Komitmen dan Kerja Sama Global Perkuat Penanganan Tuberkulosis
Penanganan TBC harus melibatkan komitmen dari berbagai pihak, termasuk di tingkat global. Salah satu upaya pertama yang perlu dilakukan bersama oleh pihak global yaitu memutus siklus TBC dan kemiskinan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Tuberkulosis (TBC) merupakan isu kesehatan yang menjadi prioritas penanganan negara-negara di dunia. Penyakit menular yang telah merenggut jutaan orang setiap tahunnya di seluruh dunia ini juga menjadi salah satu isu kesehatan prioritas yang dibahas dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNGA ke-78 di New York, Amerika Serikat.
Penanganan ini perlu menjadi prioritas karena berdasarkan Laporan TBC Global 2022, TBC telah menjadi penyakit menular paling mematikan urutan kedua setelah Covid-19. Tercatat sepanjang 2021, sebanyak 1,6 juta orang meninggal akibat TBC. Angka ini naik dari tahun sebelumnya dengan angka kematian saat itu mencapai1,3 juta orang.
Kondisi dan komitmen untuk mengakhiri TBC juga dibahas dalam acara sampingan bertajuk ”Berinvestasi dengan Benar, Berinvestasilah Sekarang untuk Mengakhiri Tuberkulosis” yang diselenggarakan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Polandia bekerja sama dengan Stop TB Partnership dan Stop TB Partnership Indonesia (STPI). Acara tersebut diselenggarakan di sela-sela Pertemuan Tingkat Tinggi Tuberkulosis (HLM TB), Kamis (21/9/2023) waktu AS.
Saat memberikan sambutan dalam acara tersebut, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut bahwa Indonesia sangat peduli dan fokus terhadap isu kesehatan khususnya TBC. Sebab, terdapat keterkaitan yang sangat erat antara kesehatan dan kebijakan luar negeri.
”TBC masih merupakan penyakit yang berbahaya dan mendesak untuk ditangani di masyarakat. TBC menciptakan dampak yang sistemik pada masyarakat dan merusak stigma sosial yang menghambat kesempatan serta mengancam keutuhan keluarga,” ujarnya.
Menurut Retno, TBC telah mewakili ketidaksetaraan global yang semakin meningkat di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penting bagi setiap negara untuk menyerukan isu ketidakkesetaraan akibat TBC ini terutama dalam agenda konferensi tingkat tinggi.
Salah satu upaya pertama yang perlu dilakukan bersama oleh pihak global yaitu memutus siklus TBC dan kemiskinan. Sebab, TBC dan kemiskinan akan menciptakan lingkaran setan atau sebuah kondisi yang semakin menjatuhkan kesejahteraan masyarakat.
”Kemiskinan adalah tempat berkembangbiaknya TBC. Masyarakat yang terkena TBC akan jatuh lebih dalam lagi dalam kemiskinan. Mengakhiri TBC adalah sebuah investasi bagi pembangunan karena seseorang yang telah sembuh dapat memperoleh kembali setengah dari pendapatan mereka,” tuturnya.
Investasidalam mengatasi TBCbukan hanya terkait denganuangatau pendanaan.Namun, investasi untuk masa depan juga harus mengedepankan suara masyarakat khususnya kelompok yangterkena TBC.
Dengan kondisi tersebut, semua pihak harus membantu masyarakat yang rentan untuk keluar dari siklus ini dengan meningkatkan ketahanan dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Di sisi lain, perlu juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan dan berinvestasi dalam terobosan-terobosan seperti vaksin TBC.
”Terobosan pengembangan vaksin TBC harus menjadi tujuan kita bersama. Sebuah studi terbaru dari Harvard University menyebutkan bahwa vaksin TBC yang efektif di negara berpendapatan rendah dan menengah dapat berpotensi memberikan manfaat kesehatan sekaligus meningkatkan ekonomi hingga miliaran dollar,” ujarnya.
Director of WHO Global TB Programme Tereza Kasaeva mengatakan, WHO memiliki semua sumber daya yang bisa digunakan dalam menanggulangi TBC seperti alat diagnosis dan vaksin. Namun, semua sumber daya ini tidaklah cukup dan memerlukan lebih banyak kerja sama serta pihak-pihak baru yang bisa mendukung percepatan penanggulangan TBC.
”Bersama para menteri negara-negara di dunia, kami telah meluncurkan Dewan Akselerator Vaksin TBC. Komitmen mengatasi TBC tidak hanya datang dari negara anggota, tetapi juga bank atau investor dan pihak lain di luar sektor kesehatan. Keterlibatan berbagai pihak ni membawa harapan dan harus didukung dengan kemauan politik yang kuat,” ujarnya.
Upaya deteksi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan saat ini kasus TBC di Indonesia mencapai 845.000 orang dan akan meningkat menjadi 969.000 orang. Namun, kasus TBC yang terdeteksi dan tercatat di Indonesia baru sekitar 560.000 orang.
”Setelah sepuluh tahun kontribusi dari dana global, kami hanya mendeteksi 560.00 kasus dari perkiraan 969.000 kasus. Jadi, 400.000 kasus lainnya mereka masih menyebarkan virus di setiap daerah di Indonesia. Oleh karena itu, kami mulai berhenti berdiskusi dan terus memacu deteksi hingga akhirnya dapat mendeteksi menjadi 724.000 kasus,” tuturnya.
Budi menekankan, eksekusi merupakan aspek terpenting dalam setiap program pengendalian dan penanganan penyakit khususnya TBC. Salah satu upaya tersebut yakni vaksinasi TBC melalui penguatan kerja sama dengan berbagai pihak yang mengembangkan vaksin dari berbagai jenis seperti viral vektor, bakteri atau virus, dan mRNA.
Wakil Ketua Dewan Global FundBience Gawanas mengatakan, investasi dalam mengatasi TBC bukan hanya terkait dengan uang atau pendanaan. Namun, investasi untuk masa depan juga harus mengedepankan suara masyarakat khususnya kelompok yang terkena TBC.
”Mereka merupakan manusia yang mempunyai hak yang sama seperti kita semua. Mereka juga menghadapi hambatan dalam mengakses layanan kesehatan sehingga perlu investasi lebih banyak untuk penanggulangan TBC akan menyelamatkan jutaan nyawa, termasuk anak-anak,” katanya.