Mitos tentang sunat jin berkembang di masyarakat di beberapa daerah. Padahal, fenomena itu merupakan kondisi darurat medis.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·5 menit baca
Fenomena sunat jin menjadi perbincangan masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia. Kejadian ini terjadi saat alat kelamin anak berbentuk seperti sudah disunat meski belum melakukannya. Padahal, fenomena itu hanya mitos dan merupakan kelainan medis yang mesti segera ditangani dengan tepat.
Menurut dokter spesialis bedah urologi Rumah Sakit Umum Daerah dr Soegiri, Lamongan, Budi Himawan, dalam temu media secara daring yang diadakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Senin (25/9/2023), mitos sunat jin menimbulkan salah kaprah di masyarakat. Fenomena ini dikaitkan dengan hal-hal mistis.
”Kejadian ini dalam dunia medis disebut parafimosis, yakni kelainan pada penis yang mengakibatkan kulup penis tertarik ke belakang dan tidak bisa kembali ke posisi semula. Hal ini dapat terjadi pada penis yang belum disunat atau dilakukan tindakan sirkumsisi,” tuturnya.
Mitos tentang sunat jin juga berkembang pada kondisi medis lain, yakni hipospadia, kelainan genital bawaan sejak lahir akibat gagal tumbuh penis sehingga letak lubang kencing atau uretra bayi tak normal. Pada kondisi normal, uretra terletak di ujung penis, sedangkan uretra bayi dengan hipospadia ada di bagian bawah penis.
Hal ini mengakibatkan bayi dengan hipospadia mengalami gejala antara lain percikan urine tak normal saat buang air kecil, kulup hanya menutupi bagian atas kepala penis, dan bentuk penis melengkung ke bawah atau bengkok, serta terlihat seperti sudah disunat.
“Kelainan bawaan ini perlu koreksi melalui pembedahan khusus dengan pembuatan saluran uretra dan meluruskan penis pasien saat usia prasekolah. Tindakan ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas penis dan saat dewasa pasien bisa penetrasi serta ejakulasi ketika berhubungan intim,“ ungkap Budi.
Darurat medis
Sementara kejadian parafimosis umumnya terjadi di daerah terpencil, termasuk Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sebulan terakhir ada dua kasus parafimosis di daerah itu. Kasus serupa terjadi di daerah di mana tak ada tradisi sunat.
Secara epidemiologi, angka kasus parafimosis 0,2 persen dari populasi berusia empat bulan sampai 12 tahun yang tidak disunat. Bagi populasi berusia 16 tahun ke atas yang tidak disunat, angkanya meningkat menjadi 1 persen.
Kejadian ini dalam dunia medis disebut parafimosis, yakni kelainan pada penis yang mengakibatkan kulup penis tertarik ke belakang dan tidak bisa kembali ke posisi semula.
Budi menjelaskan, parafimosis merupakan kelainan genital yang terjadi akibat manipulasi preputium penis (kulup penis) yang diretraksi atau ditarik ke arah belakang leher kepala penis (sulcus coronarius glans) dan tidak bisa dikembalikan ke bentuk semula.
“Biasanya kondisi itu terjadi saat anak-anak bermain dengan penisnya lalu tidak sengaja membawa kulup ke arah belakang sampai tak bisa kembali sehingga seakan-akan sudah disunat. Akhirnya orangtuanya mengira kondisi itu merupakan sunat jin,” ujarnya.
Padahal, hal itu merupakan kondisi darurat medis. Karena ada jeratan di bagian belakang penis, maka terjadi peradangan hingga menjadi bengkak. “Pada tahap awal, kondisi itu bisa dikembalikan seperti semula. Namun, jika itu dibiarkan, maka bisa terjadi kerusakan penis,” kata Budi.
Sebagaimana dikutip dari Healthline.com, 11 Januari 2016, penyebab parafimosis antara lain infeksi, trauma fisik pada area genital, menarik kulup ke belakang terlalu kuat, dan memiliki kulup lebih ketat dari biasanya. Penyebab lain, kulup ditarik ke belakang untuk waktu lama dan prosedur medis seperti kateterisasi.
Adapun gejala utama parafimosis meliputi ketidakmampuan mengembalikan kulup ke posisi normal di atas ujung penis. Kulup dan ujung penis mengalami bengkak dan terasa nyeri. Ujung penis juga kemungkinan berwarna merah tua atau biru lantaran kurangnya aliran darah.
Pertolongan pertama
Perawatan parafimosis bervariasi, tergantung pada usia dan tingkat keparahan kondisi pasien. Langkah pertama mengobati parafimosis adalah mengurangi pembengkakan dengan cara mengoleskan es ke area genital, membalutkan perban di sekitar penis, serta menggunakan jarum untuk mengeluarkan nanah atau darah.
Dokter yang menangani kemungkinan juga menyuntikkan hyaluronidase, enzim yang membantu mengurangi pembengkakan, serta memuat sayatan kecil untuk kasus yang parah. Setelah pembengkakan berkurang, dokter akan mengembalikan kulup ke posisi semua setelah pasien diberikan obat pereda nyeri.
”Pertolongan pertama untuk pasien parafimosis yakni kompres dengan air dingin untuk mengurangi bengkak pada penis. Lalu pasien dianjurkan minum obat antinyeri yang aman bila tidak ada alergi atau kontraindikasi. Kemudian, segera bawa pasien ke fasilitas kesehatan terdekat,” kata Budi.
Jika tak ditangani dengan cepat, parafimosis dapat menyebabkan komplikasi serius karena aliran darah di penis berkurang sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini mengakibatkan infeksi parah, kerusakan pada ujung penis, dan gangren atau kematian jaringan yang menyebabkan hilangnya ujung penis.
Pada kasus parafimosis amat parah hingga terjadi nekrosis atau kerusakan kepala penis, pasien mesti disunat atau menjalani pengangkatan kulup. Tindakan ini sekaligus untuk mencegah kondisi tersebut terulang. ”Solusi terbaik adalah, jerat kulit kulup penisnya dipotong atau sunat,” ujarnya.
Salah satu upaya menjaga kebersihan dan keamanan penis ialah tindakan sunat. Bagi mereka yang belum sunat, untuk menghindari parafimosis, bersihkan penis secara teratur dengan sabun dan air mengalir. Selain itu, hindari zat-zat penyebab iritasi dan pakai pakaian yang tak terlalu ketat.
”Hindari retraksi yang lama pada kulup penis setelah berhubungan intim, setelah pembersihan atau setelah miksi, yang dapat menyebabkan nyeri dan bengkak pada penis. Setelah pemeriksaan medis pada kulup penis, sesegera mungkin untuk mengembalikan ke posisi semula,” ucap Budi.
Untuk mencegah komplikasi serius, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Moh Adib Khumaidi menyatakan, edukasi mengenai parafimosis dan hipospadia kepada warga perlu ditingkatkan. Hal itu juga untuk menghindari salah kaprah di masyarakat yang menganggap kondisi medis ini merupakan sunat jin.