Hipospadia, Kelainan Genital yang Jarang Diperhatikan
Posisi lubang kencing yang tidak berada di ujung penis sebenarnya relatif mudah ditemui. Namun, kelainan yang hanya terjadi pada anak laki-laki itu sering kali kurang teperhatikan.
Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa, Selasa (9/3/2021), mengumumkan prajuritnya yang juga mantan atlet voli putri nasional, Sersan Dua Aprilia Manganang (28), sejatinya adalah seorang laki-laki, tetapi dia mengalami hipospadia.
Di luar kasus Aprilia yang kini sedang dalam penanganan tim dokter Rumah Sakit Pusat TNI AD Gatot Soebroto, Jakarta, hipospadia sebenarnya adalah kelainan alat kelamin laki-laki yang cukup mudah ditemukan. Secara global, kasus ini ditemukan satu di antara 250-300 kelahiran hidup meski dengan tingkat kerumitan yang sangat beragam.
”Belum ada angka pasti hipospadia di Indonesia, tetapi diyakini tidak jauh dari angka global,” kata konsulen urologi yang juga dosen Departemen Urologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjadjaran-RS Hasan Sadikin Bandung, Bambang S Noegroho, Rabu (10/3/2021).
Hipospadia adalah kelainan bawaan lahir yang membuat lubang kencing laki-laki tidak berada di ujung depan penis, tetapi bisa berada di leher, batang, atau pangkal penis bagian bawah. Bahkan, lubang kencing itu juga bisa berada di kantong zakar.
Baca juga: Babak Baru Pencarian Jati Diri Aprilia Manganang
Kelainan ini umumnya disertai bentuk penis yang bengkok ke bawah, khususnya saat ereksi, akibat adanya jaringan ikat (chordee). Konsekuensinya, saat mereka kencing, air seninya tidak memancar ke depan, tetapi mengarah ke bawah.
Ciri lain hipospadia adalah penis bayi yang lahir dengan kepala penis sudah terbuka atau tidak memiliki kulup. Masyarakat awam menganggap bayi yang mengalami kondisi ini sudah disunat atau dikhitan oleh jin atau malaikat. Padahal, itu adalah kelainan genital.
Dokter spesialis urologi dan dosen FK Universitas Mataram-RS Umum Daerah Nusa Tenggara Barat, Akhada Maulana, mengatakan, dokter umum atau tenaga kesehatan yang membantu persalinan umumnya sudah dilatih mengenali hipospadia. Namun, pada kasus hipospadia berat atau disertai kelainan lain membuatnya sulit diidentifikasi, kecuali oleh urolog.
Satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan terhadap penderita hipospadia adalah melalui operasi yang disebut hypospadias repair.
Hipospadia akan menjadi rumit jika disertai dengan kelainan mikropenis alias penis yang kecil dan pendek hingga sering disangka klitoris yang ada pada alat kelamin perempuan. Belum lagi jika kantong zakarnya terbelah (bifid scrotum) dengan posisi lubang kencing berada di tengahnya, maka kantong zakar itu sering disangka labia mayora pada vagina.
”Terlebih lagi jika posisi testis pada bayi yang mengalami hipospadia itu tidak berada di kantong zakar atau menggantung, tetapi masuk ke dalam perut atau di lipatan paha,” ucapnya.
Pengecekan
Dalam kasus hipospadia berat dengan mikropenis dan kantong zakar terbelah, maka kesalahan identifikasi kelamin bayi lebih mudah terjadi. Kesalahan penentuan jenis kelamin anak itu bisa memengaruhi psikologis dan perkembangan anak, terutama jika tetap tidak terdeteksi hingga mereka dewasa.
Karena itu, orangtua perlu memperhatikan perkembangan proses reproduksi anak. Jika saat menginjak usia akhir remaja seorang anak laki-laki belum bermimpi basah atau anak perempuan belum mengalami menstruasi, orangtua perlu memeriksakan anak ke dokter guna memeriksakan kesehatan organ reproduksinya.
Jika anak remaja tersebut juga tidak menunjukkan tanda-tanda alat kelamin sekunder, seperti pembentukan jakun pada laki-laki atau membesarnya payudara pada perempuan, pengecekan kelamin mungkin perlu dilakukan. ”Fenotipe (tampilan luar) yang menentukan jenis kelamin seseorang akan terkait dengan genotipe (kondisi genetik) seseorang,” kata Bambang.
Karena itu, penentuan jenis kelamin yang sulit dilakukan berdasarkan tampilan alat kelamin luarnya, yaitu penis dan kantong zakar pada laki-laki dan vagina pada perempuan, maka bisa dilakukan dengan sejumlah pengecekan dalam tubuh mereka.
Dengan ultrasonografi (USG), kondisi alat kelamin dalam seseorang bisa dilihat, yaitu zakar pada laki-laki serta indung telur dan rahim pada perempuan. Penentuan laki-laki dan perempuan juga bisa dicek melalui pemeriksaan hormon, yaitu hormon testosteron dominan pada laki-laki, sedangkan pada perempuan adalah hormon estrogen.
”Hipospadia hanya terjadi pada laki-laki. Karena itu, meski kasusnya berat, hormonnya tetap laki-laki,” kata Akhada.
Selain itu, lanjut Bambang, pemeriksaan kromosom juga bisa digunakan untuk menentukan jenis kelamin. Kromosom laki-laki adalah XY dan kromosom perempuan adalah XX. Berbagai pemeriksaan itu seharusnya bisa membuat penentuan jenis kelamin seseorang bisa dilakukan sejak dini, tidak perlu menunggu dewasa.
