereka sebagai ibu kontemporer tanpa meninggalkan pengasuhan terhadap anak.
Sharenting tidak hanya menunjukkan pengalaman menjadi orangtua, tetapi juga menunjukkan performa identitas ibu sebagai aktor penting dalam pengasuhan anak. Sharenting dilakukan ibu untuk mengimbangi struktur sosial masyarakat yang masih menempatkan perempuan dan anak di ruang domestik dan lebih membatasi ekspresi ibu.
Bahaya mengintai
Perilaku berbagi foto dan video anak ini telah menjadi fenomena global. Survei security.org, lembaga riset keamanan produk yang berbasis di Brooklyn, Amerika Serikat, pada 2021, menunjukkan 77 persen orangtua membagikan cerita, gambar, atau video anak-anak mereka secara daring. Hasil riset itu selaras dengan studi Nominet di Inggris tahun 2016 yang menunjukkan orangtua mengunggah rata-rata 1.498 foto anaknya sebelum mereka berumur 5 tahun.
Meski demikian, dalam pengunggahan konten itu, lebih dari 80 persen orangtua menggunakan nama asli anaknya. Hanya 24 persen orangtua yang selalu meminta izin anaknya sebelum mengunggah konten tentang mereka. Namun, masih ada 32 persen orangtua yang tetap mengunggah materi tersebut meskipun sang anak sudah tidak mengizinkannya.
Repotnya, 24 persen orangtua mengatur media sosial mereka agar bisa dilihat semua orang. Padahal, sebanyak 78 persen follower (pengikut) akun media sosial orangtua adalah orang yang tidak pernah ditemui atau dikenal oleh orangtua tersebut. Artinya, banyak orang yang sejatinya tidak dikenal justru bebas mengakses informasi tentang anak-anak mereka.
Situasi itu bisa menempatkan anak dalam kerentanan tinggi, terutama terkait privasi dan keamanan. Foto dan video anak yang tersebar dan bisa diakses siapa pun itu sangat mudah disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Identitas anak bisa digunakan untuk penipuan orang lain, sedangkan foto atau video anak bisa diakses oleh pedofil atau orang dewasa yang memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak sebelum pubertas.
Bank Barclays asal Inggris seperti dikutip dari artikel di Laboratorium Kesejahteraan Digital, Rumah Sakit Anak Boston, AS, 29 Maret 2023, memperkirakan ada 7,4 juta kasus penyalahgunaan identitas untuk penipuan per tahunnya. Sebagian kasus penipuan itu dikaitkan dengan kebiasaan sharenting orangtua. Sementara data penyelidikan eSafety di Australia menemukan hampir 50 persen foto-foto yang sering diakses penderita pedofilia itu berasal dari unggahan di media sosial dan blog.
Meski demikian, payung hukum untuk melindungi anak dari eksploitasi ”terselubung” orangtua itu masih lemah, termasuk di negara-negara maju. Situasi ini terjadi berbarengan dengan lemahnya literasi digital orangtua sehingga privasi dan kesejahteraan anak terancam.
Kesejahteraan anak
Seiring dengan berjalannya waktu, anak pun tumbuh besar. Saat menginjak usia remaja, anak mulai bisa menilai foto dan video mereka di masa kanak-kanak dulu. Bahkan, terkadang ada orang yang mengenali mereka sebagai sosok kecil yang pernah dilihat beberapa tahun sebelumnya. Situasi itu sering kali membuat remaja merasa malu dan khawatir dengan konsekuensi yang bakal mereka hadapi.
Namun, sikap remaja terhadap konten sharenting yang dilakukan orangtua mereka di masa lalu sangat dipengaruhi oleh perilaku mereka di dunia maya saat ini. Remaja akan lebih bisa menerima perilaku sharenting orangtuanya di masa lalu jika mereka juga aktif di media sosial, dilakukan untuk mengarsipkan tumbuh kembang mereka, hingga mengelola persepsi publik tentang diri sang anak.
Baca juga: Belajar Pengasuhan Anak di Ruang Virtual
Orangtua perlu mengingat adanya ”batasan” saat akan mengunggah konten anak-anak mereka. Orangtua berhak untuk tetap terhubung dengan teman atau kenalan mereka. Namun, upaya itu seharusnya dilakukan dengan tetap menghormati hak dan privasi anak serta mempertimbangkan risikonya di masa depan.
Karena itu, penting bagi orangtua untuk selalu menimbang kondisi psikologi anak saat mereka akan mengunggah foto, video, dan informasi tentang mereka, apalagi saat mengunggah konten kejahilan (prank) terhadap anak. Jangan lupa untuk selalu meminta izin terlebih dahulu kepada anak setiap akan mengunggah konten tersebut.
Upaya itu tidak hanya menjaga privasi, keamanan, dan psikologis anak, tetapi juga bisa membangun kepercayaan anak kepada orangtua. Perilaku itu juga akan menjadi teladan yang baik dari orangtua kepada anaknya tentang bagaimana menjadi warganet yang baik.