19 Tahun Punya UU, KDRT Tetap Saja Marak
Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT hingga kini menjadi momok bagi para perempuan. Meski berdampak besar, bahkan menyebabkan kematian, penegakan hukum kasus KDRT masih terkendala.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa Indonesia. Kekerasan domestik yang banyak menelan korban perempuan (terutama istri) terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik dilakukan secara tersembunyi di dalam rumah maupun dilakukan di luar rumah.
Bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran ekonomi. Dampak yang dialami para korban KDRT bermacam-macam, mulai dari luka fisik, trauma emosional, depresi, kecemasan, hingga masalah kesehatan mental lainnya. Pada beberapa kasus KDRT yang berat, kekerasan yang dialami berujung pada kematian, dibunuh, atau bunuh diri.
Contohnya, kasus yang terjadi belum lama ini, di awal September 2023. Seorang ibu rumah tangga, MSD (24), ditemukan tewas di tangan suaminya, Nando (25), di rumah kontrakan di Jalan Cikedokan, Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (7/9/2023). Sebelum dibunuh, korban dan suaminya sempat cekcok adu mulut terkait masalah ekonomi keluarga.
Korban dan pelaku sudah menikah sekitar 3 tahun, dan dikaruniai dua anak berusia tiga tahun dan 18 bulan. Namun, selama berumah tangga, korban kerap mendapatkan kekerasan dari suaminya.
Bahkan, keluarganya mengungkapkan, dua bulan sebelum dibunuh, korban sempat melaporkan kasus KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian, dan sudah menjalani visum. Namun, sebelum proses hukumnya berlanjut, korban dibunuh suaminya.
Baca juga: KDRT Masih Menjadi Ancaman bagi Perempuan
Kematian korban KDRT juga terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air. Pada akhir Maret 2023, di Ambon, Maluku, FSG, seorang ibu sekaligus pendeta yang bertugas di wilayah Maluku Barat Daya, ditemukan meninggal dengan gantung diri di pastori (rumah untuk pendeta).
Meninggalnya FSG mengundang pertanyaan dari sejumlah kalangan, terutama teman-temannya, karena korban yang memiliki anak yang baru berusia 1 tahun diketahui mengalami KDRT dari suaminya. Kepolisian Daerah Maluku pun mengusut kematiannya. Setelah melakukan visum, polisi menemukan sejumlah luka memar di tubuhnya yang diduga akibat KDRT.
Dalam kasus yang lain, pada akhir 2021 lalu, VLC, seorang ibu di Karawang menjalani proses hukum karena didakwa melakukan KDRT dalam bentuk psikis kepada suaminya karena omelannya, dan dituntut satu tahun penjara. Kasus yang menarik perhatian publik ini akhirnya diambil alih Kejaksaan Agung. Belakangan, dalam persidangan, jaksa membatalkan tuntutannya dan menuntut bebas terdakwa karena tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Majelis hakim pun menjatuhkan vonis bebas kepada yang bersangkutan.
Masih jadi momok
Ketiga kasus tersebut menggambarkan betapa KDRT menjadi momok bagi sejumlah perempuan dalam rumah tangga. Meski Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, kenyataannya hingga kini sejumlah perempuan di Tanah Air mengalami KDRT dalam berbagai bentuk.
Data yang dimiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) maupun lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan juga menunjukkan tingginya angka kasus KDRT.
Dari catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) sepanjang tahun 2022 hingga Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang.
Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik (7.940 kasus), kekerasan psikis berjumlah (6.576 kasus), kekerasan seksual (2.948 kasus), dan penelantaran (2.199 kasus).
”Bahkan, pada periode Januari-Juni 2023, data kekerasan menurut tempat kejadian, catatan Simfoni PPPA menemukan kasus yang paling banyak dialami adalah KDRT, yakni sebesar 48,04 persen atau 7.649 kasus,” ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPPA Eni Widiyanti pada acara Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan KDRT, yang digelar Kementerian PPPA dan Jalastoria, Senin (4/9/2023).
KDRT berlangsung karena sejumlah faktor, seperti masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat, yang menganggap perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki.
