Pertarungan Pinisi
Kapal pinisi kenyang mengarungi lautan dan waktu. Namun, arus perubahan menuntut kapal legendaris Bugis-Makassar ini bertransformasi, beradaptasi dengan selera zaman. Meski begitu, warisan tradisi pembuatannya masih dipegang erat.
Hening. Puluhan orang saksama mengikuti seorang lelaki tua berpeci yang berjalan dari bagian depan lunas kapal ke sisi belakang, Senin pagi, awal Februari lalu, di Desa Bira, Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Sandro (dukun) ini memegang pahat kecil. Mulutnya merapal. Di depannya, asap menguar dari sebuah kendi kecil dengan kemenyan yang diletakkan di ujung lunas kapal sepanjang 35 meter.
Ia lalu memberi tanda pada bagian lunas yang akan dipotong dengan memukulkan palu ke pahat. Ujung pahat sebelumnya telah diolesi darah ayam yang diambil dari jenggernya. Puk!
Pekerja yang memegang gergaji mesin segera memotong tanpa henti. Kayu besi itu terpotong sekitar 30 sentimeter. Potongannya ditangkap sebelum menyentuh tanah oleh pekerja lainnya. Potongan lunas itu segera diturunkan ke laut yang berada tak jauh di depan. Proses yang sama sebelumnya dilakukan saat lunas bagian depan dipotong.
Sandro lalu membaca doa. Semua orang khidmat mengikuti dan serempak mengaminkan. Upacara annatta kalabiseang atau pemotongan lunas kapal usai sudah.
Proses ini adalah rangkaian pertama yang dilakukan oleh pemilik kapal sebelum pembuatan kapal dilakukan. Saat kapal selesai, upacara menarik perahu ke laut akan dilakukan.
H Ariawan (40), pengusaha sekaligus pemilik kapal, mempersilakan siapa saja yang datang mencicipi beragam kue yang disajikan. Tujuh macam kue manis berjejer di atas lunas, antara lain onde-onde, cucuru, apang, kolak beras ketan, dan baje’.
”Biar rezekinya juga manis. Begitu kata orang tua dulu,” ujar Haji Awan, panggilannya. ”Upacara annatta kalabiseang ini kayak peletakan batu pertama kalau zaman sekarang. Fondasi sebelum rumah jadi.”
Di tempat pembuatan kapal yang terletak sekitar satu kilometer dari Tanjung Bira ini, enam kapal berjejer rapi. Tempat pembuatan kapal ini serupa pabrik besar tempat perakitan kapal. Satu kapal dengan panjang lunas di atas 20 meter, bernilai di atas Rp 1 miliar. Enam kapal yang telah terbangun ini memiliki panjang lunas di atas 25 meter.
Model dasar
Waktu pengerjaan satu kapal minimal enam bulan. Bisa dua tahun jika sampai interior dan peralatan terpasang lengkap. Bahan kayu besi yang jadi lunas dan papan serta kayu bitti yang jadi tulang didatangkan dari Sulawesi Tenggara. Sementara bahan interior modern didatangkan dari Makassar, Bali, Jakarta, bahkan dari luar negeri.
Meski model dan interiornya modern, semua kapal yang tengah dibuat ini memakai langgam dan model dasar pinisi. Model anjungan terlihat meruncing. Kapal-kapal dipasangi dua tiang yang akan memakai tujuh layar.
Perbedaannya dengan pinisi warisan leluhur hanya pada ukuran, kompartemen, dan tentunya model di buritan. Semua kapal ini merupakan pesanan untuk dijadikan kapal wisata. Ada yang dipesan oleh instansi dan pengusaha dalam negeri, tetapi sebagian besar orang asing.
Karena pinisi akan digunakan sebagai kapal wisata, model pinisi berubah. Transisi paling terlihat pada model buritan yang lebih gemuk. Buritan yang lebih gemuk memberi ruang bagi banyaknya kompartemen kamar di kapal. Kamar-kamar itu untuk mengakomodasi wisatawan, ruang makan, ruang bersantai, hingga jacuzzi.
Pinisi yang diperkirakan mulai dipakai berlayar nenek moyang suku Bugis-Makassar sekitar abad ke-16 dahulu memiliki buritan yang juga meruncing, hampir sama dengan model anjungan. Hal ini tentu sehubungan dengan kapal yang mengandalkan layar untuk menjelajahi lautan luas, memudahkan akselerasi, dan kencang di lautan.
Jaga perkataan
Pinisi adalah kapal legendaris yang dulu dikenal mengandalkan alam, dinakhodai berdasar arah angin, perbintangan, jejak karang, bau laut, atau tanda alam lainnya.
