Tingkatkan Kewaspadaan, Pegunungan di Jawa Sangat Mudah Terbakar
Berbagai pihak perlu meningkatkan kesiapan menghadapi karhutla termasuk di Jawa. Ini termasuk pada area pegunungan yang beberapa di antaranya berupa taman nasional dan sensitif terhadap ancaman kebakaran.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini cenderung merata di sejumlah daerah, termasuk di Jawa. Hal ini perlu menjadi perhatian karena sebagian besar karhutla di Jawa terjadi di area pegunungan yang beberapa di antaranya termasuk kawasan taman nasional dan sensitif terhadap ancaman kebakaran.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2023, luas karhutla di Indonesia mencapai 128.426 hektar. Provinsi dengan luas karhutla tertinggi di antaranyaKalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Papua Selatan, dan Jawa Timur.
Sementara data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 10 September menunjukkan terdapat 126 kejadian karhutla di Jawa. Frekuensi kejadian ini mencakup hampir 44 persen dari karhutla sepanjang tahun di Indonesia yang mencapai 288 kejadian.
Sebagian besar karhutla di Jawa terjadi di area pegunungan yang beberapa di antaranya termasuk kawasan taman nasional. Dampak paling parah terjadi di kawasan pegunungan Arjuno, Jatim, dengan luasan terbakar 4.796 hektar. Kemudian ada empat kawasan pegunungan lain, yaitu Bromo, Jatim (274 hektar); Sumbing, Jateng (240 hektar); Ciremai, Jabar (165 hektar); dan Gede, Jabar (3 hektar) (Kompas.id, 14/9/2023).
Pakar karhutla dari IPB University sekaligus Direktur Regional Forest Fire Management Resource Center-Southeast Asia Bambang Hero Saharjomengakui, kawasan seperti Gunung Bromo cukup sensitif terhadap ancaman karhutla. Ancaman ini semakin tinggi khususnya pada area rerumputan dan semak belukar non-kayu serta didukung fenomena El Nino.
”Kondisi di kawasan pegunungan Jawa saat ini sangat mudah terbakar dan tinggal menunggu pemantik api saja. Kejadiannya mirip seperti di Taman Nasional Komodo beberapa tahun lalu yang pemicunya dari kembang api oleh pengunjung sehingga menyebabkan kebakaran satu bukit seluas 40 hektar,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis (14/9/2023).
Bambang menekankan pentingnya melakukan kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman kebakaran yang kerap tidak terduga dari mana datangnya. Di sisi lain, perlu juga menyoroti persoalan terkait belum optimalnya anggaran maupun ketersediaan sumber daya seperti pemadam serta sarana dan prasarana lainnya.
”Banyak pihak sebelumnya beranggapan bahwa wilayahnya selalu hijau dan tidak mungkin terjadi kebakaran. Namun, mereka lupa bahwa dengan kondisi seperti sekarang ini akan mengakibatkan kondisi cuaca berubah hingga bisa berujung kebakaran,” ujarnya.
Khusus untuk wilayah lain di luar Jawa, yakni Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, penyebab karhutla masih tidak jauh berbeda seperti tahun-tahun sebelumnya. Penyebab karhutla dengan unsur kesengajaan ini seperti pembukaan lahan dengan cara dibakar untuk mendapatkan keuntungan ekonomi maupun sebagai upaya pembersihan.
Penyebab karhutla, menurut Bambang, juga bisa terjadi karena kelalaian, yaitu dengan membiarkan terjadinya kebakaran. Hal ini tidak terlepas dari sarana dan prasarana yang tidak memadai serta anggaran pengendalian kebakaran yang belum masuk skala prioritas.
”Aspek terakhir adalah penegakan hukum yang belum memberikan efek jera dan proses eksekusi yang masih belum maksimal karena sangat sedikit kasus yang masuk kasasi menang. Kasus di tahap peninjauan kembali justru belum dieksekusi,” katanya.
Upaya mitigasi
Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Manajemen Landscape Fire, Raffles B Panjaitan, dalam keterangannya, menyebutkan, cuaca bulan September untuk wilayah Indonesia masih sangat panas. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab munculnya karhutla sehingga menjadi peringatan untuk waspada dan siap siaga akan kejadian ini.
Menurut Raffles, berbagai upaya mitigasi karhutla di sejumlah daerah saat ini sudah dilaksanakan. Beberapa di antaranya dengan memetakan wilayah rawan kebakaran serta mengelola kawasan hutan dengan membuat ilaran, sekat bakar, dan sekat kanal.
Selain itu, dilakukan juga pengembangan hutan kemasyarakatan, menerapkan sistem peringatan dini kebakaran, pelatihan penanggulangan bencana bagi masyarakat, serta peningkatan inovasi pengendalian karhutla.
”Upaya yang dilakukan tersebut sangat mengurangi potensi kerawanan karhutla dengan kondisi cuaca karena dampak El nino seperti tahun 2015 dan 2019. Selain itu, upaya ini juga harus dilakukan bersama-sama oleh semua pihak,” tuturnya.
Guna mencegah terjadinya karhutla, Raffles juga mengimbau masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar khususnya pada areal penutupan lahan belukar. Ia menekankan bahwa keberhasilan pengendalian karhutladiperlukan kerja keras bersama termasuk partisifasi aktif seluruh lapisan masyarakat.