Baca juga: Kekuatan Genetika Perempuan
Studi Bambang dan rekan yang dipublikasikan di Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Padjadjaran, Mei 2018, menunjukkan, pasien hipospadia di RS Hasan Sadikin pada 2015-2018 rata-rata diketahui pada umur 8,5 tahun. Hasil ini tidak beda jauh dengan data global, yaitu pasien hipospadia rata-rata terdeteksi umur 9 tahun.
Meski rata-rata kelainan ini terdeteksi saat usia anak, hipospadia sejatinya sudah terjadi ketika proses perkembangan saluran kemih berlangsung saat janin berumur 7-16 minggu. Pembentukan kelamin bayi laki-laki yang tidak sempurna itu bisa dipicu persoalan genetik akibat ibu hamil mengonsumsi makanan, obat-obatan, atau jamu yang bersifat toksik hingga ibu hamil kekurangan gizi.
”Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon progesteron dan estrogen serta obat antikejang berlebih selama trimester pertama kehamilan juga berpengaruh,” ujar Akhada.
Paparan kimiawi lingkungan juga meningkatkan risiko melahirkan anak dengan hipospadia. Pestisida yang tertinggal pada buah dan sayur yang dikonsumsi ibu hamil di trimester pertama akan meningkatkan hormon estrogen hingga menaikkan risiko hipospadia. Jika ayah bayi juga pernah hipospadia, risiko hipospadia bayi bertambah.
F Jerry Tangkudung dan rekan di jurnal Sari Pediatri, Februari 2016, menyebut hipospadia sering dikaitkan dengan berat lahir bayi yang rendah, bayi prematur, hingga adanya riwayat hipertensi pada ibu. Kondisi itu mengganggu fungsi plasenta hingga memengaruhi pengaturan hormon dan penyediaan nutrisi pada janin yang mengakibatkan pembentukan saluran kencing terganggu.
Ibu hamil yang tengah menjalani diet vegetarian juga memiliki risiko empat kali lebih besar melahirkan anak dengan hipospadia. Selain itu, studi di RS dr Sardjito Yogyakarta pada 2008-2013 menemukan ibu yang hamil di atas usia 35 tahun berisiko 4,17 kali lebih besar melahirkan anak laki-laki dengan hipospadia dibandingkan dengan yang melahirkan di bawah 35 tahun.
Bambang menambahkan, kelainan ini sebenarnya bisa dideteksi sejak bayi dalam kandungan dengan syarat usia janin sudah lebih dari delapan minggu. Namun, tidak ada intervensi yang dilakukan saat itu ataupun ketika bayi sudah lahir. Selain bukan masalah kegawatdaruratan, ukuran penis bayi saat lahir masih sangat kecil hingga menyulitkan penanganan.
”Tindakan biasanya baru dilakukan sebelum anak masuk usia sekolah sehingga anak tidak malu saat kencing berdiri bersama teman-temannya dan tidak mengalami perundungan,” katanya.
Perbaikan
Satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan terhadap penderita hipospadia adalah melalui operasi yang disebut hypospadias repair. Menurut Bambang, proses ini biasanya memerluka dua kali operasi, yaitu kordektomi atau meluruskan penis yang bengkok dan uretroplasti atau membetulkan posisi lubang kencingnya agar berada di ujung depan kepala penis.
Proses meluruskan penis itu lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan membuat saluran kencing ke ujung depan kepala penis. Pelurusan penis biasanya dilakukan dengan memperbaiki jaringan ikat (chordee) yang memicu pelengkungan penis. Sedangkan pembuatan saluran uretra dilakukan dengan memanfaatkan kulit penis sehingga penderita hipospadia tidak boleh disunat dulu.
Baca juga: Kenali Kesehatan Reproduksi sejak Dini
”Makin dewasa pasien hipospadia dioperasi, risiko kegagalan memindahkan lubang kencing ke ujung depan penis makin besar,” katanya. Risiko kegagalan itu bersumber dari potensi kebocoran yang makin besar, khususnya di antara saluran yang dibuat dengan lubang kencing asli.
Untuk kasus hipospadia berat, proses operasi bisa berlangsung hingga beberapa kali. Makin sering dioperasi, risikonya pun makin besar.
Proses koreksi hipospadia ini harus dilakukan. Jika tidak, tambah Akhada, penderitanya tidak hanya akan kesulitan kencing, tapi juga sulit berhubungan suami istri. Penis yang melengkung ke bawah membuatnya sulit melakukan penetrasi ke dalam vagina. Selain itu, sperma juga tidak bisa dipancarkan lurus ke vagina dan rahim hingga akan sulit mendapat keturunan.
Tindakan untuk mengatasi hipospadia ini, lanjut Bambang, bisa dilakukan oleh tiga disiplin ilmu kedokteran, yaitu bedah plastik, bedah anak, dan urologi. Namun, untuk kasus hipospadia berat umumnya ditangani dokter spesialis urologi.
Dengan banyaknya rumah sakit yang memiliki ahli dalam ketiga bidang tersebut, maka penanganan hipospadia seharusnya bisa dilakukan di sejumlah daerah. Meski demikian, untuk kasus-kasus yang berat memang membutuhkan keterampilan khusus yang belum semua rumah sakit mampu melakukannya.