Data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sepanjang tahun 2022, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus. Dari total jumlah tersebut, ada 61 persen kasus yang terjadi di ranah privat, dengan 91 persennya adalah kasus KDRT. Adapun korbannya adalah istri dan anak, dengan pelaku suami atau ayah.
Data yang dimiliki Kementerian PPPA dan Komnas Perempuan juga sejalan dengan tingginya jumlah laporan kasus KDRT yang diterima kepolisian. Bahkan, hingga lima tahun terakhir, jumlah laporan kasus KDRT kepada kepolisian menduduki ranking tertinggi.
Catatan Mabes Polri hingga Juli 2023, laporan kasus KDRT mencapai 2.261 kasus. Bentuk KDRT paling besar adalah fisik, yakni 1.848 kasus, sisanya kekerasan psikis (133), kekerasan seksual (61), pemaksaan hubungan seksual (2), dan penelantaran ekonomi (217).
”Dibandingkan dengan jenis kekerasan lainnya, KDRT menempati peringkat pertama. Dalam lima tahun terakhir, tertinggi di tahun 2020,” ujar Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Ajun Komisaris Besar Ema Rahmawati pada Dialog Aparat Penegak Hukum mengenai PKDRT, Selasa (19/9/2023), di Kantor Kementerian PPPA.
Baca juga: Korban KDRT Jangan Dikriminalisasi!
Implementasi masih terkendala
Tingginya kasus-kasus KDRT tentu mengundang banyak pertanyaan publik. Sebab, hampir dua dekade Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Implementasi UU tersebut dipertanyakan karena hingga kini kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es, sementara kejahatannya terus berlangsung tanpa jeda.
KDRT berlangsung karena sejumlah faktor, seperti masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat, yang menganggap perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki. Masih ada anggapan seorang istri dianggap tidak pantas menjadi pencari nafkah utama, istri lebih pantas di rumah mengurus keluarga, atau istri harus diatur dan harus tunduk kepada suami.
Kondisi tersebut membuat KDRT di mata sebagai hal yang wajar terjadi sehingga ketika ada korban melapor kepada kepolisian, dalam banyak kasus korban justru diminta berdamai dengan pelaku. Bahkan, kadang tidak hanya diminta, tetapi dipaksa untuk berdamai atau memaafkan perbuatan pelaku.
Berbagai alasan digunakan untuk menghentikan proses hukum KDRT, selain menjaga keharmonisan, mengasihani anak, aib bagi keluarga, juga karena perempuan yang bergantung secara finansial dan ekonomi kepada pelaku.
Disisi lain, meskipun sejumlah korban KDRT sudah mulai berani berbicara dan melaporkan kasusnya kepada kepolisian, tidak mudah untuk mendapatkan keadilan. Proses hukum dari sejumlah kasus KDRT sering tidak berjalan mulus, bahkan berhenti di tengah jalan, pemahaman di tingkat aparat penegak hukum (APH) yang masih belum sama, bahkan sering terjadi multitafsir.
”Ada beberapa hal yang diatur di dalam UU PKDRT ini yang APH masih belum sepaham. APH masih melihat undang-undang PKDRT dengan persepsinya sendiri-sendiri, dan memang di dalam undang-undang PKDRT juga ada pasal-pasal tertentu yang sebetulnya belum begitu jelas,” kata Ema.
Erni Mustikasari, Jaksa Ahli Madya pada Kejaksaan Agung, juga mengakui dari sisi norma yuridis sering terjadi multitafsir sehingga tidak ada kepastian hukum. Ia juga mengungkapkan ada sejumlah kekurangan dalam UU PKDRT.
Kekurangan tersebut, antara lain, definisi dalam ketentuan umum perlu revisi, lingkup rumah tangga, perlindungan sementara, dan korban yang dilaporkan balik masih multitafsir, serta kesalahan penormaan delik kekerasan, pidana tambahan, belum optimalnya hukum acara terkait alat bukti, belum ada restitusi bagi korban.
Ninik Rahayu, Direktur Eksekutif Jalastoria, menegaskan, kampanye implementasi UU PKDRT sangat penting karena meski telah berusia 19 tahun, ada saja hambatan dan kendala dalam mengimplementasikan UU tersebut.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati juga berharap kampanye implementasi UU PKDRT akan mendorong perubahan untuk memastikan penghapusan KDRT berlangsung secara masif.