Dunia Menjauh dari Target Pembangunan Berkelanjutan
Alih-alih berada di jalur untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, tingkat kemiskinan ekstrem, kelaparan, dan anak-anak putus sekolah akan meningkat di akhir abad ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahun ini menandai setengah jalan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang disepakati pada tahun 2015. Dengan tingkat kemajuan saat ini, dunia diprediksi tidak akan mampu memberantas kemiskinan, mengakhiri kelaparan, atau menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua orang pada tahun 2030.
Kelompok ilmuwan independen yang ditunjuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa telah diberi tugas untuk menilai kemajuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan merekomendasikan cara untuk bergerak maju. Mereka menulis hasil evaluasinya di jurnal Nature pada Rabu (13/9/2023).
Laporan ini telah ditinjau oleh 104 peneliti dengan keahlian di berbagai bidang, mulai dari kesejahteraan manusia dan ekonomi hingga pangan, energi, perkotaan, dan sumber daya alam.
Hanya dua yang berada pada jalur yang tepat pada tahun 2023, yaitu akses terhadap jaringan seluler dan penggunaan internet.
Salah satu penulisnya adalah Prof Jaime Miranda, Kepala Fakultas Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Sydney. Penulis lain termasuk ilmuwan terkenal dari berbagai disiplin ilmu dan kebangsaan, dengan makalah yang dipimpin oleh Shirin Malekpour dan Cameron Allen dari Universitas Monash, Australia.
SDGs merupakan kumpulan dari 17 tujuan yang saling terkait dan 169 target yang dirancang sebagai cetak biru bersama untuk perdamaian dan kemakmuran bagi manusia dan planet Bumi sekarang dan di masa depan. Beberapa tujuannya adalah kesetaraan jender, aksi iklim, kesehatan dan kesejahteraan yang baik, serta tidak adanya kemiskinan.
Para ilmuwan menyoroti tiga bidang prioritas untuk tindakan, yaitu menghilangkan hambatan terhadap kemajuan, menemukan jalur yang layak dan hemat biaya untuk mencapai tujuan, serta memperkuat tata kelola.
Ke-17 SDGs ditetapkan pada tahun 2015 sebagai seruan mendesak bagi semua negara untuk bertindak guna mengatasi tantangan global. Target ini dipecah menjadi target individu, dan penulis menilai 36 sampel untuk mendapatkan gambaran kemajuannya. Dari jumlah tersebut, hanya dua yang berada pada jalur yang tepat pada tahun 2023, yaitu akses terhadap jaringan seluler dan penggunaan internet.
Jauh dari target
Para ilmuwan ini menunjukkan, dengan tingkat kemajuan yang ada saat ini, dunia tidak akan mampu memberantas kemiskinan, mengakhiri kelaparan, atau menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua orang pada tahun 2030. Padahal, ini hanya beberapa dari aspirasi utama SDGs.
Sebaliknya, pada akhir dekade ini, dunia diprediksi akan memiliki 575 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, 600 juta orang menghadapi kelaparan, dan 84 juta anak-anak dan remaja putus sekolah. Kenaikan suhu global akan melampaui batasan ”aman” yang ditetapkan Perjanjian Iklim Paris sebesar 1,5 derajat celsius. Dan jika kita melihat kondisi saat ini, dibutuhkan waktu 300 tahun untuk mencapai kesetaraan jender.
”SDGs perlu dilihat sebagai tanggung jawab kolektif dunia, dan Laporan Pembangunan Berkelanjutan Global kami menunjukkan bahwa tindakan segera diperlukan, dan perubahan mungkin terjadi. Transformasi tidak bisa dihindari,” tulis para peneliti.
Menurut para peneliti ini, untuk mencapai SDGs, kita perlu melewati mentalitas berpikir tentang bagaimana menangani setiap tujuan secara terpisah. Sebaliknya, mengidentifikasi hubungan dan sinergi antar-SDGs, dan bagaimana menyelesaikannya bersama-sama, akan menjadi kunci membuat perubahan substansial untuk mencapai Agenda 2030.
”Laporan Pembangunan Berkelanjutan Global memberikan model yang disesuaikan untuk membantu mengungkap dan memahami ilmu transformasi,” tulis para peneliti.
Rekomendasi
Miranda dan tim menulis, mengatakan, untuk memecahkan kebuntuan ini, para ilmuwan perlu mencari tahu apa yang menghambat perubahan sistem secara luas di banyak tempat dan sektor dan mengidentifikasi cara-cara cepat untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Para peneliti harus memberikan bukti mengenai jalur kebijakan efektif yang disesuaikan dengan berbagai sektor dan negara. Salah satu kendalanya adalah sebagian besar penelitian sejauh ini dilakukan di negara-negara berpendapatan tinggi, dan solusi yang berhasil di negara tersebut mungkin tidak cocok untuk negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Transisi ke energi ramah lingkungan, misalnya, bisa terhambat karena kurangnya pendanaan atau infrastruktur pendukung.
Lebih banyak bukti juga diperlukan untuk pendekatan kebijakan yang bertujuan mencapai semua SDGs secara bersamaan—daripada menanganinya secara terpisah—sambil menyeimbangkan trade-off. Investasi di bidang kesehatan dan pendidikan, misalnya, meningkatkan produktivitas ekonomi dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, tetapi juga dapat meningkatkan konsumsi dan degradasi lingkungan.
Para penulis menyoroti contoh positif di Tanzania, di mana pemodelan menunjukkan bahwa subsidi untuk instalasi listrik tenaga surya tidak hanya akan mendukung energi bersih dan terjangkau, tetapi juga kesehatan yang lebih baik (dengan mengurangi polusi udara) dan pendidikan (dengan memungkinkan masyarakat untuk belajar lebih lama dari hari ke hari).
Terakhir, para ilmuwan perlu mengembangkan kriteria untuk menilai dampak berbagai proses tata kelola SDGs. Hal ini misalnya apakah menghubungkan anggaran nasional dengan SDGs, seperti yang dilakukan Meksiko dan Kolombia, akan meningkatkan hasil. Para peneliti juga harus memberikan wawasan untuk mendukung akuntabilitas nasional yang lebih kuat dalam SDGs.
Para penulis menyimpulkan, ”Tanpa tindakan yang dipercepat, rencana ambisius yang ditandatangani dunia pada tahun 2015 akan gagal. Para ilmuwan, lembaga, dan pemberi dana harus melakukan bagian mereka untuk menyelamatkan SDGs—dan planet serta masyarakat manusia.”