Berdasar legenda, kapal yang dipakai Sawerigading, tokoh dalam I La Galigo,ke Tiongkok untuk memperistri putri kerajaan ini karam dalam perjalanan pulang. Kapal lalu terdampar dan terbagi di Ara, Bira, dan Tana Beru. Ketiga daerah itu kini masih menjadi sentra pembuatan perahu meski model asli pinisi sukar ditemukan.
Di Tana Beru, puluhan kapal berbagai ukuran terlihat di sepanjang jalan. Beberapa terlihat baru dibangun, sebagian dalam tahap penyelesaian. Di salah satu tempat pembuatan kapal misalnya, sedikitnya ada sembilan kapal sedang dikerjakan. Satu buah kapal paling besar memiliki panjang lunas 45 meter. Nilainya fantastis, puluhan miliar.
Rusdi Mulyadi, pengusaha pembuat kapal menceritakan, pinisi ini juga pesanan untuk dipakai wisata. Berdasarkan pesanan orang, bentuk pinisi juga beragam, khususnya di bagian buritan.
”Ada yang meminta bagian buritannya dibentuk lebih landai, ada yang seperti teras, macam-macam sesuai yang punya mau,” tuturnya.
Ada juga yang meminta tambahan layar. Dari yang biasanya tujuh layar, menjadi delapan atau sembilan layar. ”Kita menyesuaikan saja. Tapi kalau teknis pengerjaan itu tidak bisa diganggu-ganggu.”
Pengerjaan yang dimaksud adalah bagian yang merupakan hak penuh pengusaha, punggawa, dan pekerja kapal. Punggawa serupa kepala arsitek yang mengomandoi pembuatan kapal. Punggawa bertanggung jawab dalam pembuatan kapal. Ia biasanya memiliki empat sampai tujuh anak buah untuk mengerjakan satu kapal.
Rusdi menjelaskan, hubungan antara pengusaha dan pekerja kapal harus dijaga sebaik-baiknya. Tidak boleh ada perasaan, perkataan, atau perbuatan yang menyakiti antara kedua pihak. Keduanya saling mengisi satu sama lain. Jika hal ini tidak dijaga, ditakutkan berpengaruh buruk ke perjalanan kapal nantinya.
Dalam teknis dan teknologi pengerjaan kapal, punggawa memegang peran penting. Jika pembuatan kapal modern dimulai dengan memasang tulang kapal sebelum dinding, pinisi sebaliknya. Kapal ini dibuat dengan memasang papan atau dinding kapal terlebih dulu, selanjutnya tulang kapal.
Agar digenapi
Tidak hanya itu, ukuran tinggi dinding dan jumlah papan kapal juga harus ganjil.
”Kalau yang pesan minta tinggi 8 meter, pasti akan dilebihkan 8,1 meter. Kalau dengan tinggi delapan meter jumlah papan 20, pasti akan kami jadikan 21. Itu hal yang masih kami pegang sampai sekarang. Menurut warisan orangtua, kapal harus ganjil biar ketika melaut rezekinya nanti digenapkan,” jelas Rusdi.
Fahmi Kamil (29), konsultan dan arsitek yang fokus pada kapal pinisi di Bira, menuturkan, beberapa teknik pembuatan kapal pinisi sampai sekarang masih sulit diukur dengan ilmu modern. Dalam ilmu yang ia pelajari, semua kapal dibuat dengan tulang terlebih dulu sebelum kulit atau dinding.
”Karena itu, terkait keseimbangan kanan dan kiri kapal. Melenceng sedikit kapal bisa oleng. Dengan membuat tulang lebih dulu, pengukuran keseimbangan kapal lebih mudah. Tapi di sini terbalik dan mereka bisa presisi. Itu memakai ukuran warisan leluhur dan yang tahu cuma segelintir,” tutur lulusan magister perkapalan Universitas Hasanuddin ini.
Tidak hanya itu, ketebalan kulit atau dinding kapal juga sangat presisi. Tanpa peralatan canggih, pekerja yang dikomandoi punggawa bisa membuat ketebalan kulit kapal berbeda dari bawah sampai ke atas.
”Tebal kulit kapal itu memang harus semakin tipis dari bawah ke atas. Fungsinya sebagai kekuatan untuk mengurangi daya tekan kapal. Kalau semuanya sama, titik beban tidak terdistribusi merata. Mereka tahu dan telah melakukan itu dari dulu.”
Muhtar (40), punggawa yang menimba ilmu membuat kapal dari bapak dan kakeknya, menuturkan, ia tidak memiliki keahlian tertentu, alih-alih pakai ilmu dan ajian. ”Diukur dan dilihat baik-baik. Pakai pikiran dan perasaan saja,” katanya sembari tersenyum.
Pinisi memang bertransformasi mengikuti zaman. Namun, nilai dan cita rasa pembuatannya akan tetap lestari. Syaratnya, selama perhatian untuk menjaganya terus tumbuh dan kayu-kayu di hutan tidak habis.