Layanan pengobatan diabetes melitus masih berjalan secara sporadis. Untuk itu, koordinasi dan sinkronisasi program perlu diperkuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kasus diabetes melitus di masyarakat semakin tinggi. Jika tidak ada upaya pengendalian yang baik, kondisi tersebut dapat menjadi ancaman kesehatan yang serius. Sebab, diabetes melitus merupakan faktor risiko berbagai penyakit yang membahayakan keselamatan jiwa, seperti penyakit jantung dan stroke.
Berbagai intervensi sudah dilakukan melalui berbagai program lintas sektor dan lintas lembaga. Namun, intervensi yang dijalankan masih belum terkoordinasi dengan baik sehingga hasil yang diperoleh kurang efektif. Oleh karena itu, selain memperkuat partisipasi publik, penguatan koordinasi juga dibutuhkan dalam upaya pengendalian diabetes melitus.
”Selama ini tidak ada pembiaran dalam penanganan diabetes melitus,” ucap Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro dalam Forum Nasional XIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diikuti dari Jakarta, Senin (25/9/2023).
Namun, upaya penanganan seperti berjalan sendiri-sendiri sehingga terjadi fragmentasi. ”Karena itu, perlu ada koordinasi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan untuk menghasilkan dampak terbaik,” tuturnya.
Laksono yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Kesehatan menyampaikan, penanganan diabetes melitus perlu menjadi perhatian bersama lantaran angka diabetes terus meningkat. Gaya hidup masyarakat kini lebih berisiko menyebabkan diabetes melitus. Beban biaya kesehatan untuk penanganan diabetes pun semakin besar.
Merujuk pada data Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, setidaknya ada 7,8 juta kasus diabetes melitus pada periode Januari-Juli 2023 dengan total biaya mencapai lebih dari Rp 4,6 triliun. Data rata-rata pasien baru yang terdiagnosis diabetes melitus sebanyak 12.364 kasus dan 92.207 kasus diabetes melitus dengan komplikasi setiap bulan.
Gerakan sosial
Laksono menyampaikan, sinkronisasi dan koordinasi dalam penanganan diabetes melitus dapat dilakukan dengan pendekatan transformasi kesehatan yang telah diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan. Pada tahap awal, peran berbagai pemangku kepentingan dapat dipetakan terlebih dulu untuk akhirnya bisa disinkronisasikan menjadi gerakan sosial.
Selama ini tidak ada pembiaran dalam penanganan diabetes melitus. Namun, upaya penanganan seperti berjalan sendiri-sendiri sehingga terjadi fragmentasi.
Setidaknya ada tiga kelompok sasaran yang berbeda dalam penanganan diabetes melitus, yakni kelompok populasi sehat, pasien prediabetes, dan pasien diabetes. Pada populasi sehat, intervensi yang dilakukan lebih banyak terkait dengan edukasi tanda dan bahaya diabetes melitus, edukasi faktor risiko diabetes, penapisan kesehatan, surveilans, dan pemantauan kesehatan masyarakat.
Pada kelompok pasien prediabetes, intervensi berupa penapisan faktor risiko diabetes melitus, layanan perawatan pasien, deteksi dini dan tindak lanjut faktor risiko diabetes melitus, tes laboratorium, serta layanan rujuk balik. Intervensi berbeda dilakukan pada pasien diabetes, antara lain deteksi dini dan tindak lanjut faktor risiko diabetes melitus, penatalaksanaan kasus diabetes secara rasional, serta layanan spesialistik pasien diabetes melitus.
Laksono mengutarakan, program penguatan koordinasi dan sinkronisasi multipihak dalam penanganan diabetes melitus melalui pendekatan tersebut kini dikembangkan di Kota Balikpapan yang akan menjadi kota penyangga ibu kota negara baru. ”Kegiatan ini diharapkan jadi gerakan sosial untuk pencegahan dan pengendalian DM (diabetes melitus) di Kota Balikpapan,” ujarnya.
Menurut dia, upaya penguatan melalui gerakan sosial ini sejalan dengan kebijakan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pada kebijakan itu termuat pasal yang terkait dengan fungsi koordinasi dan sinkronisasi di sektor kesehatan serta penguatan partisipasi masyarakat dalam percepatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, termasuk penurunan angka diabetes melitus.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan Andi Sri Juliarty, penguatan sinkronisasi dan koordinasi dalam penanganan diabetes melitus telah menunjukkan hasil baik. Capaian standar pelayanan minimum untuk penanganan diabetes melitus mengalami peningkatan di Kota Balikpapan.
Akan tetapi, sejumlah kendala masih ditemui. Saat ini, kesenjangan antara jumlah penderita diabetes dan layanan yang didapatkan oleh pasien cukup besar. Pada 2021, total penderita diabetes melitus di Balikpapan tercatat 17.103 orang, sedangkan jumlah pasien yang mendapatkan layanan baru 9.633 orang.
”Tantangan lain untuk penanganan pasien prediabetes. Dari 196.498 orang yang diperiksa, ada tiga persen yang masuk pada kelompok prediabetes. Sementara kelompok prediabetes ini pengobatannya belum masuk mekanisme pembiayaan BPJS Kesehatan,” ujar Sri.
Deputi Direksi Bidang Kebijakan Penjaminan Manfaat BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani menyampaikan, sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Kesehatan, layanan yang diberikan dalam manfaat jaminan kesehatan tidak lagi berfokus pada layanan kuratif. Manfaat jaminan kesehatan diberikan secara komprehensif, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Layanan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tidak hanya dapat diakses oleh peserta JKN-KIS yang sakit, tetapi juga peserta berisiko dan peserta sehat. Layanan tersebut termasuk penapisan riwayat kesehatan, pengingat tindak lanjut hasil skrining atau penapisan, serta program pengelolaan bagi pasien dengan penyakit kronis (prolanis).
”Pelayanan promotif dan preventif dalam program JKN merupakan upaya kesehatan perorangan yang diberikan melalui FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama) bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” tutur Ari.