Mayoritas masyarakat menginginkan seni tradisi yang masih ada, dipertahankan. Namun, upaya untuk mempertahankan seni tradisi memang tidak mudah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, STEPHANUS ARANDITIO, NAWA TUNGGAL, VINCENTIUS GITIYARKO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seni tradisi patut diperjuangkan karena menyimpan memori kolektif masyarakat tentang pengetahuan dan nilai. Tetapi perlu usaha bersama untuk mempertahankan seni tradisi yang selama beberapa tahun terakhir mengalami kemunduran di berbagai daerah.
Jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 18—20 September 2023 menemukan, 97,3 persen responden menilai, seni tradisi perlu dilestarikan. Sebanyak 98,5 persen responden juga mengakui pentingnya peran seniman tradisi dalam menjaga kelestarian budaya. Bahkan, sebanyak 43,9 persen dari angka tersebut menekankan sangat pentingnya peran seniman.
Persepsi ini tidak hanya berlaku bagi responden yang tinggal di wilayah perdesaan yang cenderung lebih dekat dengan kebudayaan lokal, tetapi juga bagi responden di perkotaan. Tak kurang dari 98,8 persen responden perkotaan sepakat dengan hal ini, dengan 37,4 persen responden yang memberikan penilaian sangat penting.
Kendati perannya dipandang penting, tak dapat dimungkiri bahwa posisi seniman tradisi cenderung terpinggirkan. Sejumlah seniman tradisi yang ditemui Kompas, mayoritas mengeluhkan semakin minimnya undangan untuk tampil. Akibatnya, seniman tradisi tidak memiliki pemasukan yang memadai. Untuk menyambung hidup, sebagian terpaksa bekerja serabutan di bidang lain sebagai petani, nelayan, pengemudi ojek, hingga tukang pijat.
Fenomena itu juga tecermin dalam jajak pendapat yang sama. Sebanyak 72,7 persen responden menyatakan, acara seni tradisi di wilayahnya hanya kadang-kadang saja dilakukan, yakni antara sebulan atau dua bulan sekali. Bahkan, ada 6,5 persen responden yang mengatakan, tidak pernah lagi ada acara seni tradisi di wilayahnya. Hanya 17,9 persen saja responden yang menyatakan sering ada acara seni tradisi di tempatnya tinggal, yaitu lebih dari sekali sebulan.
Minimnya kesempatan untuk tampil dan kurangnya dukungan pada seniman tradisi, membuat anak muda enggan terjun dalam seni tradisi.
Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia MPSS, Sabtu (23/9/2023), mencontohkan, di salah satu kampung di Kelurahan Tana Beru, Sulawesi Selatan, warga berusia di bawah 45 tahun yang mau mewarisi keahlian membuat kapal pinisi, hampir tidak ada. Pinisi adalah perahu tradisional orang Bugis-Makassar yang digunakan sejak ratusan tahun lalu.
Kondisi seperti ini juga dialami oleh seni tradisi di daerah lain. Akibatnya, proses regenerasi seniman tradisi terhambat bahkan gagal.
Upaya pemerintah
Usaha untuk mempertahankan dan merawat seni tradisi di Nusantara bukannya tidak ada. Pemerintah, misalnya, telah mengupayakannya mulai dari pembinaan hingga menyediakan panggung untuk membangun ekosistem seni tradisi antara lain lewat program Dana Indonesiana. Ini semacam bantuan pemerintah yang ditujukan kepada para pelaku budaya melalui pemanfaatan Dana Abadi Kebudayaan.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Restu Gunawan mengatakan, Dana Indonesiana tidak hanya diperuntukkan bagi kegiatan budaya dan komunitas budaya, tetapi juga untuk kegiatan yang telah lama terhenti atau tertunda dan dapat diaktifkan kembali.
"Lewat Dana Indonesiana ini bukan pemerintah yang membuat acara, tetapi ide dan gagasannya berasal dari komunitas, mereka yang membuat rencananya, kami yang memfasilitasi sesuai kemampuan lewat dana abadi kebudayaan," kata Restu di Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Pemerintah juga menggelar Pekan Kebudayaan Nasional yang tahun ini melibatkan 600-an seniman. Selain itu, di tingkat daerah, pemerintah daerah sering mengundang pelaku seni tradisi untuk tampil pada acara-acara pemerintahan. Meski begitu, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengakui, upaya itu tentu belum bisa menahan berkurangnya seni tradisi.
Menurut Hilmar, perubahan sosial yang begitu cepat sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup seni tradisi. Ketika zaman berubah, ikatan sosial masyarakat turut berubah dan merenggang. Ritual dan praktik kolektif masyarakat pun meredup, termasuk praktik seni tradisi. Pada saat yang sama, kebudayaan dominan turut menggeser seni tradisi.
“Tapi, bukan berarti bahwa tradisi itu sendiri punah. Ada banyak yang mengalami perubahan bentuk, pembaruan, dan seterusnya,” kata Hilmar.