Seni tradisi bisa tetap hidup di masyarakat jika ada yang mewarisinya. Agar pewarisan berjalan, seni tradisi perlu didekatkan ke generasi masa kini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pewarisan penting agar seni tradisi tetap bertahan atau bahkan berkembang di masyarakat. Namun, pewarisan terkendala karena sebagian orang tak tertarik pada seni tradisi. Padahal, seni tradisi berisi pengetahuan, identitas, serta memori kolektif masyarakat.
”Transmisi (pengetahuan) dari maestro ke para pewaris penting. Tapi, yang sekarang terjadi adalah pewarisan terkendala karena belum tentu anaknya mau (belajar seni tradisi),” kata Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia MPSS, Sabtu (23/9/2023).
Ia mencontohkan bahwa salah satu kampung di Kelurahan Tana Beru, Sulawesi Selatan, krisis anak muda berusia di bawah 45 tahun yang mau mewarisi keahlian membuat pinisi. Sebagian orang tidak mengkhawatirkan isu ini. Sebab, anak-anak muda di kampung sebelah tetap mewarisi pengetahuan pembuatan pinisi.
Pinisi adalah perahu tradisional orang Bugis-Makassar yang digunakan sejak ratusan tahun lalu. Pinisi dibuat dengan teknik tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Adapun seni pembuatan pinisi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2017.
Pinisi tidak hanya bernilai budaya. Kapal tersebut juga menyimpan pengetahuan warisan nenek moyang serta identitas dan memori kolektif sebagai masyarakat pelayaran. Jika pewarisan terputus, putus pula ilmu pembuatan pinisi. Masyarakat juga rentan kehilangan identitas dan memori kolektifnya.
Di sisi lain, generasi muda enggan mewarisi seni tradisi, misalnya tradisi lisan, karena dianggap tak bernilai ekonomis. Generasi muda melihat orangtuanya sulit memenuhi kebutuhan hidup hanya dengan menjalani tradisi lisan, misalnya lewat pertunjukan seni. Kondisi ini diperparah pandemi Covid-19. Sebab, berbagai pertunjukan ditunda atau dibatalkan saat pandemi (Kompas.id, 12/6/2023).
Pudentia mengatakan, jika pewarisan seni tradisi hilang, yang akan terjadi selanjutnya adalah bencana kebudayaan. Bencana kebudayaan dimaknai sebagai kondisi ketika orang Indonesia tak lagi sadar pada etika dan karakter kemanusiaan yang luhur.
Menurut dia, Indonesia sedang mengalami bencana kebudayaan, tetapi hal ini jarang disadari masyarakat. Memaki orang lain merupakan salah satu bentuk bencana kebudayaan.
”Yang akan terjadi selanjutnya adalah bencana kemanusiaan. Akan terjadi perkelahian dan perang. Itu karena budaya tak lagi dihidupi oleh anak-anak kita,” ucap Pudentia. ”Bencana budaya itu adalah akar dari bencana-bencana lain, termasuk bencana lingkungan. Tradisi kita mengajarkan masyarakat untuk menjaga hutan, sungai, dan alam,” paparnya.
Bencana budaya itu adalah akar dari bencana-bencana lain, termasuk bencana lingkungan.
Sejumlah komunitas lantas berupaya agar seni tradisi dan kebudayaan tak dilupakan masyarakat. komunitas Gemulun Indonesia yang berbasis di Jambi, misalnya, membuat program Bioskop Rakyat untuk mengenalkan kebudayaan lewat film yang ditonton bersama di layar tancap. Mereka menayangkan film soal kebudayaan lokal, seperti Menjaga Sungai Batanghari Lestarikan Budaya Jambi dan Tradisi Tadung.
Mereka juga menayangkan Tapa Malenggang yang diadopsi dari tradisi lisan masyarakat Kabupaten Batanghari. Menurut Ketua Komunitas Gemulun Indonesia Sean Popo Hardi, Tapa Malenggang adalah tradisi populer, tapi banyak masyarakat yang tak paham seluk-beluknya. Ia berharap film jadi media edukasi budaya dan seni tradisi ke masyarakat, khususnya generasi muda (Kompas.id, 29/3/20230).
Di sisi lain, sebagian seni tradisi diyakini mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan akan selalu terbarukan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mencontohkan, pertunjukan seni ludruk, ketoprak, atau wayang kulit di Jawa mulai berinovasi dengan menggunakan teknologi audio.
Walau demikian, tak bisa dimungkiri sebagian seni tradisi dalam bentuk konvensionalnya sulit bertahan. Ketika zaman berubah, ikatan sosial masyarakat turut berubah dan merenggang. Ritual dan praktik kolektif masyarakat pun meredup, termasuk praktik seni tradisi.
”Tapi, bukan berarti bahwa tradisi itu sendiri punah. Ada banyak yang mengalami perubahan bentuk, pembaruan, dan seterusnya,” kata Hilmar melalui keterangan tertulis.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan seni tradisi, pemerintah pun melakukan pendataan, termasuk memetakan para maestro dan pelaku seni. Data itu menjadi acuan untuk menentukan skala prioritas penyelamatan seni tradisi. Menurut Hilmar, pihaknya berlomba dengan waktu karena jumlah pendukung seni tradisi kian menyusut.
Selain itu, kementeriannya membuat program Belajar Bersama Maestro agar maestro seni bisa mewariskan pengetahuannya ke siswa sekolah. Adapun pada 2024, kementeriannya bekerja sama dengan Gedung Kesenian Jakarta untuk membuat panggung khusus seni tradisi.